Ronggeng Gunung adalah salah satu adalah tarianbuhun (kuno) dari daerah Priangan Timur yang disajikan dengan konsep pertunjukan minimalis. Ronggeng berasal dari kata renggana (bahasa sansakerta) yang memiliki arti perempuan pujaan hati. Perempuan pujaan ini adalah penari yang dipilih untuk menyambut tamubangsawan kerajaan yang selalu diiringi alat musik tradisional.[1] Sedangkan kata gunung berkaitan dengan daerah perkampungan (pegunungan) sebagai tempat tarian ini berasal dan berkembang.[2] Pada dasarnya, tarian ini dijadikan sebagai sarana ritual orang kampung untuk menghormati Dewi Sri dan hiburan setelah melepas lelah selesai melakukan satu periode menanam padi. Tapi, setelah berlakunya sistem perkebunan kolonial Belanda beralih fungsi menjadi sarana hiburan yang harus dilakukan perempuan pribumi kepada tenaga-tenaga ahli kontrak yang didatangkan Belanda.[3] Tarian ronggeng gunung lahir dari perpaduan kesenian bajidor dan pencak silat.[4] Ronggeng Gunung biasanya dipentaskan dalam waktu 2 sampai 12 jam sekali pertunjukan. Dalam satu kali penampilan biasanya dibawakan 6 sampai dengan 8 lagu. Secara umum, tema lagu dalam kesenian ini bercerita tentang kerinduan kepada kekasih dan sindiran pada perompak yang telah membunuh Anggalarang.[1]
Awalnya, ronggeng gunung sempat berfungsi sebagai sarana pengantar upacaraadat seperti panen raya, penerimaan tamu, perkawinan, dan khitanan yang sangat menarik karena mengeksplorasi unsur erotis dari penari. Tapi, periode tahun 1904 sampai dengan 1945, beberapa nilai dan konsep penyajian ronggeng gunung mengalami perubahan disesuaikan dengan norma dan tatakrama yang berlaku semakin baik pada lingkunganmasyarakat. Salah satu contoh perubahan aturan adalah melarang penari bersentuhan langsung dengan penari laki-laki dan penonton laki-laki yang ikut menari ronggeng.[5]
Pemain
Penari utama dalam ronggeng gunung adalah seorang perempuan yang menggunakan kostum kebaya, samping kebat (kain batik), selendang sebagai kelengkapan penting saat menari.[6] Fungsi dari selendang ini untuk mengajak lawan (laki-laki) yang berasal dari para penonton yang hadir pada acara. Apabila selendang sudah dikalungkan ke leher salah satu penonton, artinya orang tersebut terpilih sebagai penari laki-laki.
Penari laki-laki biasanya berjumlah 10 orang. Kostum yang digunakan adalah sarung, iket kepala serta golok yang diselipkan di bagian pinggang. Penari laki-laki menari dengan gerakan mengelilingi penari perempuan dengan pola gerakan berputar sesuai arah jarum jam.[2]
Sinden lulugu (utama) adalah seorang perempuan berusia lanjut yang memiliki suara yang khas dan merdu. Biasanya, pesinden ini bisa membawakan lagu-lagu yang tidak dibawakan oleh pesinden biasa.
Pemain alat musik yang wajib hanya berjumlah tiga orang, karena alat musik yang dimainkan hanya ketuk, gong, dan kendang.[7]
Lagu
Lagu yang biasanya dinyanyikan oleh sinden dalam berbagai pertunjukkan ronggeng Gunung ada 18 lagu yang disebut kuduk tari yang berisi sisindiran dan wangsalan.[6] Lagu-lagu tersebut adalah kudupturi, ladrang, sisigaran, golewang, kawungan banter, parut, dengdet, ondai, liring, kawungan kulonan, manangis, mangonet, urung-urung, tunggul kawung, trondol, cacar burung, kidung, raja pulang. Penyajian lagu dibagi menjadi tiga bagian yaitu pembuka, inti dan penutup. Untuk bagian pembuka yaitu wangsalan ladrang dan kudupturi. Bagian inti adalah wangsalan golewang, kawungan banter, parut, ondai, liring, kawungan kulonan, manangis, mangonet, urung-urung, tunggul kawung, trondol, cacar burung, kidung. Bagian penutup adalah wangsalan dengdet, raja pulang dan sisigaran.[8]
Lagu-lagu ronggeng gunung memiliki irama bebas dengan syair dan berbentuk pupuh (puisi Jawa kuno). Bentuk sekar, termasuk bentuk tembang yang mempergunakan nada-nada tinggi (meluk = Sunda) yang penuh alunan suara (legeto) dengan rumpaka sebagai media penampilan belaka. Banyak orang berpendapat bahwa lagu-lagu tersebut senada dengan sebuah bentuk tembang sunda beluk, sebuah irama buhun, sebab itu sangat sulit untuk mentranskripsikan lagu-lagu tersebut atau membuat notasinya sekaligus. Kemungkinan besar juga, itulah yang menyebabkan mengapa ronggeng-ronggeng generasi sekarang tidak ada yang mampu untuk menyanyikannya.[9]
Aspek pertujukan
Dinamisme
Dalam pertunjukan Ronggeng Gunung unsur dinamisme bisa dilihat daro para anggota kelompok kesenian Ronggeng Gunung, baik itu ronggeng maupun nayaga. Mereka mempunyai isim sebagai benda yang berfungsi sebagai alat untuk menahan bahaya atau malapetaka yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain yang iri atau karena ada persaingan baik antara pemain sendiri maupun dengan kelompok lain. Selain itu, fungsi lain adalah untuk mempertahankan kewibawaan dari pribadi pemimpin kelompok Ronggeng Gunung agar ia tetap disegani baik oleh anak buahnya maupun oleh orang lain.[9]
Animisme
Unsur-unsur religio magis yang bersifat animistis dalam pertunjukan Ronggeng Gunung, dapat dilihat dalam penyajian sesajen yang dipersiapkan sebelum pertunjukan dimulai. Pembacaan doa dilakukan oleh ketua kelompok (rombongan) dan dihadiri oleh seluruh anggota dan para ronggeng. Adapun pemberian sesajen mempunyai maksud agar supaya roh-roh jahat tidak akan mengganggu dan memohon agar penguasa setempat, menjaga keselamatan para nayaga dan ronggeng, menarik simpati penonton pertunjukan dan membuat acara berjalan lancar hingga selesai, menjauhkan gangguan dari roh jahat yang ada di sekeliling tempat pertunjukan dan gangguan cuaca selama pertunjukan berlangsung.[9]
Unsur magis
Para pemain Ronggeng Gunung, khususnya penari-penari wanita, biasanya memiliki mantera atau doa pengasih, (pamelet dalam bahasa Sunda) untuk maksud yang baik, musalnya supaya dia disenangi penonton. Kerap kali terjadi penonton pria tergila-gila kepada salah seorang ronggeng dan setelah menonton · akan selalu teringat kepadanya. Dalam mempergunakan mantera untuk menarik simpati penonton, para ronggeng menggunakan bahasa kuno, sehingga tidak diketahui lagi artinya oleh yang mengucapkannya. Tetapi makin tidak difahami arti mantera-mantera itu, makin dirasakan kekeramatannya. Sebuah magi bisa menggunakan bahasa Jawa kuno atau bahasa Sunda kuno, dan magi semacam ini disebut orang magi produktif.[9]