Parmenides

Parmenides (Παρμενίδης)
Lahir540 SM
Elea
Meninggal470 SM
EraFilsafat Pra-Sokratik
KawasanFilsafat Barat
AliranMazhab Elea
Minat utama
Metafisika, Ontologi
Gagasan penting
Tentang "yang ada"

Parmenides adalah seorang filsuf dari Mazhab Elea.[1][2] Arti nama Parmenides adalah "Terus Stabil", atau "Penampilan yang stabil". Di dalam Mazhab Elea, Parmenides merupakan tokoh yang paling terkenal.[3] Pemikiran filsafatnya bertentangan dengan Herakleitos sebab ia berpendapat bahwa segala sesuatu "yang ada" tidak berubah.[1][4]

Parmenides menuliskan filsafatnya dalam bentuk puisi.[2][3][5] Ada ratusan baris puisi Parmenides yang masih tersimpan hingga kini.[3] Puisi Parmenides terdiri dari prakata dan dua bagian.[2][5] Dua bagian tersebut masing-masing berjudul "Jalan Kebenaran" dan "Jalan Pendapat".[2][5] Bagian prakata dan "Jalan Kebenaran" tersimpan secara lengkap, yakni 111 ayat.[2][5] Bagian kedua, "Jalan Pengetahuan", hanya tersimpan sebanyak 42 ayat.[2][5]

Riwayat Hidup

Parmenides lahir pada tahun 540 SM dan meninggal pada tahun 470 SM.[1][4][5] Ia berasal dari kota Elea, Italia Selatan.[1][2][5] Ia berasal dari keluarga yang kaya dan terhormat di Elea.[4] Parmenides juga menyusun suatu konstitusi untuk Elea.[2][4][5]

Ia merupakan murid dari Xenophanes, namun tidak mengikuti pandangan-pandangan gurunya.[4][5] Pengaruh Xenophanes terhadap Parmenides hanyalah di dalam penggunaan puisi di dalam menyampaikan filsafatnya.[4] Selain itu, ia juga amat dipengaruhi oleh Ameinias, seorang dari mazhab Pythagorean.[4][5]

Menurut kesaksian Plato, Parmenides pernah mengunjungi Sokrates di Athena bersama Zeno, muridnya.[2] Pada waktu itu, Sokrates masih muda sedangkan Parmenides telah berusia 65 tahun.[2]

Pemikiran tentang "Yang Ada"

Parmenides

Inti utama dari "Jalan Kebenaran" adalah keyakinan bahwa "hanya 'yang ada' itu ada".[1][2] Parmenides tidak mendefinisikan apa yang dimaksud "yang ada", namun menyebutkan sifat-sifatnya.[1] Menurut Parmenides, "yang ada" itu bersifat meliputi segala sesuatu, tidak berpidandah tempat, tidak berubah, dan tidak terhancurkan.[1] Selain itu, "yang ada" itu juga tidak tergoyahkan dan tidak dapat disangkal.[1]

Menurut Parmenides, "yang ada" adalah kebenaran yang tidak mungkin disangkal.[2] Bila ada yang menyangkalnya, maka ia akan jatuh pada kontradiksi.[2] Hal itu dapat dijelaskan melalui pengandaian yang diberikan oleh Parmenides.[2] Pertama, orang dapat mengatakan bahwa "yang ada" itu tidak ada.[2] Kedua, orang dapat mengatakan bahwa "yang ada" dan "yang tidak ada" itu bersama-sama ada.[2] Kedua pengandaian ini mustahil.[2] Pengandaian pertama mustahil, sebab "yang tidak ada" tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibicarakan.[2] "Yang tidak ada" tidak dapat dipikirkan dan dibicarakan.[2] Pengandaian kedua merupakan pandangan dari Herakleitos.[2] Pengandaian ini juga mustahil, sebab pengandaian kedua menerima pengandaian pertama, bahwa "yang tidak ada" itu ada, padahal pengandaian pertama terbukti mustahil.[2] Dengan demikian, kesimpulannya adalah "Yang tidak ada" itu tidak ada, sehingga hanya "yang ada" yang dapat dikatakan ada.[2]

