Subsidi pertanian adalah subsidi dari pemerintah yang dibayarkan kepada petani dan pelaku agribisnis untuk melengkapi sumber pendapatan mereka, mengelola suplai komoditas pertanian, dan mempengaruhi permintaan dan penawaran komoditas tertentu. Komoditas yang disubsidi bervariasi mulai dari hasil tanaman sampai hasil peternakan. Subsidi dapat berupa secara keseluruhan pada suatu komoditas, atau hanya pada tujuan penggunaan tertentu saja (misal pada program makanan sekolah).
Subsidi pertanian tetap menjadi topik yang kontroversial dari sisi asal muasalnya maupun kompleksitasnya karena sering kali melibatkan perusahaan agribisnis besar yang memiliki kepentingan secara politik dan ekonomi.[1]
Dampak dari subsidi
Subsidi pertanian sama halnya dengan memindahkan uang dari pembayar pajak ke pemilik lahan usaha tani. Pembenaran dari transfer ini dan efeknya cenderung kompleks dan kontroversial.
Perdagangan internasional dan harga pangan global
Meski beberapa kritik dan penentang dari WTO menyatakan bahwa subsidi komoditas yang diekspor mendorong penurunan harga komoditas sehingga menyediakan harga pangan murah bagi konsumen di negara berkembang.[2][3] namun harga yang rendah ini tidak menguntungkan bagi petani yang tidak menerima subsidi. Karena umumnya hanya negara kaya yang mampu menyediakan subsidi di dalam negeri, beberapa kritik menyatakan bahwa ini justri meningkatkan jumlah kemiskinan dengan menurunkan harga pangan.[4] Umumnya, negara berkembang memiliki keuntungan dalam memproduksi bahan pertanian, namun harga bahan pangan yang rendah menjadikan petani sangat bergantung pada keberadaan pembeli dari negara maju. Sehingga petani lokal cenderung tidak mandiri di negara sendiri, bahkan terlempar dari pasar domestik. Hal ini dikarenakan politik dumping di mana petani yang disubsidi dapat "melempar" bahan pangan murah ke pasar luar negeri pada tingkatan harga di mana petani yang tidak disubsidi tidak bisa bersaing.
Subsidi pertanian merupakan sebuah topik yang cenderung menghambat perbincangan perdagangan internasional.[5]
Kemiskinan di negara berkembang
Terdapat beberapa dampak nyata dari subsidi pertanian di negara maju terhadap negara berkembang. Subsidi pertanian menurunkan harga pangan, yang berarti petani yang tidak disubsidi di negara berkembang tidak dapat bersaing,[6] dan efeknya adalah bertambahnya jumlah kemiskinan di kalangan petani yang tidak mampu bersaing dengan harga pangan yang murah.[7][8] Diperkirakan dampak subsidi ini terhadap negara berkembang setara dengan kehilangan pendapatan sebesar US$ 24 miliar yang bisa didapatkan negara berkembang dari sektor pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian. Dan lebih dari US$ 40 miliar gagal didapatkan karena berkurangnya ekspor hasil pertanian.[9] Subsidi pertanian di negara maju memiliki dampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian dan perdagangan di negara miskin dan berkembang dan memiliki dampak yang tidak langsung terhadap berkurangnya investasi di pedesaan.[10]
Haiti adalah contoh nyata negara berkembang yang terpengaruh secara negatif dari keberadaan subsidi pertanian di negara maju. Haiti memiliki kemampuan memproduksi beras dan pernah swasembada.[11][12] Namun kini Haiti tidak memproduksi cukup beras untuk penduduknya. 60 persen bahan pangan di negara tersebut adalah hasil impor.[13] Setelah liberalisasi ekonomi dan turunnya tarif impor, beras yang diproduksi di dalam negeri tidak mampu bersaing dengan beras murah bersubsidi dan diproduksi secara efisien karena mekanisasi pertanian, yang diimpor dari Amerika Serikat. Sedangkan petani Haiti tidak menerima subsidi sama sekali.[14][15][16] Tarif impor turun sebanyak 50% sejak 1995 dan negara ini mengimpor 80 persen beras yang dikonsumsinya.[17][18]
USDA mencatat bahwa sejak tahun 1980, produksi beras Haiti tidak berubah, sedangkan konsumsi meningkat 8 kali lipat sejak tahun tersebut.[19] Haiti merupakan salah satu importir beras terbesar dari Amerika Serikat.[20] Dengan ketidakmampuan bersaing, para petani Haiti menyerah dan banyak yang bermigrasi ke perkotaan untuk mencari pekerjaan lain.[21]
