Kiko, Putri Mahkota Akishino[1] (皇嗣文仁親王妃紀子, Kōshi Fumihito Shinnōhi Kiko), dahulunya Kawashima Kiko (川嶋紀子code: ja is deprecated , lahir 11 September 1966) adalah istri Fumihito, Putra Mahkota Akishino, putra kedua Kaisar Akihito. Kiko adalah wanita kedua yang berasal dari keluarga non-bangsawan yang menikah dengan anggota keluarga kaisar.
Masa kecil dan pendidikan
Kawashima Kiko lahir di Rumah Sakit Umum Shizuoka Saiseikai, Suruga-ku, Shizuoka. Dia adalah putri tertua dari Kawashima Tatsuhiko (1940-2021) dan Sugimoto Kazuyo. Kiko sekeluarga pindah ke Philadelphia pada 1967 saat ayahnya kuliah di Universitas Pennsylvania.[2] Dia berhasil mengambil gelar doktor di Universitas Pennsylvania dan kemudian mengajar di sana.[3]
Kiko mengenyam bangku sekolah dasar dan menengah di Wina, Austria saat ayahnya menjadi kepala peneliti di Institut Internasional untuk Analisis Sistem Terapan (IIASA) di Laxenburg, Austria, tempat dirinya mempelajari ilmu spasial dan kegiatan LSM.[3] Kiko menjadi fasih berbahasa Inggris dan Jerman.[3][4] Pada tahun 1972, mereka pindah kembali ke Jepang, dan ayahnya mengajar ekonomi di Universitas Gakushuin di Tokyo.[2][4] Dia tinggal bersama orang tua dan saudara lelakinya di sebuah apartemen kecil di kampus di Tokyo.[4] Kiko lulus dari Departemen Psikologi di Fakultas Sastra Universitas Gakushuin dengan gelar Bachelor of Letters di bidang Psikologi pada tahun 1989 dan menerima gelar Magister Humaniora dalam Psikologi Sosial dari kuliah pascasarjana Universitas Gakushuin pada tahun 1995. Dia menerima gelar PhD dalam Humaniora dari Universitas Ochanomizu.
Dia berpartisipasi dalam The Ship for Southeast Asian and Japanese Youth Program (SSEAYP) pada tahun 1987 dan terus menjadi pendukung program tersebut.
Setelah menikah, Kiko telah berulang kali mengatakan ingin menyelesaikan gelar masternya, jika keadaan memungkinkan.[3] Dia menyelesaikan studinya di bidang psikologi antara tugas-tugas resminya sebagai anggota keluarga istana dan menerima gelar magisternya di bidang psikologi pada tahun 1995. Dia dikenal karena ketertarikannya pada budaya tunarungu dan tunarungu di Jepang. Dia belajar bahasa isyarat Jepang dan dia adalah penerjemah bahasa isyarat yang terampil.[5] Dia menghadiri "Kontes Pidato Bahasa Isyarat untuk Siswa Sekolah Menengah" yang diadakan setiap bulan Agustus, dan "Memuji Ibu yang Membesarkan Anak dengan Gangguan Pendengaran" setiap bulan Desember. Pada bulan Oktober 2008, ia berpartisipasi dalam "Konferensi Nasional Wanita Tuli ke-38."[6] Ia juga menandatangani pertemuan informal dengan tunarungu.[7]
Pada bulan Maret 2013, Kiko menyandang gelar PhD di bidang Psikologi di Kampus Pascasarjana Humaniora dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Ochanomizu, untuk disertasinya yang berkaitan dengan tuberkulosis.[6]
Pernikahan
Pangeran Fumihito pertama kali melamar Kiko pada 26 Juni 1986 ketika mereka berdua adalah mahasiswa di Gakushuin. Tiga tahun kemudian, Badan Rumah Tangga Kekaisaran mengumumkan pertunangan pada 12 September 1989[4][8] dan upacara pertunangan diadakan pada 12 Januari 1990. Meski begitu, tanggal pernikahan tidak ditetapkan sampai masa berkabung satu tahun untuk kakek Fumihito, Kaisar Showa, yang mangkat pada Januari 1989.[3] Pernikahan baru dilangsungkan di sebuah kuil eksklusif di Istana Kekaisaran Tokyo pada tanggal 29 Juni 1990.[9]
