Singapore White Paper on Shared Values

Singapore White Paper on Shared Values adalah suatu piagam tentang pengakuan terhadap hak asasi dan nilai-nilai identitas masyarakat Singapura yang terdiri dari berbagai macam ras, etnis, dan agama. Piagam ini diterima pada Januari 1991.

Latar Belakang

Pada akhir 1988, terjadi sebuah gerakan yang dilakukan secara sadar oleh masyarakat Singapura untuk membentuk suatu "identitas nasional", yaitu "identitas Singapura" sebagai suatu negara dan bangsa yang terdiri dari berbagai macam ras, etnis, dan agama. Kesadaran identitas nasional ini dicetuskan karena masyarakat Singapura menyadari, bahwa mereka memerlukan suatu identitas nasional yang terbingkai dalam ideologi yang kuat sehingga dapat menjadi pegangan bagi seluruh masyakarat Singapura. Namun, identitas dan ideologi nasional Singapura itu, tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan tradisi dari setiap kelompok masyarakat yang ada di Singapura. Oleh karena itulah kemudian, Singapore White Paper on Shared Values lahir.[1]

Nilai-nilai yang diakui dalam piagam itu adalah nilai-nilai dan tradisi dari etnis-entis yang menjadi komposisi utama masyarakat Singapura, seperti Etnis China, Etnis Melayu, dan Etnis India, sementara nilai-nilai agama yang diakui dalam piagam itu adalah Agama Khonghucu, Agama Islam, dan Agama Hindu. Setelah mengalami perdebatan di Parlemen Singapura, singapore White Paper on Shared Values akhirnya diratifikasi pada Januari 1991 dan menjadi salah stu bagian dari konstitusi Singapura.[2]

Prinsip

Sebagai sebuah piagam yang menyangkut pengaturan terhadap nilai-nilai dalam masyarakat, maka Singapore White Paper on Shared Values juga memiliki prinsip. Setidaknya menurut Miriam Budiardjo, ada lima prinsip utama yang dicantumkan dalam piagam ini, yaitu:[2]

  1. Nation before community and society above self. Kepentingan negara diatas kepentingan komunitas, dan kepentingan masyarakat diatas kepentingan individu, artinya bahwa kepentingan masyarakat harus dipertimbangkan terhadap kepentingan individu, tetapi juga terhadap kepentingan sub-kelompok. Contohnya adalah, Mayoritas keturunan China tidak boleh menganggap dirinya orang China, tetapi harus orang Singapura.
  2. Family as the basic unit of society. Keluarga sebagai kesatuan dasar dalam masyarakat, artinya adalah keluarga dianggap sebagai "batu bangunan" dasar atau pondasi dari bangunan yang lebih besar, yaitu bangunan sosial masyarakat yang stabil.
  3. Community support and respect for the individual. Komunitas harus mendukung dan menghormati individu, artinya bahwa selain sebagai satu kesatuan kolektif, masyarakat harus menghargai sesama manusia secara individu. Hal ini sekaligus penyeimbang dari poin pertama.
  4. Consensus, not conflict. Konsensus, bukan konflik artinya adalah, segala permasalahan yang ada, yang lahir dari perbedaan pendapat dan nilai-nilai harus diselesaikan dengan cara konsensus (kesepakatan) bersama yang dihasilkan dari perundingan, bukan konflik horizontal.
  5. Racial and religious harmony. Harmoni rasial dan keagamaan, artinya adalah masyarakat yang majemuk harus senantiasa harmoni menjaga perbedaan.

Kritik

Tujuan daripada piagam ini adalah untuk membangun visi masa depan bersama rakyat Singapura untuk menghadapi masa depan bersama dengan mengakulturasikan nilai-nilai agama dan tradisi dari seluruh etnis yang ada di Singapura sebagai landasan pembangunan identitas nasional Singapura. Meskipun piagam ini kemudian pada 2013 menuai kontroversi karena dianggap sebagai kebijakan yang rasis. Rasis disini bukan kepada masyarakat multi-etnis di dalam Singapura sendiri, melainkan dianggap rasis bagi orang-orang imigran, terutama yang tidak termasuk dalam tiga etnis utama - China, Melayu, dan India.[3]

Gejolak penolakan terhadap imigran di Singapura itu kemudian melahirkan sebuah ironi, bahwa dua dari tiga etnis utama di Singapura juga adalah imigran. Hal ini kemudian dijawab oleh salah satu founding father Singapura, yaitu S. Rajaratnam. Ia berkata:[3]

"Menjadi orang Singapura bukanlah masalah keturunan, ini adalah keyakinan dan pilihan."

Referensi

  1. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 242 - 243
  2. ^ a b Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 243
  3. ^ a b hermes (2017-01-09). "The Population White Paper - Time to revisit an unpopular policy?". The Straits Times (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-07.