Mazhab Ẓahiri (bahasa Arab: الظاهري) adalah salah satu mazhab fikih dan akidah dalam lingkup ahlus sunnah yang mencapai masa jayanya semenjak abad ke-3 hingga ke-8 H. Pengikut mazhab ini mengimani secara harfiah ayat-ayat Al-Quran dan Hadits sebagai satu-satunya sumber hukum Islam. Keyakinan mazhab ini menolak adanya permisalan (kias) dan pemikiran pribadi (Ra'y) sebagai bagian dari sumber hukum fikih. Selain itu juga tidak menganggap fungsi konsesus (Ijmak). Dalam bidang akidah, keyakinan mazhab ini hanya menyifati Allah menurut dengan apa yang ada dan tertulis jelas dalam Al-Qur-an saja dan menolak dengan keras praktik antropomorfisme (Penyerupaan/tasybih). Praktik pendekatan tradisi Islam ini diperkirakan dimulai di Irak pada abad ke-9 M (ke-3 H) oleh Dawud bin Khalaf (w. 883 M), meskipun karya-karya miliknya tak dapat dijumpai lagi. Mazhab ini menyebar dari Irak ke Persia, Afrika bagian utara, juga ke Andalusia di mana seorang imam terkenal yang bernama Ibnu Hazm menjadi ulama-besarnya di sana, mayoritas prinsip-prinsip mazhab Zhahiri di masa awal berasal darinya. Meskipun mendapat kritik keras oleh banyak ulama akidah dari mazhab-mazhab lainnya (atas keyakinan literalisnya), mazhab Zhahiri murni tetap dapat bertahan selama lebih dari 500 tahun dalam berbagai keadaanya dan diyakini pada masa-masa akhirnya melebur kepada mazhab Hambali.[1]
Meskipun Dawud Al-Zhahiri banyak dianggap sebagai penggagas mazhab ini, tetapi para pengikut mazhab ini lebih banyak mengikuti pendapat tokoh-tokoh ulama salaf sebelumnya seperti Sufyan al-Tsauri dan Ishaq bin Rahawaih sebagai pendahulu (salaf) peletak prinsip-prinsip mazhab Zhahiri. Prof. Abdul Aziz al-Harbi dari Universitas Ummul Qura menyatakan bahwa generasi pertama umat Islam telah mengikuti metode mazhab ini oleh karena itu mazhab ini dapat juga disebut sebagai mazhab dari generasi awal umat Islam.[2]
Sejarah
Pada masa terbaiknya pengikut mazhab ini terdiri dari mayoritas muslim yang tinggal di kawasan Mesopotamia, Iran bagian selatan, Semenanjung Iberia, Kepulauan Balears dan Afrika bagian Utara. Mazhab ini awalnya memiliki pengaruh pada lembaga peradilan di Irak. Para ulama dari mazhab Zhahiri ditunjuk menjadi hakim kota oleh pemerintahan Baghdad, Syiraz, Isfahan, Firuzabad, Ramlah, Damaskus, Sindh dan Fustat.[3][4] Di wilayah timur yang dikuasai dinasti Abbasiyah, Mazhab Zhahiri harus bersaing dengan mazhab yang lain, tetapi karena kurang memiliki kedekatan secara personal dan politik dengan pemerintahan mengakibatkan Mazhab Zhahiri kurang populer. Pada masa itu empat mazhab fikih yang besar adalah Hanafi, Maliki, Zhahiri, dan Syafi'i, sedangkan mazhab Hambali belum dianggap sebagai mazhab fikih tersendiri.[5]
Dengan berbagai sebab seperti politik, dukungan resmi pemerintah atas mazhab lain, mazhab Zhahiri perlahan kehilangan dominasinya di seluruh kawasan Irak dan Persia. Mazhab Zhahiri masih berpengaruh di Syam hingga tahun 788 M, juga memegang pengaruh yang kuat di Mesir untuk waktu yang lebih lama, tetapi pada perkembangannya mereka kehilangan sebagian besar pendukung di timur secara keseluruhan. Meskipun ajaran Zhahiri terus bertahan terutama dikalangan ulama dan ahli hadis, masyarakat mulai jarang mengikut mazhab ini sehingga banyak ahli sejarah mulai menyatakannya telah punah. Saat ini, mazhab ini masih diikuti oleh komunitas-komunitas kecil di Maroko dan Pakistan. Banyak ahli hadis di era belakangan yang memiliki kecenderungan untuk mengikuti sebagian metode yang digunakan mazhab Zhahiri yakni tidak secara keseluruhan dan ketat.
Kedudukan mazhab Zhahiri di dalam Sunni
Seringkali mazhab Zhahiri mendapat kritik dari mazhab-mazhab yang lain dalam pengambilan hukum yang mengharuskan mengambil makna literal dari setiap nash yang ada. Kritik keras kebanyakan datang dari ulama mazhab Maliki dan Syafi'i. Imam Abu Bakr Ibnul Arabi, yang ayahnya adalah seorang pengikut mazhab Zahiri menganggap beberapa kaidah hukum mazhab Zhahiri sebagai hal yang tidak dapat diterima. Imam Ibnu Abdil Barr yang awalnya adalah seorang pengikut mazhab Zahiri bahkan tidak memasukkan Dawud az-Zahiri dalam daftarnya mengenai para ahli fikih Sunni terbesar. Imam Nawawi dikatakan menyalahkan metode mereka secara keseluruhan. Imam Adz-Dzahabi dan Ibnu ash-Shalah meski tidak setuju dengan metode Zhahiri namun mereka tetap membela legitimasi Zhahiri sebagai mazhab yang memiliki landasan ilmiah dalam menetapkan hukum sebagaimana mazhab-mazhab yang lain. Dari kalangan ulama mazhab Hanbali, Ibnul Qayyim meski juga memiliki kritik terhadap mazhab Zhahiri, ia tetap membela legitimasi mazhab tersebut, dengan menyatakan sebuah retorika bahwa satu-satunya "dosa" mereka adalah "Mengikuti kitab Tuhan mereka dan meneladani Nabinya". Hubungan yang paling pelik adalah antara Zahiri dengan Sufi (Tasawuf), sepanjang sejarahnya, pengikut Zhahiri terus mengkritik dengan keras terhadap ajaran Tasawuf maupun para penganutnya.
Ulama penganut mazhab Zahiri
Beberapa ulama dan tokoh yang menganut mazhab Zhahiri secara penuh maupun parsial.
Rujukan
- ^ http://www.britannica.com/topic/Zahiriyah
- ^ Falih al-Dhibyani, Al-zahiriyya hiya al-madhhab al-awwal, wa al-mutakallimun 'anha yahrifun bima la ya'rifun Diarsipkan 2013-07-03 di Wayback Machine.. Interview with Okaz. 15 July 2006, Iss. #1824. Photography by Salih Ba Habri.
- ^ Camilla Adang, This Day I have Perfected Your Religion For You: A Zahiri Conception of Religious Authority, pg. 16. Taken from Speaking for Islam: Religious Authorities in Muslim Societies. Ed. Gudrun Krämer and Sabine Schmidtke. Leiden: Brill Publishers, 2006.
- ^ Christopher Melchert, The Formation of the Sunni Schools of Law: 9th-10th Centuries C.E., pg. 190. Leiden: Brill Publishers, 1997.
- ^ Mohammad Sharif Khan and Mohammad Anwar Saleem, Muslim Philosophy And Philosophers, pg. 34. New Delhi: Ashish Publishing House, 1994.