Pertunangan dan pernikahan Pangeran Fumihito dengan Kiko menjadi preseden dalam beberapa hal. Pada saat itu, pengantin pria masih seorang mahasiswa pascasarjana di Gakushuin dan dia akan menikah sebelum kakak laki-lakinya, Putra Mahkota Naruhito. Pejabat di Badan Rumah Tangga Kekaisaran awalnya menentang pernikahan tersebut, begitu pula Ibu Suri Nagako, nenek Fumihito.[4]
Sebagai wanita pertama dari latar belakang non-bangsawan kelas menengah yang menikah dengan keluarga kekaisaran, ia diberi julukan "putri apartemen" oleh media.[4] Meskipun ibu mertuanya juga terlahir sebagai orang biasa, Permaisuri Michiko berasal dari keluarga yang sangat kaya; ayahnya adalah presiden sebuah perusahaan penggilingan tepung besar.
Saat hamil dengan anak ketiganya, Kiko didiagnosis dengan plasenta previa.[10] Kiko juga menderita sindrom lorong karpal osteoporosis yang diperburuk oleh perawatan anak, suatu gejala yang umum di antara wanita paruh baya, kata dokternya pada 14 Desember 2007.[11]
Sejak tahun 1997, Fumihito, Kiko, berserta anak-anak mereka menempati Istana Akasaka di Motoakasaka, kawasan Minato, Tokyo.
Peran
Setelah menikah dengan Fumihito, Kiko menanggalkan marganya dan menerima gelar shinnōhi (親王妃) dengan didahului nama suami. Shinnōhi adalah gelar untuk istri shinnō (親王), pangeran yang merupakan kerabat dekat kaisar. Gelar lengkapnya setelah menikah adalah Kiko, Putri Fumihito, Putri Akishino (秋篠宮 文仁 親王妃 紀子, Akishino-no-miya Fumihito-shinnōhi Kiko). Saat Naruhito menjadi kaisar pada 1 Mei 2019, Fumihito menjadi pewaris sementara dengan gelar kōshi (皇嗣). Sebagai istri, Kiko menerima gelar kōshihi (皇嗣妃).[12]
Setekah menjadi bagian anggota keluarga kaisar, Kiko mendampingi suaminya dalam berbagai tugas resmi. Fumihito dan Kiko bertemu dengan berbagai pengunjung penting dari luar negeri untuk meningkatkan hubungan diplomatik. Kiko terpilih sebagai salah satu Young Global Leaders untuk tahun 2007, diambil dari polling 4.000 kandidat.[13]
Fumihito dan Kiko telah melakukan banyak kunjungan resmi ke luar negeri. Pada Juni 2002, mereka menjadi anggota keluarga kaisar pertama yang mengunjungi Mongolia dalam rangka peringatan 30 tahun hubungan diplomatik.[14][15] Pada Oktober 2002, mereka mengunjungi Belanda untuk menghadiri pemakaman Pangeran Claus.[16] Kiko mendampingi Fumihito pada bulan September 2003 berkunjungan ke Fiji, Tonga, dan Samoa, sekali lagi, pertama kali anggota keluarga kaisar mengunjungi negara-negara ini.[17][18] Pada bulan Maret 2004, Fumihito dan Kiko kembali ke Belanda untuk pemakaman Ratu Juliana.[16] Pada Januari 2005, mereka mengunjungi Luksemburg untuk menghadiri pemakaman Joséphine-Charlotte, istri Adipati Agung Luksemburg.[16] Dari Oktober hingga November 2006, mereka mengunjungi Paraguay untuk memperingati 70 tahun emigrasi Jepang ke negara itu.[19] Pada Januari 2008, mereka mengunjungi Indonesia untuk upacara memperingati 50 tahun pembentukan hubungan diplomatik antara Jepang dan Republik Indonesia.[20]
Mereka mengunjungi Austria, Bulgaria, Hungaria, dan Rumania pada Mei 2009 pada kesempatan "Tahun Persahabatan Jepang-Donau 2009"[21][22] dan Belanda pada Agustus 2009 untuk acara peringatan peringatan 400 tahun hubungan perdagangan antara Jepang dan Belanda.[23] Mereka juga mengunjungi Kosta Rika,[24]Uganda,[25]Kroasia,[26]Republik Slovakia,[27]Slovenia,[28]Peru, dan Argentina.[29][30] Dari Juni hingga Juli 2014, Fumihito dan Kiko mengunjungi Republik Zambia dan Republik Persatuan Tanzania.[31][32] Mereka menghadiri upacara untuk memperingati 50 tahun berdirinya hubungan diplomatik antara Jepang dan Zambia.