Untuk lebih memahami pemikiran Parmenides, dapat digunakan contoh berikut ini.[1] Misalnya saja, seseorang menyatakan "Tuhan itu tidak ada!"[1] Di sini, Tuhan yang eksistensinya ditolak orang itu sebenarnya ada, maksudnya harus diterima sebagai dia "yang ada".[1] Hal ini disebabkan bila orang itu mengatakan "Tuhan itu tidak ada", maka orang itu sudah terlebih dulu memikirkan suatu konsep tentang Tuhan.[1] Barulah setelah itu, konsep Tuhan yang dipikirkan orang itu disanggah olehnya sendiri dengan menyatakan "Tuhan itu tidak ada".[1] Dengan demikian, Tuhan sebagai yang dipikirkan oleh orang itu "ada" walaupun hanya di dalam pikirannya sendiri.[1] Sedangkan penolakan terhadap sesuatu, pastilah mengandaikan bahwa sesuatu itu "ada" sehingga "yang tidak ada" itu tidaklah mungkin.[1] Oleh karena "yang ada" itu selalu dapat dikatakan dan dipikirkan, sebenarnya Parmenides menyamakan antara "yang ada" dengan pemikiran atau akal budi.[1]

Setelah berargumentasi mengenai "yang ada" sebagai kebenaran, Parmenides juga menyatakan konsekuensi-konsekuensinya:

  • Pertama-tama, "yang ada" adalah satu dan tak terbagi, sedangkan pluralitas tidak mungkin.[2][3] Hal ini dikarenakan tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan "yang ada".[2]
  • Kedua, "yang ada" tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan.[2][3] Dengan kata lain, "yang ada" bersifat kekal dan tak terubahkan.[2] Hal itu merupakan konsekuensi logis, sebab bila "yang ada" dapat berubah, maka "yang ada" dapat menjadi tidak ada atau "yang tidak ada" dapat menjadi ada.[2]
  • Ketiga, harus dikatakan pula bahwa "yang ada" itu sempurna, seperti sebuah bola yang jaraknya dari pusat ke permukaan semuanya sama.[2][3] Menurut Parmenides, "yang ada" itu bulat sehingga mengisi semua tempat.[2]
  • Keempat, karena "yang ada" mengisi semua tempat, maka disimpulkan bahwa tidak ada ruang kosong.[2][3] Jika ada ruang kosong, artinya menerima bahwa di luar "yang ada" masih ada sesuatu yang lain.[2] Konsekuensi lainnya adalah gerak menjadi tidak mungkin sebab bila benda bergerak, sebab bila benda bergerak artinya benda menduduki tempat yang tadinya kosong.[2]

Pengaruh

Pemikiran Parmenides membuka babak baru dalam sejarah filsafat Yunani.[2] Dapat dikatakan bahwa dialah penemu metafisika, cabang filsafat yang menyelidiki "yang ada".[2] Filsafat pada masa selanjutnya akan bergumul dengan masalah-masalah yang dikemukakan Parmenides, yakni bagaimana pemikiran atau rasio dicocokkan dengan data-data inderawi.[2] Plato dan Aristoteles adalah filsuf-filsuf yang memberikan pemecahan untuk masalah-masalah tersebut.[2]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Simon Petrus L. Tjahjadi. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 25-27.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj K. Bertens. 1990. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 46-50.
  3. ^ a b c d e f g (Inggris)Ted Honderich (ed.). 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford, New York: Oxford University Press. P. 645-646.
  4. ^ a b c d e f g (Inggris)Edward Zeller. 1957. Outlines of the History of Greek Philosophy. New York: Meridian Books. P. 65-67.
  5. ^ a b c d e f g h i j (Inggris)Jonathan Barnes. 2001. Early Greek Philosophy. London: Penguin. P. 77-91.

Pranala luar

Lihat pula