Hubungan diplomatik antara Uni Soviet dan Suriah didirikan pada Juli 1944, dan sebuah kesepakatan ditandatangani pada Februari 1946 yang memberikan dukungan Soviet atas kemerdekaan Suriah menjelang evakuasi pasukan Prancis pada Februari 1946.[3] Pada 1971, di bawah sebuah kesepakatan dengan Presiden Hafez al-Assad, Uni Soviet diijinkan untuk membuka basis militer angkatan lautnya di Tartus,[4][5] sebuah fasilitas dari bekas republik Soviet yang masih dipakai sampai sekarang. Pada 8 oktober 1980, Suriah dan Uni Soviet menandatangani Traktat Persahabatan dan Kerjasama.[6] Traktat tersebut berlaku selama dua puluh tahun dan memiliki ekstensi lima tahun otomatik, ketimbang salah satu pihak menterminasikan perjanjian tersebut. Ini menyediakan konsultasi reguler pada masalah-masalah kepentingan bilateral dan multilateral, koordinasri dari tanggapan dalam peristiwa krisis dan kerjasama militer.[7] The treaty remains in force to this day.[8] Pada Januari 1992, pemerintah Suriah mengakui Federasi Suriah sebagai penerus sah dari Uni Soviet.
Rusia pada 2011 dan 2012 memakai hak vetonya dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang resolusi-resolusi yang dipromosikan negara-negara Barat dan Arab, untuk menghindari kemungkinan sanksi atau intervensi militer melawan pemerintah Suriah, dan Rusia masih menyuplai sejumlah besar senjata yang Suriah beli sebelumnya.[9] Pada 30 September 2015, Rusia memulai keterlibatan militer pada Perang Saudara Suriah dalam mendukung pemerintah al-Assad, terdiri dari serangan-serangan udara melawan kelompok militan yang menentang pemerintah.[10]
Allison, Roy (2013). "Russia and Syria: Explaining Alignment with a Regime in Crisis". International Affairs. 89 (4): 795–823. doi:10.1111/1468-2346.12046.