Luang Prabang atau Louangphabang (bahasa Lao: ຫລວງພະບາງ / ຫຼວງພະບາງ, secara harfiah: dalam menghilangkan Ketakutan Mudra)," adalah sebuah kota di utara-tengah Laos, yang terdiri dari 58 desa yang berdekatan, yang 33 di antaranya merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO. Kota ini memiliki warisan arsitektur, agama, dan budaya yang unik dan "luar biasa" yang terpelihara dengan baik, perpaduan dari perkembangan pedesaan dan perkotaan selama beberapa abad, termasuk pengaruh kolonial Prancis selama abad ke-19 dan ke-20.[4]
Pusat kota Luang Prabang terdiri dari empat jalan utama, dan terletak di semenanjung di pertemuan Sungai Nam Khan dan Sungai Mekong. Luang Prabang terkenal dengan banyak kuil dan biara Buddha.
Dahulu kota ini adalah sebuah ibu kota kerajaan dengan nama yang sama. Sampai pengambilalihan oleh pemerintahan komunis Laos pada tahun 1975, Luang Prabang adalah ibu kota kerajaan dan pusat pemerintahan dari Kerajaan Laos. Kota ini juga terkenal sebagai Situs Warisan DuniaUNESCO.
Pada abad ke-6 di Lembah Sungai Chao Phraya, suku Mon telah mendirikan kerajaan Dwarawati. Di utara, Hariphunchai (Lamphun) muncul sebagai pesaing Dwarawati. Pada abad ke-8 suku Mon bergerak maju ke utara untuk mendirikan negara-kota, di Fa Daet (sekarang Kalasin, Thailand), Sri Gotapura (Sikhottabong) dekat Thakhek, Laos, Muang Sua (Luang Prabang), dan Chantaburi (Vientiane). Pada abad ke-8 M, Sri Gotapura (Sikhottabong) merupakan negara-kota awal yang terkuat, dan mengendalikan perdagangan di seluruh wilayah Mekong bagian tengah.
Periode Lan Xang
Xieng Dong Xieng Thong mengalami periode singkat kekuasaan Khmer di bawah Jayawarman VII dari tahun 1185 hingga 1191. Xieng Dong Xieng Thong pada tahun 1353 menjadi ibu kota kerajaan Lan Xang. Pada tahun 1359, raja Khmer dari Angkor memberikan Phra Bang kepada menantu laki-lakinya, raja Lang Xang pertama Fa Ngum (1353–1373); untuk memberikan legitimasi Buddha baik untuk pemerintahan Fa Ngum dan perluasan kedaulatan Laos dan digunakan untuk menyebarkan agama Buddha Theravada di kerajaan baru tersebut. Nama ibu kota diubah menjadi Luangphabang.[5] Luang Prabang sempat diduduki oleh pasukan Vietnam selama ekspedisi Kaisar Lê Thánh Tông tahun 1478–1480 melawan Lan Xang dan Lanna.[6] Ibu kota dipindahkan pada tahun 1560 oleh Raja Setthathirath I ke Vientiane, yang menjadi ibu kota Laos hingga saat ini.
