Pengelolaan Industri Strategis Indonesia

Industri strategis adalah industri pengolahan yang memproses output dari industri dasar menjadi barang bernilai tambah yang tinggi. Produk hasil industri ini biasanya adalah barang intermediate atau barang modal yang akan digunakan oleh industri hilir untuk memproduksi barang dan jasa. Industri strategis biasanya berupa kumpulan badan usaha milik negara (BUMN) terpilih yang bergerak dalam industri berbasis teknologi dan ditetapkan sebagai wahana transformasi industri melalui penguasaan teknologi. Menurut UU 3 no. 2014 tentang Perindustrian, Industri Strategis adalah Industri yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis, atau mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara dalam rangka pemenuhan tugas pemerintah negara.

Industri strategis dimasa lalu identik dengan industri dibidang pertahanan keamanan. Menurut UU no. 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, Industri Pertahanan adalah industri nasional yang terdiri atas badan usaha milik negara dan badan usaha milik swasta baik secara sendiri maupun berkelompok yang ditetapkan oleh pemerintah untuk sebagian atau seluruhnya menghasilkan alat peralatan pertahanan dan keamanan, jasa pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan yang berlokasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pembinaan & Pengelolaan Industri Strategis di Indonesia pernah berpindah-pindah, dari Departemen Teknis, Tim Pengembangan Industri Hankam (1980-1983), Tim Pelaksana Pengembangan Industri Strategis (1983-1989), Kementerian Riset & Teknologi / Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) (1989-1998) PT Bahana Pakarya Industri Strategis (1998-2002), Kementerian BUMN (2002-Sekarang). Komite Kebijakan Industri Pertahanan dibentuk mulai 2012 untuk mengkoordinasikan kebijakan nasional tentang Industri Pertahanan.

Masa Orde Baru

Proses industrialisasi modern di Indonesia sendiri mulai berlangsung sejak dekade 1970-an. Tokoh sentralnya adalah B. J. Habibie. Tahun 1974 Habibie selaku Menteri Riset dan Teknologi mendirikan divisi Advanced Technology dan Teknologi Penerbangan di Pertamina yang kemudian berkembang menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (cikal bakal PT IPTN dan PT DI) pada tahun 1976 dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi tahun 1978. Perlahan tapi pasti, pemerintah menata strategi penguasaan teknologi dan pembangunan industri dengan membentuk Tim Pengembangan Industri Hankam tahun 1980 dan dilanjutkan dengan Tim Pelaksana Pengembangan Industri Strategis (TPPIS) tahun 1983. Hasil kajian TPPIS menghasilkan pembentukan BPIS tahun 1989. BPIS menjadi tonggak awal proses industrialisasi strategis yang modern di Indonesia.

B. J. Habibie, Menneg Ristek (1978-1997), ex officio Kepala BPIS (1989-1997)

Sebelumnya, Pembinaan dan pengelolaan BUMN Industri Strategis berada pada Departemen teknis terkait sehingga pembinaan dan pengelolaannya belum terintegrasi dengan baik, kemudian pada tahun 1989 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 44 tahun 1989 tentang Badan Pengelola Industri Strategis maka sepuluh industri dinamakan BUMN Industri Strategis dengan tujuan pemerintah ingin membangun dan mengembangkan industri pertahanan dan kemandirian Pertahanan dan Keamanan (HANKAM). Lembaga Pemerintah Non Departemen BPIS ini diketuai langsung oleh Menteri Riset dan Teknologi / Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yaitu B.J Habibie sendiri. BPIS ditugaskan untuk membina, mengelola dan mengembangkan sepuluh Industri Strategis tersebut.

Berkas:Habibie mir 0003.jpg
PM Inggris Margaret Tatcher berkunjung ke IPTN 1995

10 BUMN Strategis tersebut diantaranya:

  1. Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara;
  2. Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT. PAL Indonesia;
  3. Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT. PINDAD;
  4. Perusahaan Umum (PERUM) Dahana;
  5. Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT. Krakatau Steel;
  6. Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT. BARATA INDONESIA;
  7. Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT. Boma Bisma Indra;
  8. Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT. Industri Kereta Api;
  9. Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT. Industri Telekomunikasi Indonesia;
  10. Unit Produksi Lembaga Elektronika Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Seiring dibentuknya BPIS, maka dikeluarkan Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1989 tentang Pembentukan Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS) yang merupakan lembaga pembina BPIS. Susunan DPIS sebagaimana Keppres 56 tahun 1989 terdiri dari:

