Kakapo

Kakapo
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Superfamili:
Famili:
Strigopidae
Genus:
Strigops

G.R. Gray, 1845
Spesies:
S. habroptilus
Nama binomial
Strigops habroptilus
G.R. Gray, 1845

Kakapo (Māori: kākāpō, berarti bayan malam), Strigops habroptilus (dari Yunani strix, genitif strigos: burung hantu dan ops: wajah; dan habros: halus, dan ptilon: bulu), juga disebut betet burung hantu, adalah spesies bayan nokturnal dengan bintik-bintik wajah sempurna berbulu hijau-kuning yang endemik dari Selandia Baru.[2] Hewan ini memiliki wajah bundar datar bersensor yang berbeda, bulu seperti vibrissa, paruh abu-abu lebar, lengan pendek, kaki lebar, dengan sayap dan ekor relatif pendek. Kombinasi fisik dan perilaku ini menjadikan hewan ini unik dari jenis-jenis lain: ia merupakan satu-satunya bayan di dunia yang tidak dapat terbang, bayan terberat, nokturnal, herbivora, memiliki dimorfisme seksual dalam ukuran tubuh, memiliki tingkat metabolisme dasar rendah, induk jantan tidak mengasuh anak, dan merupakan satu-satunya bayan yang memiliki perpaduan sistem perkembangbiakan lek. Hewan ini juga kemungkinan satu-satunya burung yang hidup paling lama di dunia.[3] Anatominya mencirikan kecenderungan evolusi burung di kepulauan terpencil samudra yang memiliki sedikit pemangsa dan makanan yang berlimpah: pencapaian termodinamik yang efisien atas kemampuan terbang, kurangnya otot sayap, lunas susut pada tulang dada, merupakan bentuk badan sempurna.[3]

Kakapo dimasukkan sebagai spesies yang kritis; hanya 86 individu hidup yang diketahui, seluruhnya telah diberi nama.[4] Nenek moyang Kakapo bermigrasi ke kepulauan Selandia Baru saat zaman prasejarah; tidak adalanya mamalia pemangsa, hewan ini kehilangan kemampuan terbang. Akibat kolonisasi orang Polinesia dan Eropa, dan masuknya pemangsa baru seperti kucing, tikus, dan cerpelai, banyak kakapo yang dimangsa. Usaha konservasi dimulai tahun 1890-an, tetapi hewan ini tidak berhasil hingga implementasi Rencana Pemulihan Kakapo tahun 1980-an. Saat November 2005, Kakapo diselamatkan dari empat predator bebas pulau, di pulau Maud, Chalky (Te Kakahu), Codfish (Whenua Hou) dan Anchor, Kakapo dimonitor secara dekat.[3] Dua pulau Fiordland besar, Resolution dan Secretary, telah menjadi subyek aktivitas restorasi ekologi skala besar untuk mempersiapkan ekosistem penopang sendiri dengan habitat yang pantas untuk Kakapo.

Konservasi Kakapo telah membuat spesies ini dikenal. Banyak buku dan dokumenter yang mendetail tentang Kakapo diproduksi dalam tahun-tahun berdekatan, satu yang paling awal berjudul Two in the Bush, karya Gerald Durrell untuk BBC tahun 1962.[5] Dua dokumenter sangat signifikan, hasil buatan NHNZ, adalah Kakapo - Night Parrot (1982) dan To Save the Kakapo (1997). Satuan Sejarah Alam BBC juga membahas Kakapo, meliputi rangkaian dengan Sir David Attenborough dalam The Life of Birds. Kakapo juga merupakan salah satu hewan yang terancam hingga Douglas Adams dan Mark Carwardine mengatur pencarian untuk serial radio dan buku Last Chance to See.

Kakapo, seperti banyak spesies burung lain, memiliki sejarah penting terhadap Māori, orang pribumi Selandia Baru, sehingga muncul dalam banyak legenda dan cerita rakyat tradisional.

Deskripsi

Foto Kakapo berusia 1 tahun di Pulau Codfish

Kakapo adalah betet yang berukuran besar dan gemuk; jantan memiliki panjang hingga 60 sentimeter dan berat antara 2 hingga 4 kilogram ketika dewasa.[6] Kakapo tidak dapat terbang, karena memiliki sayap yang pendek untuk ukuran mereka dan kekurangan tulang lunas (tulang dada) yang dimiliki seekor burung untuk otot terbang. Kakapo menggunakan sayapnya untuk keseimbangan, penopang, dan untuk menyesuaikan jika jatuh pada saat melompat dari pohon. Tidak seperti burung darat lain, Kakapo dapat mengumpulkan sejumlah besar lemak dalam tubuh untuk sumber energi yang menjadikannya betet terberat.[3]

Pada ujung kepala Kakapo terdapat bulu berwarna hijau lumut kuning yang tercampur atau tertutup dengan warna hitam atau abu-abu coklat gelap, yang berpadu dengan vegetasi asli. Setiap individu kemungkinan memiliki tingkat variasi bermacam-macam bintik-bintik dan nada warna dan intensitas — spesimen museum menunjukkan bahwa beberapa burung memiliki warna kuning dengan lengkap. Dada dan panggul berwarna hijau kekuningan dengan garis kuning. Perut, bawah ekor, leher dan wajah mereka sebagian besar berwarna kuning, yang bergaris hijau pucat dan bintik lemah dengan abu-abu kecoklatan. Karena itu, bulu-bulunya tidak kaku dan tidak membutuhkan kekuatan yang dibutuhkan untuk terbang, bulu-bulunya sangat lembut, yang menjadikannya memiliki nama spesifik habroptilus. Kakapo memiliki wajah datar menarik berbulu bagus, seperti wajah burung hantu; begitu pula, saat pendudukan Eropa awal yang menyebut hewan ini sebagai "betet burung hantu". Paruh mereka ditutupi oleh vibrissa bagus atau "janggut", yang digunakan untuk sensor darat untuk navigasi ketika berjalan dengan kepalanya yang lebih rendah. Rahang bawah tertutup warna gading, dengan bagian lebih atas rahang bawah berwarna abu-abu kebiruan. Matanya berwarna coklat gelap. Kaki Kakapo berukuran besar, bersisik, dan seperti seluruh betet, zygodactyl (dua jari kedepan dan dua ke belakang). Mereka memiliki kuku yang sangat berguna untuk mendaki. Ujung bulu ekornya sering rusak kerena diseret-seret terkena tanah.[3]

"Janggut" yang mengeilingi paruh

Betina mudah dibedakan dari jantan terkait beberapa perbedaan mencolok: mereka memiliki penutup kepala yang lebih terbatas dan sedikit, paruh mereka jika dibandingkan lebih panjang dan proporsional, ceres dan lubang hidung mereka lebih kecil, lengan dan kaki mereka lebih langsing dan abu-abu kemerahan, dan ekor mereka lebih panjang. Saat warna bulu mereka tidak banyak berbeda dengan jantan, nada warna lebih sulit dipisahkan, dengan sedikit kuning dan bintik-bnitik. Kakapo betina cenderung lebih bersifat berani dan agresif dari jantan ketika ditangani. Betina yang bersarang juga berbeda seperindukan pada kulit terbuka di perut.[3]

Seperti banyak betet, Kakapo memiliki banyak sebutan. Sebagai tambahan terhadap kicauannya (lihat Media dibawah untuk hasil rekaman) dan chings untuk sebutan saat kawin, mereka sering skraark untuk menunjukkan lokasi mereka pada burung lain.

