Suku Muyu yaitu salah satu suku bangsa di Indonesia dan terdapat di Papua Selatan yang menempati daerah di sekitar Sungai Muyu dan terletak di sebelah timur laut Merauke.[1] Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Muyu.[1] Istilah Muyu sendiri muncul dari dua perkiraan, yaitu muncul seiring dengan masuknya misi Katolik dan Pastor Petrus Hoeboer yang berkebangsaan Belanda tahun 1933 dan yang ke dua adanya istilah Muyu tersebut karena penduduk setempatnya menyebut sungai bagian Barat dengan bagian Timur dengan istilah "ok Mui" yang berarti "Sungai Mui" yang biasa disampaikan kepada orang Belanda, dan penyebutan itu kemudian berubah menjadi Muyu.[1]
Distribusi
Muyu terdapat di daerah pedalaman Pulau Papua, yang merupakan daerah perbatasan dengan negara Papua New Guinea.[2] Di sebelah Timur berbatasan dengan Papua New Guinea.[2] Sebelah Selatan dengan Sungai Kao, Sungai Digul, dan Kabupaten Merauke.[3] Sebelah Utara berbatasan dengan Pegunungan Bintang dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Boven Digoel.[2] Panjang daerah Muyu adalah 180 KM dan memiliki luas 7860 KM2, serta lebar 40-45 KM.[2] Data tahun 1956 menyebutkan bahwa jumlah penduduk di suku Muyu berjumlah 17.269 jiwa yang menempati 59 desa.[2] Bahasa yang digunakannya adalah bahasa Muyu dan menggunakan dialek Ninati juga dialek Metomka.[2] Alat tukar yang digunakannya adalah kulit kerang yang disebut istilah ot dan gigi anjing yang disebut dengan isilah mindit.[2] Daerah suku Muyu umumnya berupa bukit-nukit dalam ketinggian 100-700 meter di atas permukaan air laut.[2] Tekstur tanahnya kurang subur, dan berwarna coklat sedikit kemerah-merahan, dan akibatnya masyarakat Muyu sering kali mengalami kekurangan bahan makanan dan angka kematian di daerah Muyu pun terhitung tinggi.[2] Pada umumnya, mata pencaharian masyarakat Muyu adalah berburu, berternak babi dan anjing, menangkap ikan, dan produksi sagu.[2]
Sistem kekeluargaan
Di dalam suku Muyu terdapat seorang ketua atau pemimpin tinggi dalam kehidupan sosial dan religiusnya.[2] Selain itu suku ini juga memiliki orang-orang yang berpengaruh dan berwibawa big man yang disebut keyepak dan Tomkot.[2] Kemudian yang membedakan dari keduanya adalah dari banyak sedikitnya benda-benda berharga (tukon) seperti ot, serta dari kurangnya pengetahuan tentang kekuatan gaib tapi dia memiliki pengaruh di dalam trahnya.[2] Tomkot ialah orang yang tidak mempunyai pengetahuan mengenai kekuatan gaib juga tidak banyak memiliki benda-benda berharga, dan menjalani kehidupannya dengan sederhana.[2] Sedangkan Kayapak dialah yang mempunyai banyak benda berharga dan menguasai kekuatan gaib.[2] Tokoh-tokoh tersebut berkuasa dalam kelompok kekerabatan patrilineal (trah) dalam sebuah keluarga inti.[2] Kebanyakan rumah yang mereka tempati adalah rumah pohon dan rumah panggung.[2] Di dalam rumahnya dibagi-bagi menjadi beberapa ruangan; ruangan khusus wanita dewasa dan ruangan untuk laki-laki dan untuk anak-anak.[2] Dalam sebuah keluarga inti bisa tinggal serumah atau membuat rumah secara berdekatan, hal ini bertujuan untuk mengamankan diri dari serangan-serangan musuh.[2] Di dalam suku Muyu, disahkan poligami, jadi tidak heran jika seorang pria memiliki lebih dari satu istri.[2]
Keluarga inti memiliki peran untuk mengatur cara-cara penguasaan harta dan tanah, cara mencari pangan, penataan pola pemukiman, serta mempunyai kuasa atas teritorial yang lebih besar dari trah (lineage) serta cara-cara meneruskan ilmu supranatural.[2] Keluarga inti akan membentuk kelompok kekerabatan patrilineal yang seterusnya dapat membangun kekerabatan yang lebih luas.[2]