Paradiplomasi

Paradiplomasi merupakan singkatan dari paralel diplomasi, dan istilah ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1980 oleh Ivo Duchacek dan Panayotis Soldatos pada suatu debat akademis untuk menanggapi argumen presiden Amerika Serikat kala itu, Richard Nixon soal model federalisme baru. Amerika Serikat pada saat itu sedang merencanakan untuk mengembalikan kendali dari beberapa program federasi kepada negara dan pemerintahan lokal.[1]

Paradiplomasi merupakan keterlibatan dari wilayah atau daerah dari suatu negara dalam hubungan internasional. Pemerintah daerah terlibat dalam suatu kerjasama internasional dengan berbagai cara seperti : menjalankan misi budaya dan melakukan perdagangan terbuka, lalu mengadakan perjanjian serta kesepakatan dengan pemerintahan luar negeri dan aktor non negara, mereka berpartisipasi dalam suatu jaringan internasional dan biasanya mereka melibatkan pemerintah pusat seperti Kementerian Luar Negeri.[2]

Adanya globalisasi menyebabkan praktik paradiplomasi semakin meluas. Peraturan mengenai paradiplomasi sendiri di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.[3]

Bentuk paradiplomasi

Kota kembar/sister city

Skema kerjasama kota kembar tecantum dalam Permenlu No 09/A/KP/XII/2006/01 dan UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Dalam implementasinya, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah ketika melaksanakan kerjasama internasional. Pertama, negara yang diajak kerjasama harus memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Kedua, taat kepada Undang-Undang yang mengatur tentang kerjasama internasional dan wewenang pemerintah daerah. Ketiga, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyetujui kerjasama yang akan dijalin antara dua kota yang berbeda negara. Keempat, stabilitas politik tidak boleh terganggu oleh kerjasama ini. Kelima, urusan dalam negeri masing-masing negara harus seminimal mungkin. Keenam, tidak boleh ada pemaksaan keinginan dan harus menjunjung kesamaan hak. Ketujuh, bentuk kerjasama harus menguntungkan baik bagi pemerintah daerah maupun masyarakat di masing-masing kota beda negara. Kedelapan, kerjasama harus sejalan dengan pembangunan nasional maupun pembangunan daerah serta pemberdayaan masyarakat.[4]

Paradiplomasi bisa dilakukan dalam berbagai bentuk seperti sister city. Contoh Sister City yang ada antara kota DIY Yogyakarta dan kota Tokyo pada tahun 2015-2018, Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah wisatawan masing-masing daerah. Kedua otoritas juga menyepakati pertukaran pengetahuan mengenai strategi manajemen risiko bencana untuk mengembangkan ekowisata (pariwisata yang berwawasan lingkungan) di kedua daerah tersebut.[5]

Referensi

  1. ^ Tavarez, Rodrigo (2016). Paradiplomacy. New York: Oxford University Press. hlm. 7–8. ISBN 9780190462123. 
  2. ^ Kuznetsov, Alexander (2015). Theory and Practice of Paradiplomacy. London and New York: Routledge. hlm. 2–3. ISBN 978-1-315-81708-8. 
  3. ^ Hutapea, Purba (2018). Pengelolaan Sister City/Province dan Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta. Malang: Media Nusa Creative. hlm. 1–2. ISBN 978-602-462-056-1. 
  4. ^ Mansyur, Alia Rizka (Juni 2021). "PARADIPLOMASI MELALUI KERJASAMA SISTERCITY: UPAYA UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INDUSTRI PARIWISATA DI KABUPATEN SUMENEP". Jurnal Public Corner Fisip Universitas Wiraraja. 16 (1): 13.  line feed character di |title= pada posisi 56 (bantuan)
  5. ^ Rachman, Ayu Anastasya (2023-08-18). "Paradiplomasi: bagaimana pemerintah daerah berperan sebagai aktor diplomasi internasional". The Conversation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-04-27.