Kakapo memiliki rangkaian baik pada sensor bau, yang komplemen kehidupan nokturnal mereka.[7] Kakapo dapat membedakan bau-bauan saat mencari makan; perilaku yang ditunjukkan untuk hanya satu spesies betet lain.[7] Satu karakteristik Kakapo paling mencolok adalah kemenarikannya dan bau yang kuat, yang telah diuraikan berbagai cara sebagai kepengapan, seperti madu, buah atau seperti pembersih udara. Penggunaan rangkaian baik sensor bau Kakapo, bau harum mungkin menjadi chemosignal sosial. Bau-bauan sering menandakan predator kepada Kakapo yang lemah.

Klasifikasi

Kakapo memiliki banyak corak tidak biasa yang menunjukkan inisial dalam keluarganya, Strigopidae. Walau begitu, Strigopidae dikenal sebagai anggota keluarga betet, Psittacidae. Pembedanya adalah digarisbawahi dengan klasifikasinya dalam genusnya, Strigops; dan bangsa, Strigopini, dalam subfamili Psittacinae. Beberapa mempertahankan Kakapo dalam subfamili miliknya, Strigopinae.[8]

Ornitologis terdahulu merasa Kakapo mungkin berhubungan dengan bayan tanah dan bayan malam Australia; penilaian lain terhadap bangsa Nestorini.[9] Penelitian rangkaian DNA kromosom seks spindlin 2005 menetapkan kekerabatan dengan genus Nestor, yang mencakup Kākā dan Kea. Data molekuler lanjutan menunjukkan bahwa dua spesies Nestor, dan Kakapo dalam genusnya, meliputi kelompok kuno yangdipisahkan dari seluruh Psittacidae lain sebelum radiasi mereka,[10] namun bukti fosil menunjukkan kontradiksi ini; yang memberikan sejarah geologi kasar terhadap Selandia Baru (lihat, sebagai contoh, Zona Vulkanik Taupo), penjelasan lain seperti bagian pergeseran genetik tampak lebih baik karena didukung dengan bukti.

Ekologi dan perilaku

 
Penyebaran maksimum sejak 1840
 
Bukti fosil
Sejarah penyebaran Kakapo.

Mamalia asli Selandia Baru terdiri dari tiga spesies kecil kelelawar (satu punah). Ini menunjukkan bahwa Kakapo — seperti banyak spesies burung Selandia Baru — telah berevolusi dalam menempati wilayah ekologi yang normalnya terdiri dari berbagai macam spesies mamalia. Sebelum kedatangan manusia, Kakapo tersebar luas di tiga pulau utama Selandia Baru. Mereka hidup dalam berbagai habitat, seperti kawasan rerumputan tussock, semak belukar dan pantai. Mereka juga menghuni hutan, termasuk yang didominasi oleh tanaman podocarps (rimu, matai, kahikatea, totara), beech, tawa, dan rata. Mereka pada umumnya menjadikan tepi hutan dan wilayah hutan baru sebagai tempat bervegetasi tinggi dalam wilayah yang sempit . Di Fiordland, gundukan dan belukar dengan vegetasi subur dan berbuah lebat — seperti lima jari, berry anggur, semak belukar, tutu, hebe, dan coprosma — terkenal sebagai "taman Kakapo" .

Kakapo merupakan nokturnal penting; mereka berdiam dibawah pepohonan atau tanah selama siang hari dan menjelajahi teritorial mereka saat malam.[2] Meskipun Kakapo tidak dapat terbang, mereka adalah pendaki handal, yang dapat memanjat hingga pucuk pohon tertinggi. Kakapo juga dapat "berparasut" dari tempat tinggi dengan mengembangkan sayapnya, yang mendarat pelan ke lantai hutan. Karena tidak dapat terbang, kakapo memiliki rancangan lengan yang kuat. Gerakannya sering cepat dengan gaya berjalan "seperti jogging" dimana mereka dapat berjalan beberapa kilometer.[6] Betina membuat dua perjalanan bolak-balik setiap malam selama bersarang dari sarang mereka menuju sumber makan hingga sejauh 1 km (0.5 mil)[11] dan jantan berjalan dari lingkungan sarang mereka menuju tempat kawin sejauh 5 km (3 mil) selama musim kawin (Oktober–Januari).[12]

Kakapo merupakan spesies aneh dan telah dikenal karena interaksinya dengan manusia. Staf dan sukarelawan konservasi telah berhubungan secara ekstensif dengan beberapa Kakapo, dan mereka dikenal karena memiliki kepribadian berbeda.

Satu perilaku yang belum lama ini dilakukan Kakapo dengan baik merupakan reaksi mereka dari ancaman. Ketika Kakapo merasa terancam, mereka diam, berharap membaur dalam vegetasi yang serupa mereka. Ini merupakan strategi baik untuk menggagalkan predator utama mereka, Elang Haast raksasa. Namun, ini tidak melindungi mereka dari predator mamalia baru (kucing dan anjing liar), yang tergantung pada sensor bau handal. Cara khas terhadap manusia dalam memburu Kakapo adalah dengan melepaskan anjing yang terlatih.[13]

Pola makan

Paruh Kakapo secara khusus beradaptasi untuk makan makanan bulat dengan baik. Untuk alasan ini, Kakapo memiliki tembolok burung sangat kecil dibandingkan dengan burung lain seukuran mereka. Mereka merupakan Herbivora umum, memakan tanaman, benih, buah, serbuk sari dan setiap lapisan kayu dalam pohon. Penelitian tahun 1984 mengidentifikasi 25 spesies tanaman sebagai makanan Kakapo.[2] Mereka terutama sekali gemar makan buah tanaman rimu, dan akan memakan buah itu sepanjang musim ketika buahnya melimpah. Kakapo memiliki kebiasaan lain berebut daun atau daun palem dengan makanan dan kulit bagian nutrisi tanaman yang dikeluarkan paruhnya, yang menyisakan gulungan serat yang sulit dicerna. Perdu serat tanaman kecil ini merupakan tanda perbedaan keberadaan Kakapo.[14][15] Kakapos dipercaya mempekerjakan bakteri dalam foregut untuk memfermentasikan dan membantu masalah pencernaan tanaman.[16]

Kakapo mengubah pola makan tiap musim. Tanaman yang paling sering dimakan setiap tahun meliputi beberapa spesies Lycopodium ramulosum, Lycopodium fastigium, Schizaea fistulosa, Blechnum minus, Blechnum procerum, Cyathodes juniperina, Dracophyllum longifolium, Olearia colensoi dan Thelymitra venosa. Tanaman individu dari spesies yang sama sering dilakukan dengan cara berbeda. Kakapo meninggalkan bukti menarik dari aktivitas makan mereka, dari 10×10 m hingga 50×100 m area permukaan untuk mencari makan.[2] Manuka dan semak pinus perak kuning merupakan tanda nyata pusat aktivitas makan mereka.

