Post-Marxisme merupakan salah satu sudut pandang teoretis yang mengungkapkan pembagian seksual, ras, kelas, dan etnik dari masyarakat Barat modern.[1] Post-Marxisme juga mempertanyakan ciri Marxisme yang reduktif dan antidemokratis, serta semua gerakan politik yang berupaya menjelaskan segala perubahan dalam sejarah di dalam kerangka peranan satu kelas atau pelaku istimewa tertentu.[2] Post-Marxisme menerima ilham yang datang dari keterlibatan politikMarx, tetapi menolak penekanan Marx bahwa ekonomi adalah aspek yang paling menentukan, atau pada gagasan tentang adanya satu kelas universal.[2] Sekarang Post-Marxisme mengusulkan adanya demokrasi radikal.[2] Demokrasi radikal adalah demokrasi yang bertumpu pada ekuivalensi antar warganya, pada kesetaraan yang terbentuk lewat proses ekuivalensi diskursif (misalnya, pengakuan akan keseluruhan masyarakat sebagai sebuah masyarakat warga).[3]
Post-Marxisme menjadi paham intelektual yang sesuai dengan menang atas neo-liberalism dan mundurnya kelas-kelas pekerja.[4] Kemenangan ini senantiasa diawali oleh kaum kiriAmerika latin yang berjuang penuh melawan kapitalisme, selain itu semakin didukung dengan besarnya suara teologi pembebasan yang berdengung di Amerika latin.[4] Secara teoretis, post-marxisme banyak mengubah tradisi dan metode keilmuan yang telah ada sebelumnya, tetapi secara praktis, pemikir-pemikir post-marxisme menolak untuk membuat gerakan masif yang terstruktur. Berbeda dengan marxisme yang menekankan perjuangan kelas dan humanitas kelompok-kelompok yang terepresi, para pemikir post-marxisme mempersoalkan mengenai seksualitas, ras, kelas, pemisahan atau segregasi ras, dan gerakan progresif untuk menentang bentuk-bentuk eksklusivitas sumber daya.[5]
Komponen Post-Marxisme
Penyokong para pemikir Post-Marxisme adalah kritik yang sistematis terhadap Marxisme dan situasi yang ada.[4] Terdapat lima diskursus yang menjadi penyokong hasil para pemikir Post-Marxisme:
Sosialisme adalah kegagalan dan seluruh teori-teori yang umum dari masyarakat dikutuk di dalam proses ini.[4] Ideologi-ideologi selain Post-Marxisme tidak dibenarkan, karena yang lain itu merefleksikan satu dominasi ide dengan sistem ras kebudayaan.[4]
Marxisme menekankan pada kelas sosial turunan, karena kelas-kelas menghancurkan: poin-poin dari prinsip politik yang berangkat merupakan kebudayaan dan akarnya di dalam identitas yang beragam (ras, gender, etnik, dan pilihan seksual).[4]
Negara adalah musuh dari demokrasi dan kebebasan, serta suatu korup dan tidak sesuai dengan kesejahteraan sosial.[4] Di tempat ini, masyarakat sipil adalah pelaku utama dari demokrasi dan kemajuan sosial.[4]
Perencanaan utama adalah buatan birokrasi yang mana menghalangi pertukaran yang baik di antara para produsen.[4] Pasar dan bursa pasar barangkali dengan peraturan yang terbatas mengizinkan konsumsi terbaik dan distributor yang lebih efisien.[4]
Pergumulan tradisional kaum kiri atas kekuasaan adalah merusak dan membawa kepada rezim otoriter yang mendiamkan suara seorang bawahan.[4]
Imanol Galfarsoro: "(Post)Marxismoa, kultura eta eragiletasuna: Ibilbide historiko labur bat" in Alaitz Aizpuru(koord.), Euskal Herriko pentsamenduaren gida, Bilbo, UEU 2012. ISBN 978-84-8438-435-9
Simon Tormey & Jules Townshend, Key Thinkers from Critical Theory to Post-Marxism, Pine Forge Press, 2006.
Sim, Stuart. Post-Marxism: An Intellectual History, Routledge, 2002.