Kiko juga berperan aktif dalam Asosiasi Anti-Tuberkulosis Jepang, Lembaga Bakat Kekaisaran Boshi-Aiiku-kai, Masyarakat Palang Merah Jepang, dan Masyarakat Jepang untuk Promosi Sains.[33]
Kontroversi pewaris takhta
Salah satu kesulitan yang menghinggapi keluarga kaisar adalah masalah pewaris. Meski sebenarnya Jepang pernah memiliki delapan maharani (kaisar wanita) dalam sejarahnya, hukum pewarisan takhta Jepang diubah setelah Restorasi Meiji, mengadopsi sistem pewarisan takhta Prusia yang melarang perempuan untuk naik takhta. Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, hanya keturunan dari garis laki-laki dari Yoshihito (Kaisar Taisho) yang dianggap sebagai anggota resmi keluarga istana dan memiliki hak atas takhta, tidak dengan anggota Wangsa Yamato lain. Kaisar Taisho sendiri memiliki empat putra, tetapi selain putra sulungnya, garis keturunan putra-putranya terhenti lantaran tidak memiliki anak atau hanya memiliki anak perempuan. Putra tertua Kaisar Taisho, Hirohito (Kaisar Showa) memiliki dua putra, Akihito dan Masahito. Masahito tidak memiliki anak dari pernikahannya, sehingga keberlangsungan garis kekaisaran hanya melalui Kaisar Akihito yang memiliki dua putra, Naruhito dan Fumihito. Kedua putra Akihito ini sendiri tidak kunjung memiliki putra dan ini menimbulkan kekhawatiran akan matinya garis kekaisaran. Wacana untuk memperbolehkan pewarisan takhta dari garis perempuan juga mendapat penentangan. Istri Naruhito, Owada Masako, dikabarkan menerima tekanan berat lantaran keadaannya yang sulit mengandung. Namun perdebatan ini mereda setelah Kiko melahirkan seorang putra, Hisahito, pada tahun 2006.
Keluarga
Orangtua
Ayah — Kawashima Tatsuhiko
Ibu — Sugimoto Kazuyo
Pasangan
Pangeran Fumihito (文仁親王, Fumihito-shin'nō). Menikah pada 29 Juni 1990.
Anak
Komuro Mako (小室 眞子), dahulunya Putri Mako (眞子内親王, Mako-naishin'nō) (lahir 23 Oktober 1991). Setelah menikah secara sipil dengan Komuro Kei, seorang pengacara pada 26 Oktober 2021, Mako kehilangan seluruh gelar kebangsawanannya berdasarkan Undang-undang Kerumahtanggaan Kaisar tahun 1947.[34]
Putri Kako (佳子内親王, Kako-naishin'nō) (lahir 29 Desember 1994)
Pangeran Hisahito (悠仁親王, Hisahito-shin'nō) (lahir 6 September 2006). Saat lahir, Hisahito menjadi pewaris takhta Kekaisaran Jepang urutan ke-3 setelah paman dan ayahnya.[35]