Reproduksi

Kakapo berkamuflase bdengan bulunya.

Kakapo merupakan satu-satunya betet di dunia yang memiliki sistem pembiakan lek.[17] Jantan bebas berkumpul dalam arena dan bersaing dengan lainnya untuk menarik perhatian betina. Betina menyaksikan penampilan jantan, atau "lek".[18] Mereka memilih pasangan berdasarkan kualitas penampilan; mereka tidak diburu jantan dalam setiap jalan terang. Jika pasangan terpikat; jantan dan betina yang bertemu akan kawin.

Selama musim kawin, jantan meninggalkan lingkungan sarang mereka ke puncak bukit atau punggung bukit dimana mereka menentukan tempat kawin mereka. Lek tersebut dapat melebihi 7 kilometer (4 mi) dari teritorial biasa Kakapo dan terpisah rata-rata 50 meter (160 kaki) dengan arena lek. Jantan kembali dalam sarang mereka selama musim kawin. Saat mulai musim pembiakan, jantan akan berkelahi untuk mencoba menyelamatkan pasangan terbaiknya. Mereka menghadapi lainnya dengan menegakkan bulu, mengembangkan sayap, membuka paruh, menegakkan cakar dan mengeram nyaring dan melengking. Perkelahian akan menjadikan burung-burung itu terluka.

Setiap sarang dibuat lubang padat seperti mangkuk di permukaan oleh jantan, hingga kedalaman 10 sentimeter (4 in) dan cukup panjang untuk memasukkan burung berukuran panjang setengah meter. Lubang-lubang itu sering dibuat dekat permukaan batu, onggokan, atau batang pendek pohon untuk membantu merefleksikan suara.[17] Setiap lubang jantan terhubung dengan jaringan jalan kecil atau jalur yang mencapai panjang diameter 50 meter (160 kaki) sepanjang punggung bukit atau 20 meter (60 kaki) di sekeliling puncak bukit.[17] Jantan sangat teliti dengan kebersihan lubang dan jalan mereka dari kotoran. Peneliti meneliti bahwa lubang yang dikunjungi tiap malam itu merupakan tempat untuk menaruh ranting-ranting pohon; jika jantan datang terlalu malam, dia akan memungutnya dengan paruh dan melemparkannya.

Untuk memikat betina, jantan membuat kicauan berfrekuensi rendah (dibwah 100 Hz) dari lubang mereka dengan memompa kantung rongga dada.[6][19] Mereka mulai dengan dengkur rendah, yang meningkat volumenya ketika memompa kantung udara. Setelah sekitar 20 kicauan berturut-turut, volumenya menurun. Kakapo jantan kemudian berdiri rendah selagi menurunkan kepalanya, memompa dadanya dan memulai serangkaian kicauan lain. Kicauan tersebut dapat terdengar hingga sekitar satu kilometer (0.6 mi) saat masih malam; angin dapat membawa suaranya hingga sejauh sekitar lima kilometer (3 mi).[17] Jantan berkicau rata-rata delapan jam tiap malam; setiap jantan akan menghasilkan seribu kicauan saat itu. Ini akan berlanjut tiap malam hingga sekitar tiga atau empat bulan selama waktu dimana jantan akan kehilangan setengah berat tubuhnya. Setiap jantan, akan beraktivitas di sekitar lubang dalam sarangnya sehingga kicauannya terbawa keluar ke segala arah.

Betina akan terpikat oleh kicauan yang dikeluarkan jantan; mereka sangat mungkin membutuhkan perjalanan beberapa kilometer dari teritorial mereka menuju arena. Setiap betina memasuki sarang salah satu pejantan, pejantan menunjukkan penampilan dimana jantan berayun dari sisi ke sisi dan membuat suara gaduh seperti klik dengan paruhnya.[3] Jantan mengarahkan punggungnya ke betina, mengembangkan sayapnya dan berjalan mundur menuju betina. Durasi perkawinan dilakukan selama 2 hingga 14 menit.[3] Setiap burung akan kawin, betina kembali ke teritorial sarangnya untuk mengerami telur dan menjaga anaknya. Jantan akan melanjutkan kicauannya untuk memikat betina lain.

Kakapo betina menampung lebih dari tiga telur setiap siklus pembiakan.[19] Mereka bersarang di permukaan di bawah timbunan tanaman atau di dalam rongga seperti lubang batang pohon. Mereka menginkubasi telur faithfully, tetapi ceroboh untuk meninggalkan telurnya setiap malam untuk mencari makan. Predator yang mengetahui akan memakan telur dan embrio di dalamnya juga dapat mati kedinginan karena ketidakberadaan induknya. Telur Kakapo biasanya menetas setelah 30 hari,[20] dengan anak berwarna kelabu dan berbulu halus yang tanpa harapan. Setelah telur menetas, betina memberi makan anak-anaknya selama tiga bulan, dan anaknya akan tetap tinggal bersama induk selama beberapa bulan setelah tahap terbang.[19] Anak yang masih muda masih rentan terhadap predator seperti saat masih telur, dan dibunuh oleh banyak predator yang sama yang menyerang dewasa. Anak Kakapo meninggalkan sarangnya saat berusia sekitar 10 hingga 12 minggu. Saat mereka memperoleh kebebasan, induk mereka masih memberi makan anaknya dengan sporadis hingga 6 bulan.

Karena Kakapo berusia panjang, mereka cenderung memiliki masa keremajaan sebelum mulai kawin. Para pejantan tidak mulai berkicau hingga berusia sekitar 5 tahun.[6] Betina tidak mencari jantan hingga berusia antara 9 dan 11 tahun.[20] Masa yang panjang ini membatasi mereka sebelum mulai bereproduksi dan meninggalkan banyak waktu untuk mempertahankan spesiesnya. Kakapo tidak berkembang biak setiap tahun dan memiliki suatu tingkat reproduksi terendah di antara burung lainnya. Perkembangbiakan terjadi hanya du tahun ketika pohon-pohon berbuah, yang menyediakan banyak kebutuhan makan. Pohon Rimu berbuah hanya setiap tiga hingga lima tahun, sehingga hutan yang didominasi rimu seperti yang terdapat di pulau Ikan Cod, menyebabkan perkembangbiakan Kakapo sangat jarang terjadi.[21]

Konservasi

Populasi Kakapo di Selandia Baru telah menurun secara signifikan sejak manusia menghuni pulau ini. Sejak tahun 1891, usaha konservasi telah dilakukan untuk mencegah kepunahan. Rencana yang paling berhasil dijadikan Rencana Pemulihan Kakapo; rencana ini diterapkan pada tahun 1989 dan masih dijalankan.

