Perjuangan Kita atau Perdjoeangan Kita (bahasa Belanda: Onze Strijd) adalah sebuah pamflet yang ditulis akhir Oktober 1945 oleh pemimpin kemerdekaan Indonesia Soetan Sjahrir. Pamflet ini sangat penting dalam mengarahkan kembali revolusi nasional Indonesia.
Dalam pamfletnya Sjahrir membahas semua ujung tombak penting perjuangan revolusioner yang masih berlangsung untuk kemerdekaan Indonesia. Target pembacanya adalah pertama dan terutama massa rakyat Indonesia dan pemimpin mereka yang terlibat dalam revolusi, kedua opini publik di kota metropolitan kolonial di Belanda, negeri asal musuh, dan ketiga opini publik internasional.
Tulisan Sjahrir berhasil melawan mitos bahwa Republik Indonesia adalah gagasan dari pasukan fasis imperial Jepang dan bukan cita-cita nasional yang mendalam.
Konteks
Setelah kekalahan Kekaisaran Jepang dan akhir de factoPerang Dunia II, Angkatan Darat dan Laut Jepang yang menyerah dan kecewa di bekas koloni Belanda di Hindia Belanda mundur ke barak-barak mereka dan menunggu bantuan oleh pasukan Sekutu. Sebelum kedatangan tertunda pasukan Sekutu dan demobilisasi mereka, tentara Jepang tetap bertanggung jawab untuk menjaga bekas tahanan militer Sekutu dan tahanan sipil Eropa mereka.
Agustus 1945 para pemimpin Indonesia ditekan oleh kelompok pemuda revolusioner, agar secara sepihak memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam beberapa bulan, kekosongan kekuasaan yang diakibatkan oleh mundurnya pasukan Jepang dan pasukan Sekutu yang tiba secara bertahap meledak menjadi ketegangan revolusioner berskala penuh. Kelompok sosial yang berada di sisi orang-orang Belanda, termasuk orang Tionghoa Indonesia, Eurasia Belanda-Indonesia, dan Indonesia Kristen seperti Depok, Ambon, dan Manado menjadi korban kekejaman kekerasan.
Saat kacau meletusnya agresi ekstrim yang dikenang oleh korban Belanda dan Indo Eropa sebagai masa Bersiap. Sjahrir adalah pemimpin pertama yang secara keras menentang dan mengutuk kekerasan yang dilakukan terhadap sesama warga negara.
Penulis
Setelah menuilis pamflet ini, Sjahrir bergabung dengan Soekarno dan Hatta, presiden dan wakil presiden dari Republik Indonesia yang diproklamasikan sepihak, sebagai perdana menteri pertama mereka. Sementara Soekarno dan Hatta dituduh telah bekerja sama dengan pasukan Poros dan menjadi boneka militer Jepang, reputasi Sjahrir sebagai pemimpin antifasis dan perlawanan memungkinkan dia untuk melakukan negosiasi awal dengan pemerintahan kolonial Belanda yang kembali dan juga Perundingan Linggadjati kemudian.
Menurut Sol Tas, "Mungkin titik puncak kariernya adalah penerbitan pamfletnya "Perjuangan Kita". Siapa pun yang membaca pamflet tersebut saat ini hampir tidak dapat memahami apa yang dituntutnya dalam wawasan dan keberanian. Karena ia muncul pada suatu masa ketika massa rakyat Indonesia, dibawa menuju titik didih oleh pendudukan Jepang dan perang saudara, mencari pelepasan dalam ledakan rasis dan histeris lainnya. Pamflet Sjahrir secara langsung menentang hal ini, dan banyak yang pasti merasakan seruannya untuk keksatriaan, untuk memahami kelompok etnis lain, sebagai suatu serangan pribadi."[2]
Referensi
Catatan dan kutipan
^Bayly, Christopher Harper, Tim ‘’Forgotten Wars, Freedom and revolution in Southeast Asia’’ (Publisher: Harvard University Press, 2006) ISBN978-0-674-02153-2 P.185 Googlebooks
Anderson, Benedict R. O'G. (1972). Java in a time of revolution: occupation and resistance, 1944-1946. Ithaca: Cornell University Press.
Algadri, Hamid (1994). Prime Minister Sjahrir, as Statesman and Diplomat: How the Allies became friends of Indonesia and opponents of the Dutch. Jakarta: Pustaka LP3ES. ISBN979-8391-41-1.