Perundingan Linggajati[a] atau Perundingan Kuningan[1] adalah kesepakatan politik yang disepakati pada tanggal 15 November 1946 oleh pemerintah Belanda dan Republik Indonesia yang dideklarasikan secara sepihak di desa Linggajati, Kabupaten Kuningan, dekat Cirebon yang mana Belanda mengakui republik ini memiliki kekuasaan de facto di Jawa, Madura, dan Sumatra.[2]
Latar belakang
Pada tahun 1942, Jepangmenduduki Hindia Belanda. Pada tanggal 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah, pemimpin nasionalis Indonesia, Soekarno, mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Belanda memandang kepemimpinan Indonesia sebagai kolaborator dengan pendudukan Jepang dan bertekad untuk menegaskan kembali kendali mereka atas negara ini dengan paksa.[3] Pertempuran pun pecah, yang kemudian berkembang menjadi perang kemerdekaan berskala besar antara pasukan Belanda dan pasukan republik Indonesia. Pada pertengahan 1946, kedua belah pihak berada di bawah tekanan untuk berunding. Pada bulan Juli 1946, Pelaksana Tugas Gubernur Jenderal Hindia BelandaHubertus van Mook menyelenggarakan sebuah konferensi di Malino yang dihadiri oleh perwakilan dari Kalimantan dan Indonesia bagian timur yang mendukung usulan untuk membentuk negara federal Indonesia Serikat yang memiliki hubungan dengan Belanda.[4]
Pihak yang terlibat
Dalam perjanjian tersebut terdapat beberapa tokoh yang datang sekaligus mewakili masing-masing pihak. Para tokoh yang terdapat dalam perjanjian bersejarah tersebut, yaitu:[5]
Pihak Inggris selaku penanggung jawab atau mediator diwakili oleh Lord Killearn.
Misi pendahuluan
Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggajati yang dimulai tanggal 11 November 1946.[2]
Jalannya perundingan
Setelah pemilihan umum Belanda pada tahun 1946, koalisi pemerintahan yang baru terbentuk memutuskan untuk mendirikan "Komisi Jenderal" untuk memulai negosiasi dengan Indonesia. Pemimpin dari komisi ini adalah Willem Schermerhorn. Tujuan didirkannya komisi ini adalah untuk mengatur konstitusi Hindia Belanda pada pasca-Perang Dunia II tanpa memerdekakan koloninya.[6]
Dalam perundingan ini, Wim Schermerhorn beserta komisinya dan Hubertus Johannes van Mook mewakili Belanda, sementara Sutan Sjahrir mewakili Indonesia, dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.
Hasil perundingan
Hasil perundingan tersebut menghasilkan 17 pasal yang antara lain berisi:[7]
Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatra,dan Madura.
Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Mengenai RIS sendiri, Soekarno menerima kompromi tersebut untuk menghindari perlawanan terhadap Belanda yang sulit dan pemahamannya mengenai sistem republik, maka ia dapat memimpin RIS yang mayoritasnya penduduk Indonesia. Sementara Komisi Jenderal juga menerima kompromi tersebut karena kemungkinan perang dapat dihindari dan hubungan Belanda dengan Indonesia dapat berlanjut.[6]
Pro dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia
Perundingan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perundingan itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.[8]
Dampak
Perjanjian ini memberikan dampak buruk bagi Indonesia. Indonesia harus kehilangan wilayah kekuasaannya, berdasarkan perjanjian ini wilayah Indonesia hanya Jawa, Sumatra, dan Madura. Bagi beberapa pihak kehilangan wilayah ini adalah sebuah kesalahan besar. Langkah ini terpaksa diambil dengan pertimbangan delegasi Indonesia adalah kekuatan militer Belanda yang hebat dan militer Indonesia yang apa adanya, apabila perundingan ini tidak membuahkan hasil akan mengakibatkan perang kembali yang akan berdampak buruk bagi Indonesia. Selain itu Indonesia harus ikut dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda.[9]
Namun dalam perjanjian ini Indonesia memiliki dampak positif di mata dunia internasional makin meningkat dengan pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia mendorong negara-negara lain untuk secara sah mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.
Pelanggaran Perjanjian
Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.[10]
^ abRicklefs, M. C. (2008) [1981]. A History of Modern Indonesia Since c. 1300 (edisi ke-4th). London: Palgrave Macmillan. ISBN978-0-230-54685-1.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Fischer, Louis (1959). The Story of Indonesia (edisi ke-4th). New York: Harper & Brothers.
Frederick, William H. & Worden, Robert L., ed. (1993), "The National Revolution, 1945-50", Indonesia: A Country Study, Washington, D.C.: Library of Congress, diakses tanggal 1 December 2009.