Dampak manusia

Faktor pertama dalam penurunan populasi Kakapo adalah kedatangan manusia. Menurut cerita rakyat Māori, Kakapo dapat ditemukan diseluruh wilayah Selandia Baru ketika orang Polinesia pertama tiba di Aotearoa 1.000 tahun lalu;[22] endapan subfosil dan bangkai menunjukkan bahwa mereka muncul diseluruh pulau Utara, pulau Selatan dan pulau Stewart sebelum dan selama masa Māori awal.[23] Māori,mengembara dari Polinesia untuk berburu Kakapo untuk makan dan terhadap bulu dan kulitnya, yang diubah menjadi mantel indah.[22] Mereka menggunakan bagian kepala yang dikeringkan sebagai ornamen kuping. Karena tidak bisa terbang, bau menyengat dan kebiasaan mematung ketika terancam, Kakapo mudah diburu orang Māori dan anjingnya. Telur dan anaknya juga dimangsa oleh tikus Polinesia atau kiore, yang dibawa bangsa Māori ketika tiba di Selandia Baru.[24] Lagipula, kesengajaan perusakan vegetasi oleh bangsa Māori menyebabkan lingkup habitat Kakapo berkurang. Meskipun Kakapo telah punah di banyak bagian kepulauan pada masa kedatangan bangsa Eropa,[25] termasuk batas Tararua dan Aorangi,[26] Kakapo masih terdapat di bagian tangah pulau Utara dan bagian berhutan di pulau Selatan.[23]

Dari tahun 1840-an, pengembara Eropa menggunakan hamparan luas di pulau untuk pertanian dan pengembalaan, yang kemudian menyingkirkan Kakapo dan habitatnya. Mereka membawa banyak anjing dan predator mamalia lain, termasuk kucing domestik, tikus hitam dan cerpelai.[27] Bangsa Eropa hanya mengetahui sedikit tentang Kakapo hingga George Gray dari Museum Britania menguraikan kulitnya pada tahun 1845. Ketika bangsa Māori tersingkir, penjelajah Eropa awal dan anjing mereka hidup berdampingan dengan Kakapo. Pada akhir tahun 1800-an, Kakapo menjadi terkenal sebagai kecurigaan ilmiah, dan ribuan ekor ditangkap atau dibunuh untuk kebun binatang, museum, dan kolektor. Banyak sekali spesimen yang ditangkap meninggal dalam berbulan-bulan. Dari akhir tahun 1870-an, para kolektor mengetahui bahwa populasi Kakapo semakin menurun; namun, perhatian utama mereka adalah untuk mengumpulkan sebanyak mungkin sebelum mereka punah.

Pada tahun 1880-an, sejumlah besar mustelida (cerpelai, ferret dan musang) dilepaskan di Selandia Baru untuk mengurangi jumlah kelinci,[28] namun mereka juga berburu keras terhadap banyak spesies asli seperti Kakapo. Pencarian hewan lain, seperti rusa yang dikenal, bersaing dengan Kakapo untuk makan, dan menyebabkan kepunahan beberapa spesies tumbuhan yang disukainya. Kakapo dilaporkan masih terdapat di dekat kepala sungai Whanganui selama tahun 1894, dengan satu laporan terakhir Kakapo di pulau Utara yang menjadi burung tunggal yang ditemui di batas Kaimanawa oleh satu Te Kepa Puawheawhe pada tahun 1895.[26]

Usaha perlindungan awal

Ribuan Kakapo dikoleksi oleh museum di seluruh dunia.

Tahun 1891, Pemerintah Selandia Baru menyimpulkan pulau Resolution di Fiordland sebagai cagar alam; tahun 1894, pemerintah menetapkan Richard Henry sebagai pejabat. Seorang naturalis handal, Henry menyadarkan bahwa populasi burung asli sedang menurun, dan mulai menangkap dan memindahkan Kakapo dan kiwi dari daratan utama menuju Pulau Resolution yang bebas predator. Dalam enam tahun, di memindahkan lebih dari 200 Kakapo ke Pulau Resolution. Pada tahun 1900, bagaimanapun, cerpelai dapat berenang menuju Pulau Resolution dan menguasainya; mereka menghabiskan garis keturunan populasi Kakapo dalam 6 tahun.[29]

Tahun 1903, tiga Kakapo dipindahkan dari Pulau Resolution ke cagar alam Hauturu/Pulau Penghalang Kecil timur laut Auckland, tetapi kucing liar muncul dan Kakapo tidak pernah terlihat lagi. Tahun 1912, tiga Kakapo dipindahkan ke another reserve, Pulau Kapiti, barat laut Wellington. Salah satu dari mereka bertahan hingga akhir 1936, disamping keberadaan kucing liar dari bagian periode lain.[29]

Pada tahun 1920-an, Kakapo dinyatakan punah di Pulau Utara dan jumlah dan ruang mereka di Pulau Selatan semakin berkurang.[25] Satu tempat perlindungan terakhir mereka adalah Fiordland yang tidak datar. Di sana, selama tahun 1930-an, mereka sering terlihat dan terdengar, dan adakalanya dimakan, oleh pemburu dan pekerja jalan. Pada tahun 1940-an, laporan Kakapo menjadi langka.

Usaha konservasi 1950–1989

Pada tahun 1950-an, Dinas Alam Liar Selandia Baru dibentuk dan mulai membuat ekspedisi reguler untuk mencari Kakapo, yang banyak di Fiordland dan apa yang sekarang disebut Taman Nasional Kahurangi di barat laut Pulau Selatan. Ketujuh ekspedisi Fiordland yang dilakukan antara tahun 1951 dan 1956 hanya menemukan sedikit tanda baru. Akhirnya, pada tahun 1958 seekor Kakapo ditemukan dan dilepaskan di area penangkaran Selat Milford di Fiordland. Enam lebih Kakapo ditangkap pada tahun 1961; salah satunya dilepaskan dan lima ekor lainnya dipindahkan ke sangkar besar Perlindungan Burung Gunung Bruce dekat Masterton di pulau Utara. Dalam beberapa bulan, empat ekor burung mati mati dan yang kelima mati setelah empat tahun. Dalam 12 tahun berikutnya, ekspedisi reguler menemukan tanda baru Kakapo, yang mengindikasikan bahwa jumlahnya berangsur menurun. Hanya seekor yang ditangkap pada tahun 1967; yang kemudian mati pada tahun berikutnya.

