Preangerstelsel (bahasa Indonesia: Sistem Parahyangan) adalah tanam paksa kopi yang diberlakukan di wilayah Parahyangan pada tahun 1720. Rakyat diwajibkan menamam kopi dan menyetorkan hasilnya ke VOC melalui para bangsawan daerah. Hal ini sangat menguntungkan bagi Belanda dan membuat VOC menjadi produsen kopi terpenting di dunia, dengan kopi sebagai komoditas ekspor paling menguntungkan dari Jawa hingga pertengahan abad ke-19. Kebijakan ini kemudian juga mengilhami lahirnya Cultuurstelsel atau tanam paksa pada tahun 1830 yang diberlakukan pada wilayah yang lebih luas dengan komoditas tanam yang lebih beragam. Kebijakan Preangerstelsel berlangsung hingga 1916.[1][2]
Menak dan sentana
Beda antara Preangerstelsel dengan Cultuurstelsel adalah bahwa kalangan Bangsawan Sunda dikerahkan untuk memimpin budidaya kopi, dari awal abad 18 itu. Sedangkan di wilayah Jawa lainnya, pada zaman Cultuurstelsel, para bangsawan, misalnya bupati, tidak diikutkan dalam memimpin produksi tanamannya. Pimpinan budidaya tanaman jatuh ke tangan pemimpin desa, kepala desa dan pimpinan desa lain yang mengendalikan para petani. Tetapi di Pasundan yang berperan adalah para menak dan sentana, yang terakhir ini adalah bangsawan Sunda yang lebih rendah. Bersama, mereka terlibat dalam pengendalian budidaya kopi.
Itu perbedaan pertama, jadi bangsawan setempat dilibatkan. Perbedaan lain juga masih ada. Misalnya akibat pengerahan para bangsawan itu, para petani Sunda juga harus menyerahkan panen tanaman paksa, tetapi juga panen padi mereka dalam jumlah besar. Pada zaman kekuasaan Gubernur Jenderal Daendels jumlah itu meningkat sampai seperlima panen padi. Itu merupakan semacam gaji bagi para menak dan sentana Pasundan, sedangkan di tempat lain hal semacam itu tidak terjadi.[3]
Itulah dua contoh perbedaan utama di antara keduanya. Namun, perbedaan dasarnya adalah budidaya beberapa tanaman yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Jika di daerah-daerah lain tanamannya adalah tebu atau indigo, maka di Pasundan budidayanya adalah kopi.