Nama "nduga" berasal dari variasi pelafalan kata ndawa yang berarti orang yang hidup dari hasil buruan diantara lubang batu di wilayah selatan Pegunungan Jayawijaya.[5]
Sejarah
Suku Nduga mempercayai nenek moyang mereka bermigrasi ke Lembah Baliem dari wilayah Seinma di Kabupaten Yahukimo.[4] Banyak eksplorasi di dataran tinggi pedalaman Papua yang dilakukan pada abad ke-20. Salah satu diantaranya adalah Expedisi Papua Selatan Kedua yang dipimpin Lorentz dan beranggotakan suku Kamoro dan Dayak Apokayan pada tahun 1909-1910, yang berhasil bertemu dengan representatif dari Pesegem di selatan Puncak Trikora, walau mereka masih gagal untuk sampai ke Lembah Baliem. Ekspedisi ketiga pada tahun 1912-1913 yang dipimpin Herderschee, berhasil mengontak suku Pesegem lagi. Pesegem adalah kelompok berbahasa Nduga, yang saat itu dianggap suku Dani. Selain itu tim ekspedisi juga menjumpai kelompok Morup, walaupun mereka tidak dipelajari.[6][7][8] Menurut pengakuan seorang tokoh masyarakat Nduga, saat terjadi Perang Dunia II pada tahun 1940-an, suku Nduga sudah bermigrasi ke Tsinga dan Alama. Kemudian ada migrasi kembali ke Agimuga pada tahun 1950-an karena pemerintah Belanda membuka daerah itu untuk pertanian dan perkebunan kopi dan cuaca dingin di Tsinga dan Alama. Pada tahun 1960-an, pemerintah Belanda membuka wilayah Kokonau, suku Nduga kembali bermigrasi tetapi hanya sampai ke Mapuru Jaya lalu ke Kwamki.[9] Orang Nduga dikenal lebih luas melalui misi pekabaran Injil dari zending C&MA (Christian and Misionary Aliance) yang di motori oleh Pdt. Adrian Van Der Bijl berkebangsaan Belanda-Amerika kelahiran Sumatra pada tahun 1963.[10] Ia pertama kali bertugas di Enarotali, kemudian pada konferensi C&MA di Jayapura ia memutuskan untuk melayani wilayah Nduga. Dari Hitadipa ia pergi ke Jila dengan pesawat, kemudian ia melanjutkan berjalan kaki ke wilayah Nduga di Mapenduma. Sebagai penghargaan ia dikenal dengan nama Ndugamende yang artinya "misionaris ini milik kami orang Nduga", dan istri keduanya Elfrieda Toews dikenal dengan nama Ndugakwe yang artinya "perempuan Nduga".[11]
Bahasa
Suku Nduga memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Nduga, anggota Ngalik-Nduga dalam Rumpun bahasa Lembah Baliem atau Dani. Bahasa ini oleh Peta Bahasa Kemendikbud disebut Kenyam Niknene.[12] Beberapa sub-kelompok suku Nduga bisa berbahasa sekitarnya selain bahasa Nduga seperti Lani Nduga, yang bisa berbahasa Lani; Amung-Tau yang bisa berbahasa Amung-kal; Nduga-Loremeye yang bisa berbahasa Moni; dan Nduga-Nayak yang bisa berbahasa Dani.[3] Bahasa Nduga memiliki beberapa dialek, diperkirakan ada >10 berdasarkan wilayahnya, seperti : Hiburzt, Tundu, Tumbut, Suburu,[5] Mapenduma, Mbua, Kenyam, dll.[13]
Adat istiadat
Paroh masyarakat
Suku Nduga mengenal sistem moietaseksogami, dimana suku Nduga dibagi menjadi paruhan Gwijangge dan Wandikbo, dan pasangan suami istri harus terdiri dari kelompok moietas yang berbeda. Dibawah kelompok paruhan tersebut terdapat marga-marga seperti; Kelnea, Tabuni, Nirigi, Nimiangge, dan Pokneangge anggota moietas Wandikbo, sedangkan Lokbere, Murip, Bugiangge, Mbetmbere, Debengen anggota moietas Gwijangge.[4]
Perkawinan dan Pernikahan
Masyarakat Nduga mengenal empat macam perkawinan berbeda:
perkawinan yang disepakati (kwemin apmin indimsigat)
perkawinan yang tanpa kesepakatan pihak orang tua (kwembalukbriknak)
perkawinan yang diatur oleh orang tua kedua belah pihak (itja nen lidludtakpidnak)
perkawinan sebagai akibat guna-guna (nggawusawaniknakwee)
Orang Nduga juga mempercayai daun-daun yang bisa menjodohkan pasangan yaitu daun kulalok, nabisinggi, dan kwelbe, dedaunan tersebut dapat ditemukan di Puncak Trikora. Mas kawin tradisional suku Nduga berupa sejumlah babi (wam), 3-5 tali kulit kerang Kuwuk (ijebasik), 1-2 buah kulit kerang besar (tol), 2-5 kapak batu (wanggokme), dan 1-2 lempeng tembakau (ebekanem).[4]
Struktur sosial
Satu kampung suku Nduga terdiri dari beberapa osiri (o berarti rumah) yaitu satu kompleks perumahan milik satu rumpun keluarga (satu atau beberapa klan). Setiap osiri terdiri dari satu atau dua kince (rumah tradisional Nduga untuk pria) dan beberapa rumah untuk kaum perempuan, beserta daerah pemburuan, kandang, kebun, dan lahan pandan (marengge, dan buah lainnya).[3] Setiap osiri dipimpin oleh kepala suku atau orang besar/kaya yang disebut ap noe atau ap nggak/nggok dan panglima perang yang disebut wimbo atau ndugure. Ap nggak tidak dapat diganti dan jika tingkah lakunya buruk, masyarakat tidak akan mematuhinya. Ap nggak merupakan pemimpin peperangan dan mengatur upacara penobatan (liwitmbaruge). Sedangkan wimbo memilih seorang prajurit, dan kwalembo memimpin upacara adat yang berkaitan dengan peristiwa penyembuhan, dan upacara pembukaan kebun baru atau upacara panenan. Pada upacara panen, kwalembo mengucapkan kata-kata suci (wusama) kepada noken-noken yang penuh berisi ubi. Ndugure adalah istilah Nduga untuk pelaku yang timbulkan masalah dan memicu konflik, dan jika menjadi korban, dan ingin membalas dendam dengan berperang. Sehingga ia akan ditunjuk sebagai penanggung jawab panglima perang, pemimpin peperangan, dan menuntut atau membayar hukum adat.[4][14]