Pada awal tahun 1970-an, tidak pasti apakah Kakapo merupakan spesies yang masih ada. Pada akhir tahun 1974, para ilmuan melokasikan beberapa Kakapo jantan dan melakukan observasi ilmiah pertama terhadap kicauan Kakapo. Observasi ini dipimpin oleh Don Merton untuk menspekulasi kali pertama Kakapo memiliki sistem perkembangbiakan lek.[24] Dari tahun 1974 hingga tahun 1976, 14 Kakapo ditemukan namun seluruhnya adalah jantan. Seekor pejantan ditangkap di kawasan Milford pada tahun 1975, yang diberi nama "Richard Henry", dan dipindahkan ke Pulau Maud. Kejadian ini memungkinan bahwa seluruh betina telah mati dan bahwa spesies ini punah secara fungsional. Seluruh burung yang ditemukan Dinas Alam Liar dari tahun 1951 hingga tahun 1976 terdapat di lembah glasial berbentuk U yang diapit oleh tebing curam dan dikelilingi oleh pegunungan tinggi. Daerah ekstrem itu memiliki kolonisasi rendah terhadap mamalia herbivora, sisa-sisa kepulauan hampir tidak membentuk vegetasi asli. Walau begitu, ketika di sini, cerpelai telah muncul dan pada tahun 1976 Kakapo telah hilang dari lantai lembah dan hanya sedikit pejantan yang selamat di banyak bagian jalur tebing.[3]

Sebelum 1977, tidak ada ekspedisi dari Pulau Stewart/Rakiura, tetapi pekerja pemerintah melihat seekor Kakapo disana dan mengambil bulunya pada tahun 1949[butuh rujukan]. Tahun 1977, penampakan Kakapo dilaporkan dari Pulau Stewart.[3] Sebuah ekspedisi dari pulau itu menemukan sistem mangkuk dan jalur pada hari pertama; yang kemudian, melokasikan beberapa disen Kakapo. Penemuan di area seluas 8.000 ha hutan dan semak belukar yang terkena kebakaran menunjukkan harapan bahwa populasi juga meliputi betina. Populasi total diperkirakan 100 hingga 200 burung.[30]

Mustelida tidak pernah mengusai Pulau Steward/Rakiura, tetapi kucing buas yang muncul. Selama survei, dinyatakan bahwa kucing membunuh Kakapo dengan tingkat predasi 56% per tahun.[31] Pada tingkat ini, burung tidak dapat bertahan di pulau dan untuk itu pengendalian kucing secara intensif dilakukan pada tahun 1982, hingga tidak ada kucing yang membunuh Kakapo ditemukan.[3] Namun, untuk memastikan keselamatan burung-burung yang tersisa, para ilmuan mendedikasikan kemudian bahwa populasi ini dapat dipindahkan ke pulau-pulau bebas predator; operasi ini this operation dilakukan antara tahun 1982 dan 1997.[32]

Rencana pemulihan Kakapo

Translokasi Kakapo 1974–1992[32]
Ditranslokasikan ke Jumlah Kakapo Mati < 6 bulan Bertahan hingga November 1992
Pulau Maud (1974–81) 9 (6♂, 3♀) 3 (2♂, 1♀) 4 (2♂, 2♀)
Pulau Penghalang Kecil (1982) 22 (13♂, 9♀) 2 (1♂, 1♀) 15–19 (10–12♂, 5–7♀)
Pulau Codfish (1987–92) 30 (20♂, 10♀) 0 20–30 (13–20♂, 7–10♀)
Pulau Maud (1989–91) 6 (4♂, 2♀) 0 5 (3♂, 2♀)
Pulau Mana (1992) 2 (2♀) 1 (1♀) 1 (1♀)
Total 65 (43♂, 22♀) 6 (4♂, 2♀) 41–55 (27–36♂, 14–19♀)

Catatan: ♂ = jantan, ♀ = betina.

Tahun 1989, Rencana Pemulihan Kakapo dirancang dan Kelompok Pemulihan Kakapo dibentuk untuk menerapkannya.[33] Departemen Konservasi Selandia Baru menggantikan Dinas Alam Liar untuk tugas ini. Tindakan pertama rencana ini adalah merelokasi seluruh Kakapo yang tersisa ke pulau-pulau yang layak untuk perkembangbiakan mereka. Namun, tidak ada pulau di Selandia Baru yang layak untuk pemulihan Kakapo tanpa rehabilitasi dengan penghijauan ekstensif dan pemberantasan predator dan pesaing mamalia yang dimaksud. Empat pulau akhirnya dipilih: Maud, Penghalang Kecil, Codfish dan Mana.[32] Beberapa pulau harus direhabilitasi beberapa kali karena kucing buas, cerpelai, dan weka tetap muncul. Enam puluh lima Kakapo (43 jantan, 22 betina) telah berhasil dipindahkan ke empat pulau dalam lima translokasi.[32] Pada November 2005, Hauturu/Pulau Penghalang Kecil dan Pulau Mana diganti dengan Pulau Chalky (Te Kakahu) dan Pulau Anchor sebagai cagar alam Kakapo.[3]

Berikut adalah penerapan Rencana Pemulihan Kakapo, jumlah Kakapo secara umum semakin meningkat.

Kunci bagian Rencana Pemulihan adalah ketersediaan makanan terhadap betina. Kakapo berkembangbiak hanya setiap dua atau lima tahun, yang tergantung suatu jenis spesies tanaman tertentu, terutama Dacrydium cupressinum (rimu), yang menghasilkan buah dan biji kaya protein. Penelitian terhadap hubungan antara jarak perkembangbiakan dan tahun panen raya tumbuhan yang membantu pakar biologi menemukan persediaan makanan yang cocok untuk meningkatkan frekuensi perkembangbiakan Kakapo.[34] Pada tahun 1989, enam makanan yang disuka (apel, ubi jalar, badam, kacang brazil, biji bunga matahari dan walnut) telah tersedia ad libitum setiap malam hingga 12 stasiun makanan. Jantan dan betina makan makanan yang tersedia, dan betina bertangkar di Pulau Penghalang Kecil pada musim panas 1989–91 untuk pertama kalinya sejak 1982, meskipun keberhasilan penangkaran randah.[35]

Ketersediaan makanan tidak hanya meningkatkan frekuensi perkembangbiakan Kakapo, tetapi juga memengaruhi perbandingan jenis kelamin keturunan Kakapo.[36] Betina yang makan makanan berprotein akan menghasilkan keturunan jantan yang berbeda (jantan memiliki 30–40% berat badan lebih daripada betina). Betina menghasilkan keturunan berbeda terhadap dispresive sex saat persaingan kebutuhan (seperti makanan) yang tinggi dan non-dispersive sex saat makan melimpah; Kakapo betina akan dapat bertelur saat terdapat sedikit sumber daya, Kakapo jantan lebih mampu melestarikan spesiesnya saat sumber daya melimpah dengan kawin dengan beberapa betina. Penemuan ini akhirnya digunakan untuk meningkatkan jumlah anak-anak betina dengan memanipulasi kondisi materi secara bebas.[37] Selama musim dingin 1981, hanya betina yang memiliki berat dibawah 1.5 kg yang diberi cadangan makanan untuk menghindari peningkatan kondisi tubuh mereka, dan hasil perbandingan jenis kelamin pada tahun 1982 mendekati persamaan, dengan mengelompokkan perbandingan jenis kelamin jantan yang berbeda dengan pemberian makan yang sah.

Meskipun perkembangbiakan dapat ditingkatkan dengan ketersediannya makanan, Kakapo muda yang tersisa akan terganggu dengan kehadiran tikus Polynesia. Dari 21 anakan yang diperoleh pada tahun 1981 hingga 1994, sembilan di antaranya tersingkir oleh tikus atau mati dan kemudian dimangsa tikus.[34] Perlindungan sarang telah diintensifkan sejak tahun 1995 dengan menggunakan stasiun perangkap dan racun saat sarang diketahui pemangsa. Sebuah kamera video kecil dan sumber cahaya infra-merah yang mengamati terus-menerus, akan digunakan sebagai pengendali untuk menakut-nakuti tikus-tikus yang mendekat dengan dentuman kecil dan kilatan cahaya. Untuk meningkatkan tingkat keberhasilan penangkaran, pengamat sarang menempatkan lembaran elektrik kecil yang dikenadilkan secara termostatik untuk mengawasi telur dan anakan saat induknya pergi meninggalkan sarang untuk mencari makan. Tingkat anakan semakin meningkat dari 29% (sarang yang tidak dilindungi) hingga 75% (sarang yang dilindungi).[34]

Untuk memonitor populasi Kakapo terus menerus, setiap burung dilengkapi dengan pemancar radio.[34] Setiap Kakapo yang diketahui akan diberi nama oleh petugas Program Pemulihan Kakapo. Ini adalah cara bijaksana yang dilakukan petugas konservasi agar dapat menunjukkan burung-burung secara individu, dan memberitahukan berapa banyak spesies yang masih tersisa. Inkubasi buatan terhadap intervensi telur dan anakansering digunakan untuk memperkuat kondisi telur dan anakan.[38] Ketika November 2005, populasinya terdiri dari 41 betina dan 45 jantan, termasuk empat ekor (3 betina dan 1 jantan) yang menetas pada tahun 2005.[3] Kakapo tertua yang tersisa, "Richard Henry", mencapai usia antarai 35 dan 50 tahun.[39]

Rencana Pemulihan Kakapo akhirnya menjadi program yang sukses karena jumlah Kakapo semakin meningkat. Tingkat keamanan dari pemangsa terhadap spesies dewasa dan produktivitasnya telah meningkat tajam sejak awal program. Namun, tujuan utamanya adalah untuk menjadikan paling sedikit suatu keaktifan, percaya diri, terhadap populasi Kakapo yang tidak terikat seperti komponen fungsional ekosistem dalam suatu habitat yang dilindungi.[40] Untuk dapat menerima tantangan konservasi ini, dua pulau Fiordland yang besar, pulau Resolusi (20,860 ha) dan Secretary (8,140 ha), telah disiapkan untuk memperkenalkan kembali Kakapo terhadap kegiatan pemulihan ekologi berskala besar.[3]

Dalam budaya Māori

Kakapo adalah hewan yang terdapat dalam kekayaan tradisi dari cerita rakyat dan kepercayaan Māori. Siklus perkembangbiakannya yang tidak beraturan tercatat memiliki kaitan dengan masa panen yang atau "tahun panen" spesies tanaman tertentu seperti Rimu yang digunakan Māori dalam memuja burung itu untuk dapat meramal masa depan.[41] Untuk memperkuat klaim ini, dari suatu penelitian dilaporkan burung ini menimbun biji tumbuhan Hinau dan Tawa (saat di musimnya) kedalam kolam penampungan tersendiri untuk persediaan makan di musim panas selanjutnya; perilaku memasukkan makanan dalam air juga dilakukan Māori untuk tujuan yang sama, diyakini sebagai penyebab penelitian ini.[41]

Untuk hidangan dan pakaian

Daging Kakapo dapat dibuat menjadi makanan yang layak dan dianggap oleh orang Māori sebagai suatu kelezatan[42] sehingga mereka memburunya untuk dijadikan hidangan selama di masa mereka masih tersebar luas.[43] Sebuah sumber menyatakan bahwa dagingnya "menyerupai rasa dan tekstur daging biri-biri",[41] sedangkan pendatang Eropa menganggap burung ini memiliki "rasa yang kuat dan lembut".[42]

Saat masa-masa perkembangbiakan, kicauan keras yang dilakukan pejantan di arena perkawinan mereka membuatnya mudah ditemukan saat pesta perburuan Māori, dan mereka juga diburu saat sedang makan atau saat masih berlumuran debu ketika musim kering. Penangkapan burung, biasanya dilakukan saat malam, menggunakan penjerat, perangkap jebakan, atau dengan sekawanan anjing Polinesia peliharaan yang mengiringi pesta perburuan — kadang mereka juga menggunakan korek api berbagai jenis untuk untuk menampakkan burung dalam kegelapan, Kakapo yang mematung di lintasannya membuatnya mudah ditangkap.[41] Proses pemasakan dilakukan dalam sebuah Hāngi atau di permukaan minyak mendidih.[43] Daging burung ini dapat terpelihara lemaknya dan disimpan dalam penyimpanan untuk digunakan lain waktu — pemburu dari bangsa Ngāi Tahu akan mengemas dagingnya dalam keranjang yang dibuat dari inti kulit kayu pohon Totara atau dalam penyimpanan yang terbuat dari kelp.[44] Gulungan bulu ekor Kakapo dipasang di sisi-sisi penyimpanan tersebut untuk menambah dekorasi dan sebagai cara untuk mengetahui isi dari penyimpanan itu.[42][44] Māori juga mengambil telur Kakapo yang dianggap "putih namun seutuhnya putih", dan sekitar berukuran sama seperti telur kererū.[41]

Seperti halnya santapan daging Kakapo yang mereka bunuh, Māori juga menggunakan kulit Kakapo — dengan bulu yang masih utuh — untuk dibuat pelindung dan mantel.[43][44] Masing-masingnya memerlukan sekitar 11.000 bulu untuk jadi.[45] Tidak hanya untuk keindahan saja, mereka juga menyimpannya dan menggunakannya sebagai penghangat.[43][45] Benda-benda itu sangat dihargai, dan hanya sedikit yang masih ada saat ini yang dinyatakan Taonga (harta terpendam) — tentunya, pepatah Māori tua "Kalian memiliki sebuah mentel Kākāpō dan kalian masih mengeluh kedinginan" digunakan untuk menjelaskan seseorang yang tidak pernah puas.[43] Bulu-bulu Kakapo juga digunakan untuk mendekorasi ujung taiaha, tetapi dipindahkan sebelum nyata digunakan dalam pertempuran.[42][44][45]

Disamping semua itu, Kakapo juga digunakan sebagai binatang peliharaan oleh orang Māori. Hal ini dipengaruhi penjajah Eropa di Selandia Baru pada abad ke-19, di antara mereka George Edward Grey, sekali meulis surat untuk memperkenalkan bahwa tingkah laku Kakapo yang dipeliharanya terhadapnya dan temannya "lebih seperti seekor anjing daripada burung".[41]

Media

Kicauan Kakapo Kesulitan memainkan berkas media?

