Ogung

Ogung
Ogung dalam kotak

Ogung adalah penamaan alat musik Gong yang digunakan dan terdapat pada etnis batak. Ogung berbahan dari lempengan besi ataupun kuningan yang berbentuk silindris (bulat) dengan dua ukuran berdasarkan jenis suara yang dihasilkan yakni Ogung boru menghasilkan bunyi rendah dan Ogung Jantan yang menghasilkan bunyi lebih tinggi. Pada etnis karo istilah ini disebut dengan Gung yang menghasilkan suara rendah dan Penganak yang menghasilkan bunyi lebih tinggi.

Gong dalam musik etnis pegungungan di Sumatera Utara adalah salah seperangkat alat musik yang wajib hadir di berberapa jenis ansambel kesenian sub-etnis Batak seperti Gondang Sabangunan dari Toba, Gendang Lima Sedalanen dari Karo, Gordang Sambilan dari Mandailing, Gondang Topap (topak) dari Angkola, Gonrang Sipitu-pitu dari Simalungun, dan Genrang Sisibah dari Pak-pak. Diketahui pula, fungsi ansambel musik tersebut secara umum sebagai media ritual, namun kini kebanyakan hanya berfungsi sebagai penghayatan estetis.

Sejarah

Sampai sekarang asal mula ogung di tanah batak masih menjadi misteri. Banyak cerita yang melatarbelakangi asal usul ogung. Ada yang berpendapat bahwa ogung adalah buatan masyarakat batak itu sendiri, sebab ogung merupakan salah satu bagian dari Gondang Sabangunan, alat musik tradisional Batak yang diyakini semuanya dibuat oleh nenek moyang orang batak dan hanya dipakai oleh orang batak. Namun ada pendapat lain bahwa ogung bukanlah produk asli orang batak, tetapi berasal dari luar Sumatera Utara. Ada yang mengatakan bahwa ogung berasal dari Pulau Jawa, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa ogung berasal dari India.[1]

Selain itu, dugaan penggunaan alat musik Gong ini dipengaruhi penyebaran kepercayaan hindu-budha.

Macam-macam

Seiring dengan banyaknya sub-etnis dalam suku batak itu sendiri (terdiri dari Toba, Karo, Mandailing, Angkola-Sipirok, Simalungun dan Pakpak), setiap sub-etnis memiliki perangkat ogungnya sendiri.[2] Penamaan ogung yang berbeda disebabkan perbedaan latar budaya. Berikut adalah macam-macam ogung dari setiap subetnis:

Sub-etnis Toba

  1. Ogung Panggora: Panggora memiliki arti “yang berseru, memberi efek kejut”. Disebut demikian karena bunyinya yang menggelegar dan keras dibandingkan ogung-ogung lainnya.
  2. Ogung Ihutan:Dinamai Ogung Ihutan karena tugasnya mengikuti bunyi ogung oloan. Ikutan berarti “yang mengikuti”. Nama lain ogung ini adalah pangalusi berarti “jawaban”. Ogung ini memiliki nada yang lebih tinggi dibandingkan Ogung Oloan.
  3. Ogung Doal: Ogung ini berfungsi menambah variasi bunyi ogung saja, dengan menambah ritme tambahan, terdiri atas beberapa jenis, antara lain:
    1. Ogung Doal Oloan: Ogung yang memiliki nada rendah. Ogung ini menghasilkan bunyi yang beritme konstan supaya diikuti bunyi ogung lainnya. Hal ini yang menyebabkan ogung ini dinamai oloan yang berarti “diikuti” Disebut-sebut sebagai kepala pemimpin semua ogung.
  4. Ogung Jeret

Sub-etnis Karo

  • Ogung Gung

Jenis ogung ukuran besar.

  • Ogung Panganak (anak ogung)

Jenis ogung yang lebih kecil dari Gung.

