Rumah adat Dayak Gaai berbentuk panggung dari kayu dan papan berkapur putih kusam dengan atap seng gelombang tanpa cat di batasi jalan beton selebar satu meter.[2] Suku Dayak Gaai yang bermukim di kampung ini sebagian memeluk agama Kristen dan sebagian lagi memeluk agama Islam, yang terbagi menjadi 2 kampung, yaitu kampung Kristen dan kampung Islam, yang ditandai dengan keberadaan Gereja dan Masjid.[2] Di pemukiman kampung suku Dayak Gaai ini juga banyak ditemukan suku Dayak Tunjung yang ikut bermukim di wilayah ini.[2] Pada siang hari kampung ini akan terlihat sepi, karena para laki-lakinya pergi bekerja di ladang, ke hutan, atau bekerja di luar kampung.[2]
Adat istiadat
Suku Dayak Gaai mempunyai corak tersendiri dalam adat istiadat, cara pergaulan, peraturan masyarakat, dan sistem kepercayaan mereka.[4] Dayak Gaai percaya pada kekuatan yang maha gaib, mereka juga mengatur tata cara pergaulan mereka untuk mengatur para pendatang yang berdiam di kampong mereka agar dapat hidup aman dan tentram.[4]
Adat istiadat perkawinan
Sunta
Apabila pemuda pemudi Dayak Gaai telah meningkat dewasa 15 tahun keatas mereka tidak lagi berdiam di Lamin, tetapi tinggal bersama-sama dengan pemuda di kampong itu pada sebuah rumah yang dinamakan Sunta.[5]
Pergaulan
Pergaulan antara pemuda dan pemudi bebas, tetapi tetap memegang adat keluhuran merekadalam menjaga kehormatan.[5] Dalam kegiatan keseharian seperti mandi di tepi sungai Kelai, menanam padi dan juga pada saat panen padi, para pemuda pemudi diberi kebebasan untuk berbaur dalam kebersamaan.[5]
Betanggu
Dalam pergaulan pemuda-pemudi yang telah cukup usia dan mempunyai keinginan untuk berumah tangga dan mereka sanggup untuk menafkahi keluarganya.[5] Mereka diberikan kesempatan memilih bakal teman hidupnya.[5] Sebelum mereka melamar, menjadi adat istiadat mereka Betanggu atau bertamu.[5] Jika datang betanggu ke Lamin tempat tambatan hati, biasanya pada malam hari setelah mengucapkan salam oleh orang tua si gadis, kemudia orang tua si gadis menanyakan maksud kedatangannya.[5] Apabila pemuda yang datang bertamu menjawab bermain-main, bapak si gadis mengerti akan maksudnya, lalu memanggil istrinya dan kemudian turun dari lamin ke tempat tetangganya. Sedangkan sang ibu pergi kedapur, Pemuda dan pemudi itu bercakap-cakap dan berseda gurau.[5]
Betanggu ini dilakukan oleh jejaka tersebut dua sampai tiga kali.[5] Dalam betemu masing-masing dapat mendalami apa yang tersirat dalam hati masing-masing, Apabila sigadis telah bersedia menggulungkan rokok daun, itu tanda si gadis setuju untuk menjadi calon istrinya. Kemudia masing-masing mengeluarkan isi hatinya lalu mengikat janji. Setiap pertemuan selalu dalam pengawasan oleh orang tuanya.[5]
Melamar
Pada saat yang baik orang tua dan sanak saudara si pemuda mengunjungi orang tua si gadis yang telah bersedia menyambut tamu tersebut dengan jamuan alakadarnya, sudah diadakan perundingan mengenai soal jujuran barang-barang dan sajian perkawinan.[5]
Benda-benda jujuran yang telah ditetapkan adat adalah talam tembaga yang berkaki tunggal, tajau dan manik tua yang kalau dinilai dengang uang dapat mencapai jutaan rupiah. Dalam jujuran tersebut tidak ada disebut uang kontan, karena hidangan dan alat-alat perkawinan semua berupa barang-barang saja. Kemudian dalam acara melamar ini ditentukan juga kapan waktunya kawin batin (kawin annik).[5]
Basekawa
