Politik pascakebenaran

Politik pascakebenaran (disebut juga politik pascafakta) adalah budaya politik yang perdebatannya lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan.[1][2] Selain itu, poin topik pidato ditegaskan berkali-kali tanpa mendengarkan balasan yang berbobot. Pascakebenaran berbeda dengan kebiasaan menantang dan mencari kelemahan kebenaran.[3] Pascakebenaran justru menempatkan kebenaran di posisi kedua.[4] Meski pascakebenaran dianggap sebagai masalah modern, ada kemungkinan bahwa ini sudah lama menjadi bagian dari kehidupan politik, tetapi kurang terkenal sebelum kehadiran Internet. Dalam novel Nineteen Eighty-Four, George Orwell membayangkan sebuah negara yang mengganti catatan sejarah setiap hari agar pas dengan tujuan propaganda saat itu.

Komentator politik mengamati berkembangnya politik pascakebenaran di perpolitikan Amerika Serikat, Australia, Britania Raya, Cina, India, Jepang, Rusia, Katalunya, Spanyol, dan Turki, serta di berbagai bidang debat yang didorong oleh perpaduan siklus berita 24 jam, keseimbangan palsu dalam laporan berita, dan pemasyarakatan media sosial.[5][6][7][8][9][10] Pada tahun 2016, "post-truth" terpilih sebagai Oxford Dictionaries' Word of the Year[11] karena merebak semasa referendum Brexit dan liputan media mengenai pilpres A.S..[12][13]

Politik pasca-kebenaran (atau post-truth) disinyalir merupakan penyesuaian dari kata 'truthiness' yang kali pertama diciptakan Stephen Colbert dan terpilih sebagai Word of the Year tahun 2005 menurut American Dialect Society (ADS).[14] Kata truthiness sendiri memiliki arti yang hampir serupa, yakni informasi yang dianggap atau dirasakan sebagai sesuatu yang mendekati kebenaran --maka terdapat imbuhan '-y' dalam kata dasar 'truthy' atau '-ish' dalam kata 'truthish'. Penambatan partikel 'post-' di depan bukan dimaknai dalam dimensi waktu, melainkan bentuk pengikisan makna ortodoks atau 'kemurnian' kata yang dimaksud.

Referensi

  1. ^ Harsin, Jayson (2023-12-29). Re-thinking Mediations of Post-truth Politics and Trust: Globality, Culture, Affect (dalam bahasa Inggris). Taylor & Francis. hlm. 1–33. ISBN 978-1-003-83593-6. 
  2. ^ Harsin, Jayson (2018-12-20). Post-Truth and Critical Communication Studies (dalam bahasa Inggris). doi:10.1093/acrefore/9780190228613.013.757. ISBN 978-0-19-022861-3. 
  3. ^ Kalpokas, Ignas (2019). A political theory of post-truth. Palgrave pivot. Cham, Switzerland: Palgrave Macmillan. ISBN 978-3-319-97713-3. 
  4. ^ Cosentino, Gabriele (2020). Social media and the post-truth world order: the global dynamics of disinformation. Palgrave pivot. Cham, Switzerland: Palgrave Macmillan. ISBN 978-3-030-43005-4. 
  5. ^ "The post-truth world: Yes, I’d lie to you," The Economist Sept 10, 2016
  6. ^ John Connor (14 July 2014). "Tony Abbott's carbon tax outrage signals nadir of post-truth politics". The Age. Diakses tanggal 11 July 2016. 
  7. ^ Gay Alcorn (27 February 2014). "Facts are futile in an era of post-truth politics". The Age. Diakses tanggal 11 July 2016. 
  8. ^ Amulya Gopalakrishnan (30 June 2016). "Life in post-truth times: What we share with the Brexit campaign and Trump". The Times of India. Diakses tanggal 11 July 2016. 
  9. ^ Ian Dunt (29 June 2016). "Post-truth politics is driving us mad". politics.co.uk. Diakses tanggal 11 July 2016. 
  10. ^ "Free speech has met social media, with revolutionary results". New Scientist. 1 June 2016. Diakses tanggal 11 July 2016. 
  11. ^ Flood, Alison (15 November 2016). "'Post-truth' named word of the year by Oxford Dictionaries". The Guardian. Diakses tanggal 16 November 2016. 
  12. ^ Jonathan Freedland (13 May 2016). "Post-truth politicians such as Donald Trump and Boris Johnson are no joke". The Guardian. Diakses tanggal 11 July 2016. 
  13. ^ Daniel W. Drezner (16 June 2016). "Why the post-truth political era might be around for a while". The Washington Post. Diakses tanggal 11 July 2016. 
  14. ^ Zimmer, Ben (2010-10-13). "Truthiness". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 2017-10-24. 

Bacaan lanjutan