Tirakat

Latar belakang

Salah satu gambaran seseorang yang melakukan tirakat

Setiap agama atau aliran kepercayaan memiliki cara tersendiri untuk tirakat, satu contoh Islam mengajarkan agar menjalankan puasa, dan dzikir sebagai laku tirakat, aliran kepercayaan seperti HinduBudha mengajarkan puasa semedhi dan sebagainya, KristenKatholik juga mengajarkan puasa yang tentunya sesuai keyakinan dan cara mereka.[1]

Ini menunjukkan bahwa setiap agama mengajarkan adanya laku tirakat, laku olah batin agar kita mendapat restu dari Tuhan Semesta Alam sehingga apa yang kita cita citakan seperti mencari ilmu, jalan usaha, proses kehidupan di dunia dan lain lainnya menjadi mudah untuk dicapai.

Pengertian dan tujuan

Pengertian tirakat dalam kamus bahasa Indonesia adalah menahan hawa nafsu (seperti: berpuasa, berpantang).[2] Sedangkan tujuan tirakat dalam hal supranatural adalah mengasah. Jika diibaratkan, do’a, mantra atau amalan adalah sebuah pisau. Jika pisau ini diasah setiap hari maka lama kelamaan akan menjadi tajam jika digunakan.

Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dengan melakukan tirakat diantaranya adalah mendapatkan ketenangan dalam hidup ini, memohon kepada Tuhan untuk diberikan kemudahan dalam melakukan tujuan tertentu dan mencapai tingkatan hidup yang lebih baik.

Pelaksanaan tirakat dan jenis tirakat dalam kejawen

Pelaksanaan

Tirakat dapat juga dijalankan pada saat-saat khusus, misalnya pada waktu orang menghadapi suatu tugas berat, waktu mengalami krisis dalam keluarga, jabatan, atau dalam hubungan dengan orang lain, tetapi dapat juga pada waktu suatu masyarakat atau negara berada dalam suatu masa bahaya, pada waktu terkena bencana alam, epidemi dan sebagianya. Dalam keadaan seperti itu melakukan tirakat dapat dianggap sebagai tanda rasa prihatin yang dianggap perlu oleh orang Jawa bila seseorang berada dalam keadaan bahaya.

Jenis-jenisnya

Bertapa (Tapabrata)

Tapabrata dianggap oleh para penganut kejawen sebagai suatu hal yang sangat penting, Dalam kesusateraan kuno orang kuno, konsep tapa dan tapabrata diambil langsung dari konsep Hindu, yaitu tapas, yang berasal dari buku-buku Weda. Selama berabad-abad para pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu, orang dapat mencapi tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam cerita-cerita wayang kita sering dapat menjumpai adanya tokoh pahlawan yang menjalankan tapa.

Orang jawa mengenal berbagai cara bertapa, dan cara-cara itu telah disebutkan oleh J. Knebel [3] dalam karangannya mengenai kisah Darmakusuma, murid dari seorang wali pada abad ke 16 Masehi, berbagai cara menjalankan tapa adalah:

  • Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.
  • Tapa nguwat, yaitu bersamadi disamping makam (nenek-moyang anggota keluarga, atau orang keramat, untuk suatu jangka waktu tertentu.
  • Tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara, cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.
  • Tapa bolot, yaitu tidak dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.
  • Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.
  • Tapa ngramban, dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan
  • Tapa ngambang, dengan jalan meremdam diri di tengah sungai selama beberapa waktu yang sudah ditentukan.
  • Tapa ngeli, adalah cara bersamadi dengan membiarkan diri dihanyutkan arus air di atas sebuah rakit.
  • Tapa tilem, dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa.
  • Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.
  • Tapa mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan.

Ketiga jenis tapa yang tersebut terakhir, sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang yang hanya menjalankan tirakat saja, oleh karena itu batas antara tirakat dan tapabrata itu tidak begitu jelas. Walaupun demikian bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis tapabrata itu jarang dilakukan secara terpisah, semua biasanya dijalankan dengan tata urut tersendiri, atau dilakukan dengan cara menggabung-gabungkan.

Oleh karena itu tapa semacam itu mirip dengan tapas pada orang Hindu dahulu, sehingga dengan demikian ada suatu perbedaan fungsional antara tirakat dan tapabrata. Namun sering terjadi bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan dengan samadi, dengan maksud untuk memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan dari tapa semacam ini adalah untuk mendapatkan kenikmatan duniawian, akhirnya perlu disebutkan bahwa pada orang Jawa tapa merupakan salah satu cara penting dan utama untuk bersatu dengan Tuhan.

Meditasi atau Semedi

Bahwa meditasi dan tapa adalah sama, serta perbedaan antara keduanya hanya terletak pada intensitas menjalankannya saja. Teknik-teknik serta latihan-latihan untuk melakukan meditasi ada bermacam-macam, yaitu dari yang sangat sederhana, seperti memusatkan perhatian pada titik-titik hujan yang jatuh ditanah, hingan yang sukar dan berat dijalankan, seperti menatap cahaya yang terang benderang dari dalam sebuah gua yang gelap ditepi pantai, dengan gemuruh ombak sebagai latar belakangnya, sambil berdiri dengan posisi yang sukar selama 12 jam berturut-turut.

Meditasi atau semadi memang biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata, orang yang melakukan tapa ngeli misalnya, tidak hanya duduk diatas rakitnya saja sambil mbengong, tidak berbuat apa-apa, ia biasanya juga bermeditasi. Sebaliknya meditasi sering kali juga dijalankan bersama dengan suatu tindakan keagamaan lain, misalnya dengan berpuasa atau tirakat.

Maksud yang ingin dicapai dengan bermeditasi itu ada bermacam-macam, misalnya untuk memperoleh kekuatan iman dalam menghadapi krisis sosial ekonomi atau sosial politik, untuk memperoleh kemahiran berkreasi atau memperoleh kemahiran dalam kesenian, untuk mendapatkan wahyu, yang memungkinkannya melakukan suatu pekerjaan yang penuh tanggung jawab atau untuk menghadapi suatu tugas berat yang dihadapinya. Namun banyak orang melakukan meditasi untuk memperoleh kesaktian (kasekten) disamping untuk menyatukan diri dengan sang Pencipta

Referensi

  1. ^ "Guna tirakat". 
  2. ^ "Arti tirakat". 
  3. ^ J. Knebel 1897, halaman 119-120

Pranala