Jika suara berjangkauan rendah tidak dapat terdengar, coba dengarkan versi alternatif (berkas) yang memiliki jangkauan nada tinggi 50%.

Referensi

  1. ^ BirdLife International (2013). "Strigops habroptila". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.2. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 26 November 2013. 
  2. ^ a b c d H.A. Best (1984). "The Foods of Kakapo on Stewart Island as Determined from Their Feeding Sign" (PDF). New Zealand Journal of Ecology. 7: 71–83. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n Ralph G. Powlesland, Don V. Merton, and John F. Cockrem. "A parrot apart: the natural history of the kakapo (Strigops habroptilus), and the context of its conservation management". Notornis. 53 (1): 3–26. 
  4. ^ "KAKAPO PARROTS - The 86 Names". anotherchancetosee.com. 2006-08-04. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-02-12. Diakses tanggal 2007-02-06.  Hapus pranala luar di parameter |publisher= (bantuan)
  5. ^ "GERALD DURRELL'S CAREER". durrellwildlife.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-07-24. Diakses tanggal 2008-01-19. 
  6. ^ a b c d Higgins, P.J. (1999). Handbook of Australian, New Zealand and Antarctic Birds. Volume 4: Parrots to Dollarbird. Melbourne: Oxford University Press. ISBN 0-19-553071-3. 
  7. ^ a b Hagelin, Julie C. (2004). Observations on the olfactory ability of the Kakapo Strigops habroptilus, the critically endangered parrot of New Zealand. IBIS 146: 161–164
  8. ^ Turbott, E.G. (1990) Checklist of the birds of New Zealand and the Ross Dependency, Antarctica. Random Century, in association with the Ornithological Society of New Zealand, Auckland.
  9. ^ Smith, G.A. (1975) Systematics of parrots. Ibis 117: 18–66.
  10. ^ de Kloet, R.S.; de Kloet, S.R. (2005). The evolution of the spindlin gene in birds: sequence analysis of an intron of the spindlin W and Z gene reveals four major divisions of the Psittaciformes. Molecular Phylogenetics and Evolution 36: 706–721.
  11. ^ R.G. Powlesland; B.D. Lloyd; H.A. Best; D.V. Merton (1992). "Breeding Biology of the Kakapo Strigops-Habroptilus on Stewart Island, New Zealand". IBIS. 134 (4): 361–373. 
  12. ^ H.A. Best and R.G. Powlesland (1985). Kakapo. Dunedin: John McIndoe and New Zealand Wildlife Service. 
  13. ^ R. Henry (1903). The habits of flightless birds of New Zealand: with notes on other flightless New Zealand birds. Wellington: Government Printer. 
  14. ^ Gray, R.S. (1977). "The kakapo (Strigops habroptilus, Gray 1847), its food, feeding and habitat in Fiordland and Maud Island". M.Sc. thesis. Massey University, Palmerston North, New Zealand.
  15. ^ Atkinson, I. A. E. and Merton, D. V. (2006). "Habitat and diet of kakapo (Strigops habroptilus) in the Esperance Valley, Fiordland, New Zealand". Notornis. 53 (1): 37–54. 
  16. ^ Lopez-Calleja, M. Victoria and Bpzinovic, F. 2000. Ecología energética y nutricional en aves herbívoras pequeñas. (Energetics and nutritional ecology of small herbivorous birds) Rev. chil. hist. nat. [online]. 73(3):411-420. Full text
  17. ^ a b c d Merton, D.V.; Morris, R.D.; Atkinson, I.A.E. (1984). "Lek behaviour in a parrot: the Kakapo Strigops habroptilus of New Zealand". Ibis. 126: 277–283. 
  18. ^ Merton, D.V. (1976). Konservasi kakapo: sebuah laporan perkembangan. Dalam Proc. Science in Nat. Parks. . National Parks Authority, Wellington, N.Z. National Parks Series No. 6: 139–148.
  19. ^ a b c J.F. Cockrem (2002). "Reproductive biology and conservation of the endangered kakapo (Strigops habroptilus) in New Zealand". Avian and Poultry Biology Reviews. 13 (3): 139–144. 
  20. ^ a b Daryl K. Eason, Graeme P. Elliott, Don V. Merton, Paul W. Jansen, Grant A. Harper, and Ron J. Moorhouse (2006). "Breeding biology of kakapo (Strigops habroptilus) on offshore island sanctuaries, 1990–2002". Notornis. 54 (1): 27–36. 
  21. ^ Yvette Cottam, Don V. Merton, and Wouter Hendriks (2006). "Nutrient composition of the diet of parent-raised kakapo nestlings". Notornis. 53 (1): 90–99. 
  22. ^ a b Rob Tipa (2006). "Kakapo in Māori lore". Notornis. 53 (1). 
  23. ^ a b Barrie Heather and Hugh Robertson, illustrated bu Derek Onley, The Field guide to the birds of New Zealand, Viking, revised edition, 2005
  24. ^ a b Merton, D.V. (1976). Conservation of the kakapo: a progress report. In Proc. Science in Nat. Parks. . National Parks Authority, Wellington, N.Z. National Parks Series No. 6: 139–148.
  25. ^ a b G. R. Williams (1956). "The Kakapo (Strigops habroptilus, Gray): a review and reappraisal of a near-extinct species". Notornis. 7 (2): 29–56. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-06-02. Diakses tanggal 2008-01-30. 
  26. ^ a b Elsdon Best, "Forest Lore of the Māori", Te Papa Press, 2005
  27. ^ W. J. Sutherland. "Conservation Biology: Science, Sex and the Kakapo". Nature. 419: 265–266. 
  28. ^ Murphy, E and Dowding, J. (1995). "Ecology of the stoat in Nothofagus forest: home range, habitat use and diet at different stages of the beech mast cycle" (PDF). New Zealand Journal of Ecology. 19 (2): 97–109. 
  29. ^ a b Hill, S.; Hill, J. 1987. Richard Henry of Resolution Island. Dunedin, John McIndoe.
  30. ^ Powlesland, R.G.; Roberts, A.; Lloyd, B. D. and Merton, D.V. (1995). "Number, fate and distribution of kakapo (Strigops habroptilus) found on Stewart Island, New Zealand, 1979–92" (PDF). New Zealand Journal of Zoology. 22: 239–248. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2004-09-22. Diakses tanggal 2008-02-01. 
  31. ^ Karl, B.J. and Best, H.A. (1982). "Feral cats on Stewart Island: their foods and their effects on kakapo". New Zealand Journal of Zoology. 9: 287–294. 
  32. ^ a b c d B. D. Lloyd and R. G. Powlesland (1994). "The decline of kakapo Strigops habroptilus and attempts at conservation by translocation". Biological Conservation. 69 (1): 75–85. 
  33. ^ Powlesland, R.G. (1989). Kakapo recovery plan 1989–1994. Wellington: Department of Conservation. 
  34. ^ a b c d Elliott, G.P.; Merton, D.V.; Jansen, P.W. (2001). "Intensive management of a critically endangered species: the kakapo". Biological Conservation. 99 (1): 121–133. 
  35. ^ R. G. Powlesland and B. D. Lloyd (1994). "Use of supplementary feeding to induce breeding in free-living kakapo Strigops habroptilus in New Zealand". Biological Conservation. 69 (1): 97–106. 
  36. ^ Clout, M.N.; Elliott, G.P.; Robertson, B.C. (2002). "Effects of supplementary feeding on the offspring sex ratio of kakapo: a dilemma for the conservation of a polygynous parrot". Biological Conservation. 107 (1): 13–18. 
  37. ^ Robertson, B.C.; Elliott, G.P.; Eason, D.K.; Clout, M.N.; Gemmell, N.J. (2006). "Sex allocation theory aids conservation". Biology Letters. 2 (2): 229–231. [pranala nonaktif permanen]
  38. ^ Daryl K. Eason and Ron J. Moorhouse. "Hand-rearing kakapo (Strigops habroptilus), 1997–2005". Notornis. 53 (1): 116–125. 
  39. ^ "Kakapo Recovery Programme:Richard Henry". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-04-16. Diakses tanggal 2007-04-16. 
  40. ^ Cresswell, M. (1996). Kakapo recovery plan 1996–2005. Threatened Species Recovery Plan No. 21. Wellington: Department of Conservation. 
  41. ^ a b c d e f Murdoch Riley, "Maori Bird Lore; An introduction", Viking Sevenseas NZ LTD., 2001
  42. ^ a b c d "Rob Tipa, Short note:"Kakapo in Māori Lore", Notornis, Vol. 53, 193-194" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2008-04-11. Diakses tanggal 2008-02-10. 
  43. ^ a b c d e Rod Morris, Hal Smith,"Wild South: Saving New Zealands endangered birds", Random House New Zealand, 1995
  44. ^ a b c d "Kakapo then and now; An Iwi Perspective". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-04-16. Diakses tanggal 2007-04-16. 
  45. ^ a b c Andrew Crowe, "Which New Zealand Bird?", Penguin, 2001

