Orakel adalah orang atau benda yang dianggap memberi petunjuk, nasihat, atau prakiraan, khususnya pengetahuan akan masa depan, berkat kuasa dewata. Jika dihasilkan dengan cara-cara okultis, maka orakel menjadi semacam cara meramal.
Penjelasan
Kata orakel berasal dari kata kerja Latinōrāre, artinya "berucap", dan pada hakikatnya mengacu kepada tindakan melisankan ramalan yang dilakukan oleh imam atau imam perempuan. Kata ini mengalami perluasan makna, sehingga digunakan pula sebagai sebutan bagi tempat kedudukan orakel maupun bagi ucapan orakel itu sendiri, yang sebetulnya disebut krēsmoí (χρησμοί) dalam bahasa Yunani.
Orakel dianggap sebagai corong yang dipakai dewa-dewi untuk bersabda secara langsung kepada manusia. Berdasarkan anggapan seperti itu, dapat disimpulkan bahwa orakel tidaklah sama dengan juru tenung (manteis, μάντεις) yang mengartikan pertanda-pertanda dari dewata yang tersirat di dalam tingkah burung-burung, tampilan jeroan binatang, dan sebagainya.[1]
Orakel Sibilina adalah kumpulan ucapan orakel yang ditulis dengan kaidah heksameter Yunani, dan dinisbatkan kepada para Sibila, nabiah-nabiah yang menyuarakan sabda dewata dalam keadaan gelap mata.
Di Tiongkok, tulang orakel digunakan untuk meramal pada penghujung zaman kulawangsa Siang (sekitar tahun 1600–1046 SM). Peramal akan memanaskan sepotong tulang belikat lembu atau cangkang dada penyu sampai muncul retakan, kemudian menafsirkan retakan tersebut.
Pada zaman kulawangsa Tsiu (tahun 1046–256 SM), orang meramal dengan cara lain, yaitu dengan menggunakan batang-batang tumbuhan daun seribu. Sekitar akhir abad ke-9 SM, tata cara ramal-meramal dibukukan dengan judul I Cing (Kitab Perubahan). Di dalamnya dapat dijumpai sekumpulan tanda garis-garis yang digunakan sebagai orakel. Selain berguna di bidang ramal-meramal, I Cing juga sangat memengaruhi filsafat, kesusastraan, dan ketatanegaraan Tiongkok sejak zaman kulawangsa Tsiu.