Ketika Nusantara masih dibawah penjajahan, maka telah dibangun Industri strategis milik Belanda yang bertugas memasok kebutuhan senjata mereka. Beberapa di antaranya adalah NV de Broom (1865), NV de Vulcaan (1913), NV de Industrie (1887), NV Braat (1901), dan NV Molenvliet (1920).
NV Braat (1901) didirikan kota Sukabumi, karena Bogor, Batavia, Sukabumi hingga Priangan sedang tumbuh dan berkembang industri kereta api, pabrik-pabrik, telekomunikasi, penerbangan dan tranportasi untuk fasilitasi ekspor perkebunan yang menjadi primadona dari Hindia Belanda (nama Nusantara selama penjajahan).
Ekspor Perkebunan dari Tanah Sunda berupa teh, kina, kopi, perca, karet menguasai pasar dunia sehingga disebut sebagai Emas hijau.
NV Braat (1901) yang didirikan di Sukabumi pada awal perang kemerdekaan tahun 1945, telah dikuasai oleh para pejuang Sukabumi. Sehingga fungsinya saat itu beralih ke pemasok bidang senjata Komendemen TKR I Jawa Barat dibawah komandan Jendral Mayor Didi Kartasasmita. "Dimana Pabrik Senjata Barata di bawah pimpinan Kapten Saleh Norman meningkatkan produktivitasnya, dengan memperbaiki senjata yang rusak dan membuat granat sebanyak-banyaknya." (Iskandar, 1997: 240).
Senjata-senjata seperti granat, bom atau senapan juga digunakan oleh rakyat Indonesia untuk melawan penjajah. Senjata-senjata tersebut dibuat sendiri oleh pabrik yang berhasil direbut para pejuang kemerdekaan Indonesia. Atau hasil pampasan perang saat menguasai suatu wilayah.
NV Braat yang dalam penguasaan pejuang Sukabumi berganti nama menjadi pabrik senjata Barata. Selain memproduksi granat juga senjata yang diciptakan adalah bom pipa besi yang terbuat dari potongan pipa besi yang digunakan untuk saluran air.
Maka di depan pabrik senjata Barata/NV Braat dibangun tunggu granat.
Setelah Indonesia merdeka, sebagian besar perusahaan tersebut kemudian dinasionalisasi menjadi perusahaan nasional pada masa Kabinet Djuanda, di antaranya PN Boma, PN Bisma, PN Indra, PN Barata, PN Sabang Merauke, dan PN Peprida.
Pada tahun 1960-an, pemerintah menggalakkan pengembangan industri dan manufaktur. Perusahaan-perusahaan nasional tersebut kemudian berkembang menjadi Boma Bisma Indra (1971), Barata Indonesia (1971), Krakatau Steel (1971), Inti (1974), PAL Indonesia (1980), Pindad (1983), LEN Industri (1992), dan Dahana (1973).
Pada tahun 2005, pihak Departemen Pertahanan mulai merancang untuk membangkitkan kembali kinerja industri strategis nasional. Kemudian, disepakati perubahan sebutan dari industri strategis menjadi industri pertahanan.
Langkah tersebut dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan pasokan alat peralatan pertahanan keamanan (alpalhankam) dari luar negeri. Selanjutnya, melalui Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 dikukuhkan sebuah badan yang diberi nama Komite Kebijakan Industri Pertahanan atau KKIP. Upaya membangkitkan kinerja industri pertahanan kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012.