Bacaan lebih lanjut

  • Ballance, Alison: "Kakapo. Rescued from the brink of extinction" Craig Potton Publishing, Nelson 2010. 216 pages. ISBN 978-1-877517-27-3
  • Butler, David (1989). Quest for the kakapo. Auckland: Heinemann Reed. ISBN 0-7900-0065-2. 
  • Climo, Gideon; Ballance, Alison (1997). Hoki: The story of a kakapo. Auckland: Godwit. ISBN 1-86962-009-7. 
  • Jones, Jenny (2003). The kakapo. Auckland: Reed. ISBN 1-86948-662-5. 
  • Williams, Murray; Merton, Don (2006). "Saving kakapo: An illustrated history" (PDF). Notornis. 53 (1). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-29. Diakses tanggal 2016-08-14. 
  • Eulenpapagei oder Kakapo (Strigops habroptilus). in: Günther Steinig (Hrsg.): Brehms Exotische Vogelwelt. Safari, Berlin ²1963, S.62–71. (Die Darstellung folgt vor allem Beobachtungen frühen Erforschern Neuseelands, wie Julius Haast, Georg Grey und Lyall)
  • Jim Rearden: Die letzten Tage des Kakapo. in: Geo-Magazin. Hamburg 1978,2, S.88–102. (über die Erhaltungsbemühungen in Fiordland). ISSN 0342-8311
  • Vom Leben eines totgesagten Vogels. in: Geo-Magazin. Hamburg 2006,10(Okt.), S.176–180. ISSN 0342-8311
  • Eulenpapagei. Brummend balzt das letzte Männchen. in: R. L. Schreiber, A. W. Diamond, H. Stern, G. Thielcke (Hrsg.): Rettet die Vogelwelt. O. Maier, Ravensburg 1987, S.198–201. ISBN 3-473-46160-1
  • Adams, Douglas; Carwardine, Mark (1990). Last Chance to See. Pan Books. ISBN 978-0-345-37198-0. 
  • Don V. Merton, Rodney B. Morris, Ian A. E. Atkinson: Lek behaviour in a parrot: the kakapo Strigops habroptilus of New Zealand. in: The Ibis. Oxford 126.1984. ISSN 0019-1019
  • David Cemmick, Dick Veitch: Kakapo Country. The Story of the World's most unusual bird. Foreword by David Bellamy. Illustrationen von D. Cemmick. Hodder&Stoughton, Auckland 1987. ISBN 0-340-41647-5
  • Rod Morris, Hal Smith: Wild South. Saving New Zealand's Endangered Birds. TVNZ and Century Hutchinson, Auckland 1988. ISBN 1-86941-043-2
  • Philip Temple, Chris Gaskin: The Story of the kakapo. Parrot of the Night. Hodder&Stoughton, Auckland 1988. (Pricewinner: Children's Picture Book of the Year Award 1990). ISBN 0-340-51967-3
  • Ralph Powlesland: Kakapo Recovery Plan 1989–1994. Published by The Department of Conservation (DoC), Wellington 1989. ISBN 0-478-01114-8
  • R. G. Powlesland, A. Roberts, B. D. Lloyd, D. Merton: rsnz.org Diarsipkan 2004-09-22 di Wayback Machine.: Number, fate, and distribution of Kakapo (Strigops habroptilus) found on Stewart Island, New Zealand 1979–1992. in: New Zealand Journal of Zoology. Wellington 22.1995, 239–248. ISSN 0301-4223
  • Mary Cresswell, Kakapo Management Group: kakaporecovery.org.nz: KAKAPO RECOVERY PLAN 1996–2005. Threatened Species Recovery Plan No. 21. Department of Conservation (DoC), Wellington 1996. ISBN 0-478-01773-1
  • Don Merton: Kakapo. in: P. J. Higgins (Hrsg.): Handbook of Australian, New Zealand and Antarctic Birds. Bd 4. RAOU. Oxford University Press, Melbourne 1999, 633–646. ISBN 0-19-553071-3
  • Tim Higham: The kakapo of Codfish Island. in: New Zealand Geographic magazine. Auckland 1992,15 (July–Sept.), 30–38. ISSN 0113-9967
  • Derek Grzelewski: Kakapo. Bird on the brink. in: New Zealand Geographic Magazine. Ohakune 2002, 56 (March–April). ISSN 0113-9967
  • Gerard Hutching: Back from the Brink. The Fight to Save our Endangered Birds. Penguin Books Publisher, Auckland 2004. ISBN 0-14-301948-1
  • A celebration of kakapo. Diarsipkan 2014-05-22 di Wayback Machine. Special Issue of Notornis. Ornithological Society of New Zealand, Wellington 53.2006,1. ISSN 0029-4470

Pranala luar