Dalam konsep budaya Minangkabau, Rao merupakan wilayah rantau Minang di utara. Daerah ini menjadi bagian Kerajaan Pagaruyung sejak abad ke-16, yakni dengan ditempatkannya salah seorang raja yang bergelar Yang Dipertuan Padang Nunang.[1] Pada masa kepemimpinan kaum Paderi, Rao merupakan salah satu pusat pengajaran Islam di Sumatera Tengah, khususnya untuk ilmu logika (mantiq) dan ma'ani.[2] Sejak kekalahan pasukan Paderi pada tahun 1838, Rao menjadi bagian kolonial Hindia Belanda dan dimasukkan ke dalam karesidenan Padangsche Benedenlanden yang berpusat di Padang. Namun pada tahun 1891, pemerintah Hindia Belanda menggabungkan Rao ke dalam wilayah residen Padangsche Bovenlanden yang berpusat di Bukittinggi.
Pada tahun 1840, Rao merupakan salah satu wilayah penghasil kopi di pantai barat Sumatera. Untuk itu maka pemerintah kolonial segera membangun sekolah (1845) dan jalur komunikasi jalan darat dari Air Bangis ke Rao (1850-an).[3] Sejak kemerdekaan Indonesia, Rao menjadi bagian Kabupaten Pasaman yang berpusat di Lubuk Sikaping.
Rao menjadi daya tarik masyarakat Luhak Nan Tigo, sejak ditemukannya tambang emas di daerah ini. Sejak itu maka berbondong-bondong, orang-orang dari Agam dan Lima Puluh Kota untuk bermukim disini. Pada pertengahan abad ke-18, banyak masyarakat Rao yang bermigrasi ke Tapanuli Selatan untuk menjadi guru dan pedagang. Mereka juga menyusuri Sungai Rokan dan Kampar, untuk pergi merantau ke Riau dan terus ke Malaysia. Di Malaysia, sebagian besar mereka bermukim di Negeri Sembilan, Pahang, dan Perak. Gopeng, salah satu kota kecil di Perak, merupakan tempat yang banyak dihuni para perantau asal Rao. Di Malaysia, masyarakat Rao dikenal sebagai Orang Rawa (Rao dalam Bahasa Minangkabau berarti Rawa).
Selain kepindahan masyarakat Rao ke negeri luar, wilayah ini juga banyak dihuni oleh etnis dari Tapanuli. Pada masa Perang Paderi, para pedagang Minang banyak yang membawa etnis Batak ke wilayah Rao. Selain untuk memperkuat barisan Paderi, kepindahan mereka juga untuk mengisi tenaga kerja di wilayah ini. Pada masa kolonial Hindia Belanda, banyak masyarakat Mandailing yang bermigrasi ke Rao. Tujuan mereka untuk mempelajari agama Islam dan menghindari zendingNasrani yang sedang marak di Tapanuli Utara.[4] Pada tahun 1952, gelombang perpindahan orang-orang Tapanuli ke Rao kembali terjadi. Namun kali ini perpindahan mereka dikarenakan alasan politis. Dimana pemerintah Sumatera Barat, menolak ditempatkannya para transmigran asal Jawa dan lebih memilih mendatangkan masyarakat Minang dari kabupaten lain, serta orang Mandailing dari Tapanuli Selatan.[5]
Tokoh
Seperti wilayah lainnya di Sumatera Barat, Rao juga banyak melahirkan tokoh-tokoh terkemuka yang sukses di Indonesia dan Malaysia. Keberhasilan masyarakat Rao dikarenakan adanya pendidikan agama yang diusahakan oleh kaum Paderi dan kemudian pendidikan sekuler oleh pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19. Berkat pendidikan, banyak di antara mereka yang menjadi ulama, pengusaha, politisi, dan sastrawan. Antara lain ialah Tuanku Rao, Rashid Maidin, Yusuf Rawa, Asrul Sani, Hussamuddin Yaacub, Mohamed Hashim Mohamad Ali, dan Muhammad Chatib Basri.,Ariel Noah,[6]
Referensi
^Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Balai Pustaka
^Mahmud Yunus, Sedjarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1960
^Elizabeth E. Graves, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule Nineteenth Century, 1981
^Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an, Yayasan Obor Indonesia, 2007
^Harian Haluan, 27 September 1953 dan 18 September 1953
^Zabidin Haji Ismail; Biografi Tokoh Rao, Sumbangan dan Jasa terhadap Pembangunan Malaysia; Persatuan Karyawan Perak, 2012