Prasasti Telaga Batu

Prasasti Telaga Batu

Prasasti Telaga Batu 1 ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kel. 3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1935.[1] Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional dengan No. D.155. Di sekitar lokasi penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga Batu 2, yang berisi tentang keberadaan suatu vihara di sekitar prasasti.[2] Pada tahun-tahun sebelumnya ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan Prasasti Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada sebuah batu andesit yang sudah dibentuk sebagaimana layaknya sebuah prasasti dengan ukuran tinggi 118 cm dan lebar 148 cm. Di bagian atasnya terdapat hiasan 7 (tujuh) ekor kepala ular kobra (Ludai), dan di bagian bawah tengah terdapat semacam cerat (pancuran) tempat mengalirkan air pemandian. Tulisan pada prasasti berjumlah 28 baris, berhuruf Pallawa Melayu, dan berbahasa Melayu Kuno.

Penafsiran prasasti

Prasasti Telaga Batu merupakan salah satu prasasti yang membahas mengenai awal mula pembentukan Kerajaan Sriwijaya.[3] Pahatan tulisannya sangat panjang dan utamanya membahas tentang kutukan bagi siapapun yang melakukan kejahatan di kadatuan Sriwijaya dan tidak taat kepada perintah raja. Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti ini merupakan orang-orang yang berkategori berbahaya dan berpotensi untuk melawan kepada kedatuan Sriwijaya sehingga perlu disumpah.[4]

Disebutkan orang-orang tersebut mulai dari para pejabatnya putra mahkota (rājaputra), hakim/jaksa (dandanayaka), kapten bahari (puhāvam), pengrajin (sthāpaka), tukang cuci (marsī hāji), (hulun hāji). Meskipun tidak memuat angka tahun, prasasti Telaga Batu ini dapat diperkirakan berasal dari zaman yang sama dengan prasasti Kota Kapur tang berangka Tahun 608 Saka (686 Masehi) di lihat dari bentuk tulisan aksara yang terdapat dalam batu tersebut (Casparis, 1956:16)[5].

Prasasti ini salah satu prasasti kutukan yang paling lengkap memuat nama-nama pejabat pemerintahan. Beberapa sejarahwan menganggap dengan keberadaan prasasti ini, diduga pusat Sriwijaya itu berada di Palembang dan pejabat-pejabat yang disumpah itu tentunya bertempat-tinggal di ibu kota kerajaan, namun hingga sekarat kepastian keberadaan pusat sriwijaya belum dapat di pastikan termasuk ibu kota kerajaan sriwijaya karena pada tahun 775 Masehi telah di temukan di Provinsi Nakhon Si Thammarat Prasasti Ligor di dalam prasasti ini menyebutkan sebutan kepada raja yaitu bhupati dengan sebutan sekarang adalah bupati, pada masa kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sekarang bupati sebagai kepala daerah tingkat Kabupaten bukanlah seorang raja usahkan sultan seperti pada zaman sejarah dahulu kala melainkan seorang politikus yang bertindak sebagai kepala daerah tingkat Kabupaten yang memiliki tugas dan wewenang untuk penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang di tetapkan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.[6] Soekmono berpendapat berdasarkan prasasti ini tidak mungkin Sriwijaya berada di Palembang karena adanya keterangan ancaman kutukan kepada siapa yang durhaka kepada kadatuan,[7] dan mengajukan usulan Minanga seperti yang disebut pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan berada di sekitar Candi Muara Takus sebagai ibu kota Sriwijaya.[8]

Lihat juga

Rujukan

  1. ^ Erwan Suryanegara, 1990
  2. ^ Casparis, 1956
  3. ^ Syarifuddin, dkk. (Februari 2023). Koleksi Museum Negeri Sumatera Selatan (PDF). Palembang: Bening Media Publishing. hlm. 9. ISBN 978-623-8006-53-3. 
  4. ^ Casparis, J.G., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D., Dinas Purbakala Republik Indonesia, Bandung: Masa Baru.
  5. ^ https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/munas/prasasti-telaga-batu/
  6. ^ Irfan, N.K.S., (1983), Kerajaan Sriwijaya: pusat pemerintahan dan perkembangannya, Girimukti Pasaka
  7. ^ Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, (1958), Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Pertama, Volume 5.
  8. ^ Soekmono, R., (2002), Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2, Kanisius, ISBN 979-413-290-X.