Ketua: Presiden

Wakil Ketua: Menneg Riset dan Teknologi/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Anggota:

  1. Menteri Perindustrian
  2. Menteri Perhubungan
  3. Menteri Pertahanan dan Keamanan
  4. Menteri Keuangan
  5. Menteri Perdagangan
  6. Menneg Perencanaan Pembangunan/Ka BAPPENAS
Berkas:Logo iptn.jpeg
Industri Pesawat Terbang Nusantara (1976-2000)
PT PAL Indonesia

Sejak tahun 1989 hingga 1998, telah banyak dilakukan perencanaan program dan pembuatan road map pengembangan industri strategis sebagai ujung tombak industri pertahanan menuju kemandirian hankam dengan dua target atau sasaran utama yaitu menjadi "Industri Maritim dan Industri Dirgantara terkemuka pada tahun 2015". Untuk menunjang hal ini maka kesepuluh industri strategis dikembangkan menjadi Pusat Unggulan Teknologi sesuai dengan jenis industrinya yaitu:

Penujang Industri

Pada 10 Agustus 1995 terdapat hari bersejarah yaitu penerbangan perdana pesawat N-250 PA-1 dengan sandi "Gatotkaca" buatan IPTN di Bandung Pesawat tersebut terbang selama 55 menit dengan 50 penumpang. Saat itu, event bersejarah tersebut (video) membanggakan masyarakat sebagai prestasi putera-puteri bangsa. Sehingga dalam rangka menumbuhkan sikap dan kehendak untuk mengembangkan dan menghargai pretasi yang lebih tinggi di bidang teknologi, Presiden Soeharto menerbitkan Keppres 71 1995 tanggal 6 Oktober 1995 yang menyatakan setiap tanggal 10 Agustus diperingati sebagai "Hari Kebangkitan Teknologi Nasional" Peringatan tersebut masih diperingati sampai saat ini.

Reformasi 1998 - 2002

BPIS menjadi badan negara yang mengoordinasikan pengembangan sepuluh BUMN industri strategis (BUMNIS). Dalam perkembangannya, usaha komersial sepuluh BUMNIS tersebut memang tidak selalu berjalan mulus. Kondisi ini banyak dikritik oleh banyak pihak, termasuk kelompok elit di dalam pemerintah. Industri strategis dinilai hanya menjadi proyek mercusuar dan tidak efisien, misalnya proyek pesawat penumpang N-250 dari IPTN. Pemerintah dan masyarakat merasa bangga dengan produk tersebut namun dilihat dari aspek ekonomis, proyek tersebut merugi karena banyak ongkos yang terbuang (sunk cost).[1]

Bagaimanapun, pemerintah menyadari kelemahan tersebut. Lantas pada tahun 1997 pemerintah mendirikan PT Dua Satu Tiga Puluh Tbk (PT DTSP) sebagai perusahaan publik terbuka (Tbk.) yang akan menjadi investor bagi proyek pengembangan dan produksi N-2130, yaitu pesawat penumpang bermesin jet pertama buatan Indonesia yang dibangun IPTN. Saham yang dijual kepada publik diharapkan bisa menjadi sumber pembiayaan berkelanjutan dan tidak membebani anggaran belanja negara. Pemerintah bersikukuh dengan pengembangan industri strategis (dari pesawat N-250 menuju N-2130) namun kali ini mesti dikelola lebih profesional dan profitable. Namun, pada akhirnya proyek ini kandas di tengah jalan karena terkena pengaruh krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998. Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah menerima bantuan dari International Monetary Fund. Lembaga keuangan internasional tersebut memberikan syarat bantuan, yaitu salah satunya pemerintah mesti menghentikan pembiayaan atas proyek industri strategis berbiaya besar, termasuk subsidi bagi IPTN selaku pengembang N-2130. Alhasil PT DSTP pun terkena imbasnya dan dibubarkan tahun 1999

Tanri Abeng, Menneg Pendayagunaan BUMN pertama

Pada tahun 1998 dengan PP No 35 Tahun 1998 Diarsipkan 2016-10-19 di Wayback Machine. tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan (Persero) di bidang Industri, diresmikan PT Bahana Pakarya Industri Strategis merupakan holding company pertama dilingkungan Kementerian BUMN yang khusus menangangi Industri Strategis yang terdiri dari:

