Berbeda dengan anggota Gnetum lainnya yang biasanya merupakan liana, melinjo berbentuk pohon dan memiliki batang yang lurus.[2]
Deskripsi botani
Melinjo merupakan tumbuhan tahunan berbiji terbuka, berbentuk pohon yang berumah dua (dioecious, ada individu jantan dan betina).[2] Bijinya tidak terbungkus daging tetapi terbungkus kulit luar.[2] Batangnya kokoh dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan.[2] Daunnya tunggal berbentuk oval dengan ujung tumpul.[2] Melinjo tidak menghasilkan bunga dan buah sejati karena bukan termasuk tumbuhan berbunga.[2] Yang dianggap sebagai buah sebenarnya adalah biji yang terbungkus oleh selapis aril yang berdaging.[2]
Tanaman melinjo dapat tumbuh mencapai 100 tahun lebih dan setiap panen raya mampu menghasilkan melinjo sebanyak 80–100 kg, bila tidak dipangkas bisa mencapai ketinggian 25 m dari permukaan tanah.[5]
Tanaman melinjo dapat diperbanyak dengan cara generatif (biji) atau vegetatif (cangkokan, okulasi, penyambungan, dan stek).[5]
Tempat Hidup
Tanaman melinjo dapat tumbuh pada tanah-tanah liat/lempung, berpasir, dan berkapur, tetapi tidak tahan terhadap tanah yang tergenang air atau yang berkadar asam tinggi dan dapat tumbuh dari ketinggian 0–1.200 mdpl.[5] Lahan yang akan ditanami melinjo harus terbuka atau terkena sinar matahari, lubang tanam berukuran 60 × 60 × 75 cm, dengan jarak tanam 6–8 m.[5]
Melinjo dapat ditemukan di daerah yang kering sampai tropis.[2] Untuk tumbuh dan berkembang, melinjo tidak memerlukan tanah yang bernutrisi tinggi atau iklim khusus.[2] Melinjo dapat beradaptasi dengan rentang suhu yang luas.[2] Hal inilah yang menyebabkan melinjo sangat mudah untuk ditemukan di berbagai daerah kecuali daerah pantai karena tumbuhan ini tidak dapat tumbuh di daerah yang memiliki kadar garam yang tinggi.[2]
Di Indonesia tumbuhan melinjo tidak hanya dapat dijumpai di hutan dan perkebunan saja.[5] Di beberapa daerah tumbuhan melinjo ditumbuhkan di pekarangan rumah atau kebun rumah dan dimanfaatkan oleh penduduk secara langsung.[5]
Pemanfaatan
Melinjo jarang dibudidayakan secara intensif.[2] Kayunya dapat dipakai sebagai bahan papan dan alat rumah tangga sederhana.[2] Daun mudanya (disebut sebagai so dalam bahasa Jawa) digunakan sebagai bahan sayuran (misalnya pada sayur asam).[2] Bunga (jantan maupun betina) dan bijinya yang masih kecil-kecil (pentil) maupun yang sudah masak dijadikan juga sebagai sayuran.[2] Biji melinjo juga menjadi bahan baku emping.[2] Kulitnya bisa dijadikan abon kulit melinjo.[2]
Kandungan Nutrisi
Penelitian yang sudah dilakukan pada melinjo menunjukkan bahwa melinjo menghasilkan senyawa antioksidan.[6] Aktivitas antioksidan ini diperoleh dari konsentrasi protein tinggi, 9–10% dalam tiap biji melinjo.[6] Protein utamanya berukuran 30 kilo Dalton yang amat efektif untuk menghabisi radikal bebas yang menjadi penyebab berbagai macam penyakit.[6]
Di Jepang dilakukan penelitian dan dilaporkan bahwa melinjo termasuk tumbuhan purba yang secara evolusi dekat dengan tanaman Ginkgo biloba yang ada di Jepang.[6]
Ginkgo adalah spesies pohon hidup tertua, yang telah tumbuh selama 150–200 juta tahun dan dipercaya sebagai tonik otak karena memperkuat daya ingat.[6] Daun ginkgo juga punya khasiat antioksidan kuat dan berperan penting dalam oksidasi radikal bebas penyebab penuaan dini dan pikun.[6]
Sampai saat ini, doktor biokimia dari Osaka Prefecture University, Jepang telah mengisolasi dua jenis protein yang menunjukkan aktivitas antioksidan tinggi.[6] Dari seluruh bagian tumbuhan melinjo yang pernah diekstraknya, mulai dari daun, kulit batang, akar, sampai biji, ditemukan protein paling potensial adalah dari biji.[6] Riset menunjukkan aktivitas antioksidan dari kandungan fenolik ini setara dengan antioksidan sintetik BHT (Butylated Hydroxytolune).[6]
Selain itu melinjo juga merupakan antimikroba alami.[7] Itu artinya protein melinjo juga bisa dipakai sebagai pengawet alami makanan sekaligus obat baru untuk penyakit yang disebabkan oleh bakteri.[7] Peptida yang diisolasi dari biji melinjo diindikasikan punya potensi aktif menghambat beberapa jenis bakteri gram positif dan negatif.[7]
Asam urat
Banyak mitos yang mengatakan bahwa melinjo dapat menyebabkan kenaikan asam urat (Hiperurisemia) yang signifikan.[6] Hal ini benar karena melinjo mengandung purin.[7] Peningkatan asam urat terjadi karena gangguan metabolisme purin dan asupan purin tinggi dari makanan secara berlebihan.[6]
Hiperurisemia terjadi karena gangguan pengeluaran asam urat oleh ginjal.[6] Hiperurisemia dapat disebabkan oleh faktor genetik dan dapat diturunkan.[6] Konsumsi makanan dengan purin tinggi, konsumsi gula, dan lemak berlebihan dapat meningkatkan kadar asam urat.[6] Kegemukan, pengguna obat diuretik, diet penurunan berat badan, juga sering menyebabkan hiperurisemia.[6] Namun, apabila tidak dikonsumsi secara berlebihan dan cara pengolahannya benar tidak akan menyebabkan asam urat.[6]
Konsumsi berlebihan dan minyak goreng yang digunakan untuk menggoreng emping hasil olahan melinjo tersebut yang menyebabkan kadar asam uratnya meningkat.[6] Jadi, bukan melinjo itu sendiri yang menyebabkan asam urat, karena apabila disiapkan dalam bentuk makanan lain tanpa minyak dan tidak dikonsumsi secara berlebihan tidak akan menyebabkan peningkatan asam urat.[6]
Komoditas Ekspor Indonesia
Indonesia adalah negara yang menjadikan biji melinjo sebagai komoditas ekspor dalam jumlah yang cukup besar.[8] Melinjo akan dipanen dan menghasilkan buah setelah 5–6 tahun setelah penanaman biji.[8] Di daerah Sumatera Barat setiap tahunnya dilaporkan menghasilkan 20.000–25.000 buah melinjo dan produksi bijinya mencapai 80– 100 kg per pohon per tahun.[8]
Referensi
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Gnetum gnemon.
^Degei, Benyamin; Kameubun, Konstantina; Antoh, Alfed A. (2023). "PEMANFAATAN TUMBUHAN UNTUK PAKAIAN TRADISIONAL SUKU MEE DI KAMPUNG WIYOGEI DISTRIK KAMUU UTARA KABUPATEN DOGIYAI PAPUA". Nova Guinea. Universitas Cendrawasih. 14 (1): 178–189.