Setelah proses melamar, pemuda memasuki masa bertunangan, pemuda diwajibkan melakukan masa basekawa atau artinya bekerja pada bakal mertua.[5] Pekerjaan yang dilakuakn seperti mengerjakan lading, berkebun dan lain-lain. Selama setahun pemuda dipebolehkan berdayung atau bekerja di lading atau berkebun bersama sama seperti suami istri, tetapi tidak diperbolehkan tidur bersama-sama atau perbuatan melanggar kehormatan.[5]
Dalam masa basekawa tidak diperbolehkan berhubungan batin seperti suami istri, karena hal tersebut anggap zina.[5]
Hukuman
Pemuda yang dianggap melanggar kesopanan dan melakukan zina dalam waktu basekawan ini dihukum berenang menyeberangi sungai Kelai diiringi dengan dua tiga perahu dan ditombak belakangnya beramai-ramai dengan tombak serai gajah atau rumput gelagah yang kecil sampai keseberang. Setelah menjalankan hukuman ini keselahanya dianggap telah dihapus dan anak yang dilahirkan dalam hubungan ini dianggap anak sah.[5]
Kawin Batin (Kawin Annik)
Apabila biaya dalam masa basewaka ini telah cukup dikumpulkan, mulailah keluarga dari kedua belah pihak menentukan hari untuk mengadakan kawin annik.[5]
Makanan seperti beras, buah-buahan dan panggang babi. Pada waktu upacara kepala adat mengungumkan bahwa antara kedua mempelai melakukan kawin annik, dan di izinkan berkumpul menjadi suami istri.[5]
Selanjutnya dilakukan Matan atau persembahan kepada Yang Maha Kuasa yakni berbupa seekor babi yang dipanggang dan kemudian ditancapkan pada sepotong kayu di hutan dekat Lamin, dengan harapan akan mendapatkan karunia dari Yang Maha Kuasa agar kedua mempelai diberkahi dalam hidupnya.[5]
Kawin Besar
Menurut adat istiadat Suku Dayak Gaai, belum sempurna perkawinan seseorang dengan perkawinan annik saja. Perkawinan besar harus dilakukan, walaupun terkadang pasangan suami istri telah memiliki dua atau tiga anak.[5] Waktu melaksanakan upacara perkawinan besar ini biasanya sesudah Erau Kudung padi. Upacara perkawinan kedua ini dihadapi oleh para sanak saudara kedua siami istri, warga kampong orang tua-tua dan kepala adat.[5]
Persembahan
pada upacara kawin besar, kepala adat melakukan ritual persembahan seekor babi.[5] Babi ini dibawa kedalam hutan, disembelih dan ditusuk pada sebatang kayu untuk dipersembahkan kepada Matan. Kepala adat membaca do’a dan memohon agar kedua suami istri mendapat kebahagiaan, dimurahkan rezeki dan dilindungi Matan.[5]
Setelah itu kedua mempelai disuruh bersemedi dalam kelambu selama 3 hari 3 malam. Makanan dan minuman diantarkan kedalam kelambu, tempat buang air kecil disediakan, dan para tamu duduk berkeliling kelambu tersebut.[5]
Tuhing (Pantangan)
Suatu pantangan yang sangat besar yang diyakini Suku Dayak Gaai adalah, apabila dalam proses semadi suami istri dalam kelambu terdengar suara dengking rusa tau kijang, maka sang suami harus meninggalkan istrinya untuk bercerai selama-lamanya.[5]
Suara dengking rusa atau kijang adalah alamat malapetaka akan menimpa kedua suami istri. Matan dianggap tidak memberikan restu atas pernikahan mereka. Inilah adat atau tahayul yang sangat tragis bagi Suku Dayak Gaai. Suatu kepercayaan yang tidak dapat dibayar dengan persembahan apapun.[5]
Sebab itu selama proses semadi, sanak saudara berusaha dengan sekuat tenaga menghindari suami istri tidak mendengar dengking rusa atau kijang dengan cara membunyikan bermacam-macam bebunyian.[5]
Jika upacara perkawinan besar ini selesai dengan selamat, suami istri dengan sanak saudara sangat bahagia perasaanya, karena telah menunaikan adat leluhur mereka dan Matan akan melindungi mereka dalam mengarungi kehidupan berumah tangga.[5]