  1. PT Dirgantara Indonesia (Industri Pesawat Terbang/Dirgantara) - Sebelumnya PT IPTN
  2. PT PAL Indonesia (Industri Kapal)
  3. PT Pindad (Industri Senjata/Pertahanan)
  4. PT Dahana (Industri Bahan Peledak)
  5. PT Krakatau Steel (Industri Baja)
  6. PT Barata Indonesia (Industri Alat Berat)
  7. PT Boma Bisma Indra (Industri Permesinan/Diesel)
  8. PT Industri Kereta Api (Industri Kereta Api)
  9. PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Industri Telekomunikasi)
  10. PT LEN Industri (Industri Elektronika dan Komponen)

Kemudian diterbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS) pada tanggal 17 Mei 1999. Susunan anggota DPIS ditambahkan Komut PT Pakarya Industri (Persero), Dirut PT Pakarya Industri (Persero) & Ketua KADIN. Keppres no. 40 tahun 1999 hingga saat ini belum dicabut, sehingga dengan demikian DPIS masih ada hanya hingga saat ini belum pernah melakukan rapat dan pertemuan, bahkan sekretariat DPIS yang seharusnya berada dikantor Menneg Ristek/BPPT belum pernah dibuat.

Konsep pengembangan industri unggulan dengan sasaran Pusat Unggulan Industri Maritim dan Industri Dirgantara menjadi terhenti sejak reformasi berjalan pada tahun 1998, yang kemudian diikuti pembubaran BPIS LPND. Walaupun kemudian mencoba bangkit kembali dengan pendirian PT Pakarya Industri/PT BPIS Persero, tidak banyak lagi program pengembangan teknologi menuju kemandirian hankam dilakukan, karena dalam waktu yang cukup pendek (1998-2002) PT BPIS lebih banyak berkonsentrasi pada pembenahan masalah keuangan dan pendanaan yang dihadapi BUMN Industri Strategis.

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 52 Tahun 2002 Diarsipkan 2016-10-19 di Wayback Machine. pada tanggal 23 September 2002, maka PT Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS) Persero, secara resmi dibubarkan. Sejak dikembalikannya pembinaan BUMN Industri Strategis dari BPIS ke Kementrian Negara BUMN pada tahun 2002, maka pembinaanya menjadi wewenang Deputi Pertambangan, Industri Strategis, Energi dan Telekomunikasi (PISAT) dan Mentri Negara BUMN. Kementrian negara BUMN didirikan berdasarkan UU no 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU no. 19 tentang BUMN yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP No 41 tahun 2003, PP No 35 tahun 2005, PP No 43, No.44, No. 45 tahun 2005.[2]

Masa 2002-2010

Pembinaan dan arah pengelolaan BUMN Industri Strategis sejak 2002 hingga sekarang menjadi tidak fokus pada pengembangan industri hankam (maritim dan dirgantara) akan tetapi lebih banyak pada pengelolaan perusaaan BUMN persero yang menghasilkan keuntungan. Hal ini juga yang mengakibatkan banyak kegiatan pengembangan teknologi di BUMN Industri Strategis terhenti karena kurangnya pendanaan bantuan pemerintah dan tidak adanya road map pengembangan yang sinergi.[2] Para BUMN Industri Strategis tersebut juga mengalami banyak masalah pendanaan seperti hutang yang menumpuk.[3] Selain itu, timbul sentimen politik anti-Orde Baru dari kalangan proponen reformasi yang menghendaki penghentian segala proyek pembangunan yang melibatkan Suharto dan keluarganya. Sejak saat itu, industri strategis di Indonesia menjadi tercerai-berai dan mengalami kemunduran. Berbagai kebijakan pemerintah dianggap mematikan industri strategis, aturan baru pemerintah membuat keistimewaan perusahaan milik negara dipreteli satu per satu seperti hak monopoli bahan peledak. Namun sisi lain dari periode sulit tersebut, manajemen perusahaan belajar banyak dan tumbuh semangat untuk tak bergantung pada pemerintah.[4]

