Piring gantung


Piring gantung adalah jenis piring traidisional yang berasal dari Papua.

Sejarah piring gantung berawal dari pedagang Tiongkok yang datang ke Timur Indonesia dan memilih untuk tinggal di Pulau Papua karena keindahan dan kekayaan alam yang ada. Beberapa dari antara mereka memilih untuk tinggal dan menetap untuk lebih lama lagi. Namun, harus ada syarat yang harus dipatuhi agar dapat tinggal di Papua, yaitu dengan menikah atau meminang anak perempuan seorang kepala suku terlebih dahulu. Setelah melakukan proses itu, mereka diterima dan akan menetap serta mengklaim harta berupa tanah yang diberikan dari ayah anak perempuan yang dinikahinya. Di lain sisi, pedagang akan memberikan piring antik kepada masyarakat setempat sebagai tanda terima kasih yang sekarang dikenal dengan piring gantung. Hal ini telah dilakukan turun temurun hingga saat ini.[1]

Makna Gambar pada Piring Gantung

Salah satu piring gantung terdapat motif ular naga. Dalam kepercayaan masyarakat Tiongkok, mereka menganggap bahwa naga memiliki peran sebagai pelindung masyarakat Tiongkok. Hal ini juga mempengaruhi pemikiran masyarakat Biak-Numfor, sehingga masyarakat menerima pemahaman tersebut. Selain sebagai pelindung, naga dipercaya sebagai pembawa keberuntungan. tidak hanya motif naga saja yang ada pada piring gantung, tetapi terdapat motif burung cenderawasih, ikan, dan lain-lain. Untuk memastikan keaslian piring tersebut, kita dapat mengujinya dengan mengutik bagian dalam piring, jika terdengar bunyi nyaring, maka piring tersebut asli.

Fungsi Piring Gantung

Dalam adat perkawinan orang Papua, pembayaran maskawin merupakan suatu hal yang sangat penting. Pembayaran dilakukan dengan menggunakan piring gantung. Dalam masyarakat Biak-Numfor, piring ini digunakan oleh pihak laki-laki sebagai alat untuk membayar maskawin kepada pihak perempuan. Saat pemberian ini dilakukan, hal ini memiliki arti bahwa pihak laki-laki dan pihak perempuan telah menjadi satu. Selain itu, piring gantung memiliki fungsi sebagai tanda terima kasih, proses penyambutan kedatangan keluarga dari daerah yang belum pernah ia pergi, dan sebagai hiasan dinding.[2]

Referensi


  1. ^ Haurissa, Jenly. "Tugas Etnografi Papua". 
  2. ^ Doko, Magdalena Noviana (2013). "Fungsi Piring sebagai Mas Kawin di Papua (Suatu Study di Klasi Biak Selatan)". Program Studi Teologi FTEO-UKSW.