Sub-etnis Mandailing dan Angkola-Keprok

Kedua sub-etnis ini memiliki penamaan ogung yang sama, yaitu:

  • Ogung Jantan (laki-laki) dan Ogung Dadaboru (perempuan)

Kedua ogung ini adalah yang terbesar dari ogung lain

  • Ogung Pamulosi, Panongahi, dan Pandoali

Ketiganya merupakan ogung yang lebih kecil dari Ogung Jantan dan Dadaboru. Sering disebut sebagai Ogung Mong-mongan

Sub-etnis Simalungun

  • Ogung Sibanggalan (besar) dan Ogung Sietekan (lebih kecil)

Keduanya merupakan ogung besar, hanya saja punya ukuran berbeda.

  • Ogung Mong-mongan

Terdiri dari dua buah ogung kecil.

Sub-etnis Pakpak

Terdiri dari tiga ogung yaitu Takudep, Poi, dan Pongpong.

Kualitas

Kualitas ogung milik orang Batak sebenarnya sama saja dengan gong lainnya di pelosok daerah di Indonesia, yaitu terbuat dari logam, berdiameter 16–65 cm, memiliki ketebalan kisaran 2,5–10 cm, dan memiliki pencu (bagian tengah ogung yang menonjol keluar). Akan tetapi, walaupun dewasa ini banyak bermunculan pengrajin ogung di tanah batak, beberapa pemusik batak lebih menyukai gong yang berasal dari Pulau Jawa, karena bunyinya yang lebih enak didengar.

Kepemilikan

Setiap sub-etnis dalam masyarakat Batak punya karakteristik kepemilikan ogung. Pada orang Karo, ogung wajib hukumnya dimiliki setiap desa sehingga semua warga di desa tertentu bersama-sama memiliki dan merawat ogung itu. Berbeda dengan orang Karo, orang Pakpak menganggap ogung adalah benda mewah dan berharga. Jika sebuah keluarga memiliki ogung, hal ini pertanda bahwa keluarga ini orang terpandang. Itulah sebabnya ogung bagi orang Pakpak identik dengan “raja” dan “harta” sebab yang memiliki ogung biasanya keluarga kerajaan atau orang kaya.[3]

Fungsi

Seperti telah disebutkan di atas, ogung berfungsi sebagai alat musik tradisional. Namun di lain sisi, ogung memiliki fungsi lain yang dikhususkan dalam masyarakat batak. Pada zaman dahulu kala di mana belum ada alat komunikasi canggih seperti sekarang ini, ogung digunakan sebagai alat komunikasi dengan masyarakat setempat bila terjadi hal-hal tertentu yang urgent, seperti misalnya ada kebakaran, ada pencuri, ada penyusup yang dicurigai, dll. Terutama bila memanggil orang untuk mengadakan pertemuan tertentu oleh masyarakat itu. Demikianlah fungsi ogung sebagai alat komunikasi dalam masyarakat batak, di mana yang dipergunakan hanya satu tipe, bukan secara keseluruhan seperti di Gondang Sabangunan.

Penggunaan zaman sekarang

Seiring dengan perkembangan zaman, popularitas ogung sebagai alat komunikasi dalam masyarakat batak mulai menurun. Hal ini disebabkan banyaknya inovasi alat komunikasi baru semacam telepon, handphone, bahkan social networking yang diminati banyak masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat batak di Sumatera Utara. Oleh karena itu ogung hanya digunakan untuk event-event tertentu misalnya pengesahan gedung,dll. Bukan hanya itu saja popularitas ogung juga lebih dikenal sebagai bagian dari alat musik tradisional Batak, Gondang Sabangunan yang sering mengiringi acara-acara khas Batak, contohnya acara reuni tahunan marga tertentu atau perkawinan adat.

Referensi

  • Bungaran Antonius Simanjuntak. 2006. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945: Suatu Pendekatan Antropologi dan Budaya Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Pranala luar