Pembubaran Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) dan likuidasi PT Dua Satu Tiga Puluh Tbk (DSTP) merupakan contoh dari suatu keadaan di mana perubahan ekonomi-politik nasional memengaruhi kebijakan industri nasional. Sejauh menyangkut industri, program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pun tak terelakkan akan turut terpengaruh, entah itu bergerak menuju kemajuan atau keterpurukan. F. Harry Sampurno-Kuffal, seorang mantan komisaris BUMN dan pemegang gelar doktor industri militer, dalam buku berjudul "Keruntuhan Industri Strategis Indonesia" berpendapat bahwa pembubaran BPIS dan PT DSTP merupakan langkah mundur dari perjalanan industri di Indonesia. Indonesia mundur ke fase industrialisasi sektor ekstraktif, yaitu Indonesia menjadi produsen bahan mentah tanpa nilai tambah, karena saat ini Indonesia lebih menggantungkan diri kepada ekspor sumber daya alam dibandingkan komoditas teknologi. Padahal jika mau maju, Indonesia mesti menyesuaikan diri dengan konstelasi kompetisi bisnis global yang memosisikan kapabilitas teknologi dan inovasi yang berorientasi kepada produk bernilai tambah sebagai keunggulan kompetitif suatu negara (competitive advantage).[1]

Dari sisi kinerja perusahaan, hanya ada tiga perusahaan yang menunjukkan perkembangan kinerja yang cukup baik, yaitu; PT KS, PT LEN dan PT BARATA. Sedangkan ke-7 perusahaan lain menunjukkan penurunan kinerja selama lima tahun (2001 s/d 2005). PT INTI selama kurun waktu tersebut menunjukkan pertumbuhan kinerja yang tidak stabil, PT PINDAD mengalami peningkatan kinerja, tetapi pada tahun 2005 mengalami penurunan kinerja kembali, sedangkan PT. PAL peningkatan kinerja baru dimulai pada tahun 2005. Dari 10 Perusahaan Industri Strategis dilihat dari kinerja perusahaan tidak stabil berfluktuasi, hanya terdapat dua perusahaan yang grafiknya selalu naik yaitu PT Krakatau Steel (KS) dan PT LEN Industri yang kinerja perusahaannya bagus dan kinerja yang selalu menurun yaitu PT Barata Indonesia dan PT INKA yang kinerja makin turun drastis sedangkan perusahaan lainnya bervariasi naik turun kinerja perusahaan yang tidak stabil, dikarenakan program perusahaan dan kinerja perusahaannya yang tidak mendapat dukungan atau kontribusi Pemegang Saham maupun Komisaris untuk mendapatkan proyek baik swasta maupun instansi Pemerintah berbeda dengan sebelumnya masih di bawah Departemen atau Menteri masing-masing pasti proyek tersebut diberikan atau dimonopoli sendiri dari induknya. Misalkan PT Industri Telekomunikasi Indonesia dengan PT TELKOM dan PT Industri Kereta Api dengan PT Kereta Api Indonesia. Bahkan sempat ada wacana merger antar perusahaan saat itu, yaitu rencana akan dimerger yaitu PT. INTI dengan PT. LEN, dan PT. PINDAD dengan PT. DAHANA, dan PT. Boma Bisma Indra dengan PT. Barata Indonesia, serta PT. PAL dengan PT. INKA.[5]

Embargo Militer yang dilakukan oleh Amerika Serikat (1999-2005)[6] & Eropa (1999-2000)[7] menambah keyakinan bahwa pentingnya pengusaan teknologi dan industri pertahanan dalam negeri agar mengurangi ketergantungan Indonesia akan senjata serta perawatan dari negara lain.[8]

Masa 2010-Sekarang

Panser buatan PINDAD untuk Misi Perdamaian Dunia PBB

Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan mengeluarkan kebijakan Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force). Pembaharuan alat utama sistem persenjataan terus diperbaharui setiap tahun dan membuat industri dalam negeri bekerja keras untuk memenuhinya.

Pada tahun 2012, Pemerintah dan DPR mengesahkan UU 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. UU itu awalnya bernama RUU Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Strategis untuk Pertahanan atau RUU Industri Strategis Pertahanan dan Keamanan[9][10] yang dibahas selama 2 tahun sejak 2010-2012.[11] UU tersebut mengamanatkan pembelian alutsista harus mendahulukan industri dalam negeri terlebih dahulu. Pemerintah juga dilarang membeli alutsista melalui rekanan, harus resmi G-to-G (antar pemerintah).[12] UU tersebut mengamanatkan pembentukan Komite Kebijakan Industri Pertahanan yang diketuai oleh Presiden langsung, untuk mengoordinasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi Industri Pertahanan. Pada tahun 2014, Pemerintah dan DPR mengesahkan UU 3 tahun 2014 tentang Perindustrian yang didalamnya diatur mengenai Industri Strategis. Industri strategis dikuasai negara dengan cara pengaturan kepemilikan; penetapan kebijakan; pengaturan perizinan; pengaturan produksi distribusi dan harga; dan pengawasan.

Referensi

Lihat Pula