Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan islam pertama dan terbesar di pantai utara pulau Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, pengasas kerajaan ini yang bernama Raden Fatah kemudian muncul sebagai kekuatan baru mewarisi wewenang dan kebesaran kerajaan purba ini.[1]
Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di sebahagian besar Nusantara pada umumnya, walaupun tidak bertahan lama dan segera mengalami kemunduran kerana terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1560, kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir/Hadiwijaya. Salah satu peninggalan bersejarah Demak ialah Masjid Agung Demak, yang menurut tradisi umum didirikan oleh sembilan wali utama penyebar Islam di Jawa.
Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi bahagian kota Demak di Jawa Tengah. Sebutan kerajaan pada zaman ketika beribu kota di sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 (Sunan Prawoto), kraton dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto") dan untuk zaman ini kerajaan disebut Demak Prawata. Sepeninggal Sunan Prawoto, Arya Penangsang memerintah kesultanan yang sudah lemah ini dari Kadipaten Jipang (sekarang dekat Cepu). Kotaraja Demak dipindahkan ke Jipang dan untuk zaman ini dikenal dengan sebutan Demak Jipang.
Hadiwijaya dari Pajang mewarisi wilayah Demak yang tersisa setelah beliau bersama-sama dengan Ki Gede Pamanahan dan Ki Penjawi melakukan pembunuhan ke atas Arya Penangsang. Demak kemudian menjadi vasal dari Pajang.
Zaman permulaan
Sebahagian kandungan di laman rencana ini menggunakan istilah atau struktur ayat yang terlalu menyebelahi gaya bahasa negara tertentu hasil penggunaan semula kandungan sumber tanpa pengubahsuaian. Anda diminta mengolah semula gaya bahasa rencana ini supaya penggunaan istilah di rencana ini seimbang, selaras serta mudah difahami secara umum dalam kalangan pengguna bahasa Melayu yang lain menggunakan laman Istilah MABBIM kelolaan Dewan Bahasa dan Pustaka. Silalah membantu. Kata nama khas dan petikan media tertentu (seperti daripada akhbar-akhbar atau dokumen rasmi) perlu dikekalkan untuk tujuan rujukan. Sumber perkamusan dari Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia juga disediakan. Anda boleh rujuk: Laman Perbincangannya • Dasar dan Garis Panduan Wikipedia • Manual Menyunting
Menjelang akhir abad ke-15, seiring dengan kemunduran Majapahit, secara praktis beberapa wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris takhta Majapahit.
Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai kawasan yang mandiri. Dalam tradisi Jawa digambarkan bahawa Demak merupakan penganti langsung dari Majapahit, sementara Raja Demak (Raden Patah) dianggap sebagai putra Majapahit terakhir. Kerajaan Demak didirikan oleh kemungkinan besar seorang Muslim bernama Cek Ko-po.[2] Kemungkinan besar putranya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim", mungkin dimaksudkan "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan meninggal sekitar tahun 1504. Putra atau adik Rodim, yang bernama Trenggana bertakhta dari tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun 1521 sampai 1546. Di antara kedua masa ini yang bertakhta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus) dari Jepara. Sementara pada masa Trenggana sekitar tahun 1527 ekspansi militer Kerajaan Demak berhasil menundukkan Majapahit.
Berdasarkan Babad Tanah Jawi, pendiri Kerajaan Demak adalah Raden Fatah atau Praba atau Raden Bagus Kasan (Hasan) memiliki gelar Jin Bun Austronesia sering disebut juga Senapati Jinbun atau Panembahan Jinbun bergelar Sultan Syah Alam Akbar Al-Fatah. (1455-1518) Memerintah Kerajaan Demak tahun 1500 - 1518.
Raden Fatah merupakan anak Raja Campa Sultan Syarif Abdullah Umdatuddin (menurut catatan dari Kesultanan Palembang Darussalam) yang lahir di Kota Palembang dari ibu bernama Nyai Candarawi.
Pelabuhan
Kerajaan Demak Bintoro memiliki dua pelabuhan, yaitu:
Pada awal abad ke-16, Kerajaan Demak telah menjadi kerajaan yang kuat di Pulau Jawa, tidak satu pun kerajaan lain di Jawa yang mampu menandingi usaha kerajaan ini dalam memperluas kekuasaannya dengan menundukkan beberapa kawasan pelabuhan dan pedalaman di Nusantara.
Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan mahu meluaskan kuasa mereka. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Melaka. Kemudian beberapa kali ia mengirimkan armada lautnya untuk menyerang Portugis di Malaka.[3]
Di bawah Trenggana
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), juga menaklukkan hampir seluruh Pasundan/Jawa Barat (1528 - 1540) serta wilayah-wilayah bekas Majapahit di Jawa Timur seperti Tuban (1527), Madura (1528), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527 - 1529), Kediri (1529), Malang (1529 - 1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1529 - 1546). Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto.
Salah seorang panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatra), yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Sementara Maulana Hasanuddin putra Sunan Gunung Jati[4] diperintah oleh Trenggana untuk menundukkan Banten Girang. Kemudian hari keturunan Maulana Hasanudin menjadikan Banten sebagai kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan Kudus merupakan imam di Masjid Demak juga pemimpin utama dalam penaklukan Majapahit sebelum pindah ke Kudus.[1]