Dampak pada asupan nutrisi
Harga bahan pangan berkalori tinggi yang disubsidi seperti serealia dan kentang diperkirakan menjadi penyebab obesitas di Amerika Serikat karena harganya yang murah.[22] Gula dari tebu dan bit gula telah diganti dengan pemanis yang lebih murah seperti sirup jagung sehingga makanan yang manis pun menjadi lebih murah.[23] Bahkan 63% subsidi yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat dinikmati oleh industri daging dan peternakan susu.[24] Harga jagung yang rendah membuat sapi pedaging diberikan pakan berbahan dasar jagung.[25] Sapi yang diberikan pakan jagung akan memiliki daging dengan kandungan lemak yang lebih tinggi.[25]
Namun penelitian lain tidak menemukan adanya kaitan antara kebijakan pertanian Amerika Serikat terhadap obesitas.[26]
Ekonomi publik
Intervensi pemerintah melalui subsidi pertanian mempengaruhi mekanisme pasar yang secara normal menentukan harga komoditas, dan sering kali menyebabkan produksi tanaman pertanian berlebih dan diskriminasi pasar. Subsidi juga menjadikan ekonomi tidak adil, karena meningkatkan penghasilan suatu kalangan saja (petani).[27]
Dampak lingkungan
Subsisi yang diberikan pada usaha pertanian skala besar menyebabkan pertanian monokultur berkembang dan menjadi penyebab utama keruntuhan koloni lebah. Penyerbukan yang dilakukan oleh lebah adalah suatu jasa yang sangat penting di dalam ekosistem dan berbagai produksi pertanian, terutma hortikultura. Selain itu besarnya subsidi yang menargetkan pada usaha industri daging dan susu[28] akan menyebabkan masalah lingkungan terkait pelepasan gas metana yang menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca. Industri daging menyebabkan tekanan pada lingkungan karena setiap kilogram daging yang dihasilkan membutuhkan air sebanyak 60 kali lebih banyak dibandingkan yang dibutuhkan kentang untuk menghasilkan jumlah yang sama.[29] The subsidies contribute to meat consumption by allowing for an artificially low cost of meat products.[30]
Subsidi pertanian berdasarkan wilayah
Uni Eropa
Pada tahun 2010, Uni Eropa mengeluarkan 47 Miliar Euro pada pertanian dengan pembagian besar subsidi ditentukan dari luas lahan yang digarap.[31] Sektor pertanian dan perikanan menerima 40% dari pendanaan tersebut.[32]
Afrika
Peningkatan harga pangan dan pupuk telah meningkatkan kerawanan pangan di wilayah perkotaan dan pedesaan di berbagai negara miskin di Afrika sehingga pembaruan kebijakan fokus pada kebutuhan peningkatan produktivitas tanaman pangan pokok.
Sebuah studi yang dilakukan Overseas Development Institute mengevaluasi manfaat dari program subsidi pemerintah Malawi yang diterapkan tahun 2006 dan 2007 untuk mendukung akses dan penggunaan pupuk pada produksi tanaman jagung dan tembakau. Subsidi diterapkan dengan sistem kupon yang dapat penerima subsidi dapat membeli pupuk dengan harga sepertiga dari harga pasar.[33] Sistem kupon ini, menurut Overseas Development Institute, dapat menjadi cara yang efektif dalam meningkatkan produksi dan penerima subsidi mendapatkan manfaat secara ekonomi dan sosial. Tantangan secara politis dan praktik tetap ada dalam desain program dan implementasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi, biaya pengendalian, dan pembatasan potensi penyelewengan.[33]
Selandia baru
Selandia baru diketahui memiliki sistem pertanian dengan pasar yang paling terbuka di dunia setelah reformasi radikal yang dimulai pada tahun 1984 oleh pemerintah yang menghentikan semua jenis subsidi.[34][35][36] Sebagai negara pengekspor bahan pertanian yang cukup besar, subsidi yang masih berlanjut di negara lain merupakan halangan bagi Selandia Baru untuk bersaing.[37][38]
Amerika Serikat
Amerika Serikat saat ini membayar sekitar US$ 20 miliar per tahun kepada petani sebagai subsidi langsung[39][40][41] melalui U.S. farm bill.
Penerima dari subsidi ini telah berubah. Pada tahun 1930an, 25% penduduk negara ini bekerja di sektor pertanian dengan 6 juta lahan usaha tani yang tersebar di seluruh negara. Pada tahun 1997, jumlah lahan usaha tani mengecil menjadi 157 ribu dengan hanya 2% penduduknya yang bekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2006, tiga negara bagian penerima subsidi terbesar adalah Texas (10.4%), Iowa (9.0%), dan Illinois (7.6%).[42][43] Namun penerima subsidi langsung terbesar adalah Iowa (US$ 510 juta), Illinois (US$ 454 juta), dan Texas (US$ 397 juta). Subsidi langsung diberikan sebesar US$ 40 ribu per orang atau US$ 80 ribu per pasangan.[44]
Program subsidi memberikan petani dana ekstra untuk menumbuhkan tanaman mereka dan menjamin harga dasar.[45] Jagung merupakan tanaman utama yang disubsidi sejak kebijakan energi pada tahun 2005 memerintahkan agar miliaran galon etanol jagung dicampur ke bahan bakar kendaraan setiap tahunnya sehingga subsidi untuk jagung mencapai US$ 7.3 miliar per tahun. Produsen juga diuntungkan dengan subsidi per galon.[46] Etanol produksi Amerika Serikat juga dilindungi dari kompetisi etanol tebu asal Brazil yang lebih murah dengan menerapkan tarif.[47][48]
Asia
Subsidi pertanian di Asia tetap menjadi poin utama dalam topik perdagangan global.[50][51] Pada tahun 2009, Jepang mengeluarkan subsidi sebesar US$ 46.5 miliar kepada petaninya.[52][53] Korea Selatan telah berusaha mengubah sektor pertaniannya meski ditentang berbagai kalangan.[54]
Lihat pula
Referensi
- ^ Ajit Karnik and Mala Lalvani, "Interest Groups, Subsidies and Public Goods: Farm Lobby in Indian Agriculture." Economic and Political Weekly, Vol. 31, No. 13 (Mar. 30, 1996), pp. 818-820. (Available at http://www.jstor.org/stable/4403965
- ^ Panagariya, Arvind (2005–12). "Liberalizing Agriculture". Foreign Affairs. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-02-18. Diakses tanggal 26 December 2006.
- ^ "World Bank's Claims on WTO Doha Round Clarified" (Siaran pers). Center for Economic and policy research. 22 November 2005. "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-22. Diakses tanggal 2013-11-29.
- ^ Andrew Cassel (6 May 2002). "Why U.S. Farm Subsidies Are Bad for the World". Philadelphia Inquirer. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-06-09. Diakses tanggal 20 July 2007.
- ^ Alan Beattie; Frances Williams (24 July 2006). "US blamed as Trade Talks end in acrimony". Financial Times. Diakses tanggal 18 May 2008.
- ^ Patel, Raj (2007). Stuffed and Starved. UK: Portobello Books. hlm. 57.
- ^ Agricultural Subsidies in the WTO Green Box Diarsipkan 2011-11-12 di Wayback Machine., ICTSD, September 2009.
- ^ "Agricultural Subsidies, Poverty and the Environment" (PDF). World Resources Institute. January 2007. Diakses tanggal 25 February 2011.
- ^ "How much does it hurt? The Impact of Agricultural Trade Policies on Developing Countries" (PDF). IFPRI. 2003. Diakses tanggal 25 February 2011.
- ^ "Farm subsidies: devastating the world's poor and the environment". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-09. Diakses tanggal 25 February 2011.
- ^ "Trade and the Disappearance of Haitian Rice". .american.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-29. Diakses tanggal 12 April 2012.
- ^ http://dspace.mit.edu/bitstream/handle/1721.1/28350/56025477.pdf?sequence=1
- ^ http://www.ifad.org/operations/projects/regions/pl/factsheet/haiti_e.pdf
- ^ "Chapter 4. Trade liberalization and food security in developing countries[45]". Fao.org. 12 July 2002. Diakses tanggal 12 April 2012.
- ^ http://search.proquest.com/docview/305170611/fulltextPDF?accountid=14656
- ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-05-17. Diakses tanggal 2013-11-29.
- ^ "Haiti No Longer Grows Much of Its Own Rice and Families Now Go Hungry | Oxfam International". Oxfam.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-28. Diakses tanggal 12 April 2012.
- ^ http://www.imf.org/external/pubs/ft/scr/2001/cr0104.pdf
- ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-10-16. Diakses tanggal 2013-11-29.
- ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-02-23. Diakses tanggal 2013-11-29.
