Sultan Ali Riayat Syah

Sultan Ali Riayat Syah atau disebut pula dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah III (meninggal 4 April 1607) adalah sultan kedelapan belas Kesultanan Aceh. Dia memimpin pemerintahan yang singkat dan penuh pergolakan pada tahun 1604 ketika ayahnya wafat, hingga tahun 1607 ketika Sultan Iskandar Muda datang mengambil takhta.

Kekacauan politik

Sebelum bertakhta Ali Riayat Syah dipanggil dengan nama Sultan Muda, dia merupakan putra kedua dari Alauddin Ri'ayat Syah Sayyid al-Mukammal. Pada awal tahun 1600-an dia menjadi wali pelaksana tugas untuk ayahnya sultan tua yang lemah dan sakit-sakitan. Pada bulan april 1604 sultan tua digulingkan dan Ali Riayat Syah mewarisi takhta sekaligus pergolakan politik di istana antara dia dan anggota dinasti yang lain. Pada saat yang sama negara sedang mengalami masa paceklik akibat bencana kekeringan yang mengakibatkan terjadinya kelaparan yang parah dan mematikan.[1]

Ditengah kekacauan politik dikalangan internal dinasti pada tahun 1605 dia bersengketa dengan saudaranya Sultan Husen yang oleh mendiang ayahnya diberikan kekuasaan di Pidie. Sementara itu di ibu kota sultan bermasalah dengan Perkasa Alam, kemenakannya. Perkasa Alam yang karena suatu kesalahan dihukum oleh sultan, dan karena menghindari hukuman itu ia mencari perlindungan dari Sultan Husen di Pidie. Sultan Ali menuntut Husen mengekstradisi Perkasa Alam tetapi Husen menolak. Bahkan Husen menyatakan memberontak serta memerintahkan Perkasa Alam memimpin pasukan di Pidie dalam kampanye melawan ibu kota. Pemberontakan itu gagal meraih simpati dari para prajurit, Perkasa Alam akhirnya ditangkap dan diekstradisi ke ibu kota di mana ia dijebloskan kedalam tahanan.[2]

Serangan Portugis dan meninggalnya Sultan

Hubungan dengan Portugis yang berkedudukan di Melaka telah memburuk sejak tahun 1600. Pihak berwenang Portugis khawatir bahwa Aceh telah membuka hubungan dagang dengan Perusahaan Hindia Timur Belanda. Portugis pernah mencoba merayu sultan Alauddin Riayat Syah agar diberikan izin mendirikan sebuah benteng strategis di muara Krueng Aceh, tetapi sultan dengan tegas menolaknya. Sementara hubungan itu memburuk Aceh bahkan mengirimkan perutusan diplomatik atas nama sultan kepada Belanda, utusan itu diterima dan menegosiasikan hubungan dagang kedua negara dengan Pangeran Maurits dari Nassau. Portugis melihat perihal membaiknya hubungan Aceh-Belanda itu sebagai ancaman bagi kepentingan mereka di Selat Malaka. Pada tahun 1606 Portugis mengerahkan 14 galias, 4 kapal perang layar dan beberapa kapal pengangkut prajurit dibawah komando Viceroy Martim Afonso de Castro. Bulan juni tahun itu armada perang Portugis berlabuh di perairan dekat Banda Aceh. Portugis mengirim utusan kedarat dan melakukan pembicaraan dengan sultan namun gagal. Akibatnya pecah pertempuran, tetapi Aceh yang tidak siap menyambut serangan ini bisa dikalahkan dan dipaksa menyerahkan sebuah benteng pertahanan ketangan Portugis.[3]

Mengetahui kekalahan fatal yang dialami Aceh, Perkasa Alam yang ketika itu sedang mendekam dalam penjara memohon kepada sultan bahwa ia lebih suka tewas dalam pertempuran melawan orang-orang kafir daripada membusuk dalam penjara milik paman sendiri. Dalam situasi berbahaya ini permintaannya dikabulkan oleh sultan. Perkasa Alam yang dikenal sebagai prajurit mengagumkan akhirnya tampil dikancah perang. Portugis dapat dikalahkan dalam sebuah serangan balasan prajurit Aceh terhadap kedudukan Portugis yang dipimpin oleh sang pangeran. Sementara itu ditengah prajurit Portugis beredar berita yang disampaikan oleh orang-orang Johor bahwa kekuatan Belanda sedang bersiap menyerang Melaka sehingga De Castro memilih untuk membatalkan invasi militernya di Aceh.[4]

Perkasa Alam kini tampil sebagai pahlawan utama yang baru kembali dari medan perang melawan bangsa asing yang mencoba menjajah negerinya. Karena prestasi militernya itu Perkasa Alam dibebaskan di pengadilan. Ibundanya Puteri Raja Inderabangsa, adik perempuan sultan mempersiapkan jalan untuk naik nya Perkasa Alam menjadi sultan dengan membagikan uang kepada para saudagar dan uleebalang. Sultan Ali meninggal dengan tiba-tiba pada 4 April 1607, Perkasa Alam yang telah dijamin loyalitas sebagai penjaga istana dinobatkan menjadi sultan Aceh berikutnya.[5] Dibawah pemerintahannya kelak Kesultanan Aceh berhasil mencapai masa-masa puncak kejayaannya.[6]

Dalam budaya populer

Referensi

  1. ^ Djajadiningrat (1911), p. 174.
  2. ^ Hadi (2004), p. 70.
  3. ^ Djajadiningrat (1911), pp. 174-5; Penth (1969), p. 47.
  4. ^ Penth (1969), p. 48.
  5. ^ Djajadiningrat (1911), p. 175.
  6. ^ Encyclopaedie (1917), Vol. 1, p. 75.

Bacaan lanjutan

  • Djajadiningrat, Raden Hoesein (1911) 'Critisch overzicht van de in Maleische werken vervatte gegevens over de geschiedenis van het soeltanaat van Atjeh', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 65, pp. 135–265.
  • Encyclopaedie van Nederlandsch Indië, Vol. 1 (1917). 's Gravenhage & Leiden: Nijhoff & Brill.
  • Hadi, Amirul (2004) Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century Aceh. Leiden: Brill.
  • Iskandar, Teuku (1958) De Hikajat Atjeh. 's Gravenhage: M. Nijhoff.
Didahului oleh:
Sultan Alauddin Riayat Syah
Sultan Aceh
1604 - 1607
Diteruskan oleh:
Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam