Slilit Sang Kiai

Slilit sang Kiai
Berkas:Slilit Sang Kiai.jpg
Slilit sang Kiai
PengarangEmha Ainun Nadjib
NegaraIndonesia Indonesia
BahasaBahasa Indonesia
GenreSosial-politik
PenerbitPT Pustaka Utama Grafiti
Tanggal terbit
Desember 1991
Halaman312
ISBNISBN 9789794338186

Slilit Sang Kiai adalah judul buku karya Emha Ainun Nadjib berisi kumpulan kolom yang pernah dipublikasikan di berbagai media massa. Slilit Sang Kiai kali pertama diterbitkan oleh PT Pustaka Utama Grafiti, pada Desember 1991 dengan nomor ISBN 9789794338186, dengan kategori sosial-politik.[1][2][3][4][5][6][7]

Latar belakang

Islam sering hanya dipandang sebagai potret statis dari himpunan perilaku yang dianggap ideal. Bahkan sering pula ia digunakan hanya sebagai instrumen pembenaran proses-proses sosial, kebudayaan, dan kekuasaan yang dominan. Di sini, Islam berhenti sebagai diskursus pemerdekaan manusia. Islam "direkayasa" untuk berposisi sebagai perangkap yang menghentikan atau memperlambat perkembangan masyarakat. Emha Ainun Nadjib ingin menolak semua itu. Dalam kumpulan kolom, yang pernah terbit di berbagai media, Emha mencoba menempatkan agama, dalam hal ini Islam, sebagai jalan pemerdekaan. Lewat ini pula manusia dapat menari-nari dengan imajinya sendiri. Bagi Emha, titik tolak jalan pemerdekaan itu tidak bersandar pertama-tama pada akidah atau syariat. Ia menumpukannya pada kesadaran tentang kemanusiaan dan keadilan. Bentuk kesadaran inilah yang sering Emha temukan tersembunyi dalam nasihat para kiai ndeso yang "mistis" dan nyentrik. Atau terpendam dalam ungkapan-ungkapan rakyat yang populer. Kesadaran itu pada akhirnya harus menjadi acuan tertinggi untuk menuntaskan dilema abadi yakni usaha untuk membebaskan Islam dari sejarah (purifikasi) dan pada saat yang sama membumikannya menjadi bagian dari proses sejarah itu sendiri.

Dakwah dalam kolom

Dalam menyampaikan pesan "besar" seperti ini, Emha seolah tak pernah kehabisan kata-kata. Ia menari dan merdeka dalam kata-kata, sebagaimana ia ingin memerdekakan pengertian-pengertian orang banyak tentang Islam. Dengan kata lain, melalui tema yang beragam itu ia sesungguhnya ingin "berdakwah" tanpa menyinggung dan menggunakan bahasa agama. Dia tak ingin menjadi pengkhotbah di masjid, yang dari waktu ke waktu mensyiarkan pengertian, cerita, dan tafsir-tafsir yang membosankan. Karena itu bisa pula dikatakan bahwa keunikan buku ini adalah semuanya itu disampaikan dalam bentuk tulisan pendek, kolom.

Kekuatan utama pada kolom adalah pada kemungkinan yang diberikannya untuk bermain dengan imajinasi, untuk bergurau dengan pengertian-pengertian. Jika mutu sebuah tulisan ilmiah harus diukur pada seberapa ketat dan konsisten ia mengoperasikan konsep-konsep, maka pada kolom mutu itu dilihat pada seberapa cerdas dan mengejutkan ia menggedor impresi kita. Yang pertama menemukan kebenaran melalui analisis konsep-konsep dan yang kedua melalui permainan kata-kata. Sebagaimana para penulis kolom yang andal lainnya, seperti Umar Kayam dan Goenawan Mohammad, Emha memanfaatkan hingga hampir tuntas kemungkinan untuk bermain dengan kata-kata.

Tentu ada risiko penggunaan kolom untuk menyampaikan "dakwah". Karena di dalamnya batas antara permainan dan kesungguhan amat kabur. Maka kolom sangat mudah disalahmengerti, dan lebih memancing pembaca untuk sekadar menikmatinya dibanding mengertinya dengan baik. Dalam hal ini, kolom mudah dianggap sekadar hiburan dan kolumnis dipandang sebagai seorang penghibur, bukan pemikir. Beberapa kolom yang ada dalam buku ini agaknya sulit menghindari risiko demikian.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Api Qiamtum: dari Slilit sang kiai sampai cangkir sang kiai, diakses 21 Maret 2015
  2. ^ Pengen Buku: Slilit sang kiai, diakses 21 Maret 2015
  3. ^ Buku Kita: Slilit sang kiai, diakses 21 Maret 2015
  4. ^ Good Reads: Slilit Sang Kiai,diakses 6 Maret 2017
  5. ^ ApiQuantum: Dari Slilit Sang Kiai Sampai Cangkir Sang Kiai,diakses 6 Maret 2017
  6. ^ Berita Bojonegoro: Slilit Sang Kiai Emha Ainun Nadjib,diakses 6 Maret 2017
  7. ^ Kineruku: Slilit Sang Kiai Emha Ainun Nadjib[pranala nonaktif permanen],diakses 6 Maret 2017

Pranala luar