- ^ Doyle, Mark (4 October 2010). "BBC News – US urged to stop Haiti rice subsidies". BBC. Diakses tanggal 12 April 2012.
- ^ "FRAC Food Research and Action Center". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-14. Diakses tanggal 2013-11-29.
- ^ Pollan, Michael (12 October 2003). "THE WAY WE LIVE NOW: 10-12-03; The (Agri)Cultural Contradictions Of Obesity". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-02. Diakses tanggal 29 April 2008.
- ^ Physicians Committee for Responsible Medicine
- ^ a b Kummer, Corby. "Back To Grass". The Atlantic. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-16. Diakses tanggal 29 April 2008.
- ^ "Farm subsidies and obesity in the United States: National evidence and international comparisons". Sciencedirect.com. Diakses tanggal 12 April 2012.
- ^ Thompson, Wyatt (15). "Farm Household Income and Transfer Efficiency: An Evaluation of United States Farm Program Payments". American Journal of Agricultural Economics. 91.5: 1926–1301.
- ^ Washington Post 11 October 2011
- ^ "Hoesktra et al 2012" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-12-07. Diakses tanggal 2013-11-30.
- ^ "Yale Rudd Centre". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-03-28. Diakses tanggal 2013-11-30.
- ^ "Pertanian di Uni Eropa". Deutsche Welle. Diakses tanggal 27 April 2014.
- ^ "Website redirection". Europa (web portal). Diakses tanggal 12 April 2012.
- ^ a b "Towards 'smart' subsidies in agriculture? Lessons from recent experience in Malawi". Overseas Development Institute. September 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-21. Diakses tanggal 2013-11-28.
- ^ "Save the Farms – End the Subsidies". Cato Institute. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-10-25. Diakses tanggal 22 October 2008.
- ^ "Surviving with out subsidies", NYT
- ^ Pickford, John (16 October 2004). "New Zealand's hardy farm spirit". BBC News. Diakses tanggal 12 April 2012.
- ^ "Return of US dairy subsidies sours Kiwis". Television New Zealand. 25 May 2009. Diakses tanggal 15 September 2011.
- ^ "Why bother with a US FTA?". The New Zealand Herald. 23 March 2010. Diakses tanggal 15 September 2011.
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-28. Diakses tanggal 2013-11-28.
- ^ "Farm Subsidies Over Time". The Washington Post. 2 July 2006. Diakses tanggal 12 April 2012.
- ^ Stephen Vogel. "Farm Income and Costs: Farms Receiving Government Payments". Ers.usda.gov. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-02. Diakses tanggal 12 April 2012.
- ^ "EWG Farm Subsidy Database". Farm.ewg.org. 29 November 2004. Diakses tanggal 12 April 2012.
- ^ "Texas Farm Subsidy Payments by Category || EWG Farm Subsidy Database". Farm.ewg.org. 29 November 2004. Diakses tanggal 12 April 2012.
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-12-17. Diakses tanggal 2013-11-28.
- ^ "The 2002 Farm Bill: Title 1 Commodity Programs". USDA. 22 May 2002. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-12-07. Diakses tanggal 6 December 2006.
- ^ Sweet, William. "Corn-o-Copia." IEEE Spectrum. January 2007
- ^ "Brazilian Sugarcane Industry Responds to Introduction of Pomeroy-Shimkus Legislation That Taxes Clean, Renewable Energy". District of Columbia: Prnewswire.com. Diakses tanggal 12 April 2012.
- ^ "Brazil raises cane over U.S. ethanol tariff". Los Angeles Times. 4 November 2009. Diakses tanggal 12 April 2012.
- ^ USDA 2006 Fiscal Year Budget. "USDA Budget Summary 2006. Farm and Foreign Agriculture Services". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-20.
- ^ "US, India, Japan Farm Subsidies Face WTO Ag Committee Scrutiny". ICTSD. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-03. Diakses tanggal 2013-11-28.
- ^ Ashok B Sharma (2012-03-28). "BRICS for end to rich nations' farm subsidies". The Indian Awaaz.
- ^ "EU farm subsidies fall, bucking global trend". Agrimoney.com. 2010-07-01. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-22. Diakses tanggal 2013-11-28.
- ^ Yutaka Harada (2012-01-17). "Can Japanese Farming Survive Liberalization?". The Tokyo Foundation.
- ^ "Coffee shop farmers". The Dong-A Ilbo. 2012-03-17.
Bahan bacaan terkait
Pranala luar