Pada tahun 1707, ketika Lan Xang runtuh, Luang Prabang menjadi ibu kota Kerajaan Luang Phrabang yang merdeka. Ketika Prancis mencaplok Laos, Prancis mengakui Luang Prabang sebagai kediaman kerajaan Laos. Sehingga penguasa Luang Prabang identik sebagai pemimpin negara Laos. Ketika Laos memperoleh kemerdekaan, raja Luang Prabang, Sisavang Vong, menjadi kepala negara Kerajaan Laos.[7]
Perang Dunia II
Kota ini diduduki oleh beberapa negara asing selama Perang Dunia II (Prancis Vichy, Thailand, Kekaisaran Jepang, Prancis Merdeka, dan Republik Tiongkok). Awalnya Prancis Vichy menguasai kota tersebut tetapi kehilangannya ke pasukan Thailand setelah Perang Prancis-Thailand tahun 1940–1941. Pada tanggal 9 Maret 1945, sebuah kelompok nasionalis mendeklarasikan kemerdekaan Laos dengan Luang Prabang sebagai ibu kotanya, tetapi jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 7 April 1945.[8] Jepang memaksa Raja Sisavang Vong untuk mendeklarasikan kemerdekaan Laos, tetapi pada tanggal 8 April ia malah hanya mendeklarasikan berakhirnya status Laos sebagai protektorat Prancis. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, pasukan Prancis Merdeka dikirim untuk menduduki kembali Laos dan memasuki Luang Prabang pada tanggal 25 Agustus, saat itu Raja meyakinkan Prancis bahwa Laos tetap menjadi protektorat kolonial Prancis.[8] Pada bulan September pasukan Tiongkok tiba untuk menerima penyerahan sisa pasukan Jepang, tetapi juga dengan cepat mulai membeli tanaman opium Laos.[8]
Perang Saudara Laos dan masa kini
Pada bulan April dan Mei 1946, Prancis berupaya merebut kembali Laos dengan menggunakan pasukan terjun payung untuk merebut kembali Vientiane dan Luang Prabang. Selama Perang Indochina Pertama, pasukan Viet Minh dan Pathet Lao berupaya merebut kota ini beberapa kali, tetapi dihentikan pasukan Prancis sebelum mereka dapat merebutnya.[9] Selama Perang Saudara Laos, sebuah pangkalan udara rahasia Amerika terletak di Luang Prabang dan menjadi tempat pertempuran. Luang Prabang tetap menjadi ibu kota kerajaan hingga tahun 1975, ketika pasukan komunis Pathet Lao merebut kekuasaan dengan dukungan Vietnam Utara dan membubarkan monarki.
Luang Prabang didaftarkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1995 untuk pengakuan warisan arsitektur, agama, dan budayanya yang terpelihara dengan baik.
Kebudayaan
Pariwisata
Luang Prabang memiliki situs alam dan sejarah. Di antara situs wisata alam tersebut adalah Air Terjun Kuang Si, Air Terjun Tat Sae, dan Gua Pak Ou. Di beberapa situs, Anda dapat menunggangi gajah. Bukit Phou Si di pusat kota memberikan pemandangan kota dan sungai yang luas, dan merupakan tempat yang populer untuk menyaksikan matahari terbenam di atas Sungai Mekong. Di ujung jalan utama Luang Prabang terdapat pasar malam tempat kios-kios menjual kemeja, gelang, dan suvenir lainnya. Museum Istana Kerajaan Haw Kham dan kuil Wat Xieng Thong termasuk di antara situs sejarah terkenal. Jalan utama di kota ini dipenuhi dengan banyak kuil yang lebih kecil seperti Wat Hosian Voravihane. Setiap pagi saat matahari terbit, para biksu berjalan di jalanan sambil menerima sedekah dari para penduduk setempat, sebuah prosesi yang populer di kalangan wisatawan. Bersepeda gunung cukup umum, dengan orang-orang sering bersepeda di sekitar kota atau ke air terjun untuk menghabiskan hari. Di sepanjang Sungai Mekong, 15 menit naik perahu dari pusat kota, Ban Chan (desa tembikar)[10] adalah tempat terkenal lainnya. Luang Prabang menerima penghargaan "Kota Terbaik" dalam Wanderlust Travel Awards 2015.
Luang Prabang memiliki sejarah seni dan kuliner yang kaya dan para juru masak kota ini dipekerjakan oleh raja. Hidangan lokal yang khas meliputi: Or lam (O-lam, hidangan favorit penduduk Luang Prabang), sosis Luang Prabang, mokpa (ikan kukus), dan Kaipen yang terbuat dari lumut daun Sungai Mekong (disajikan secara digoreng) dengan sambal Jeow Bong Luang Prabang yang terkenal.[11]
Boun Pimay
Berdasarkan bulan lunar ke-5 dari kalender Budha, tepatnya pada bulan April. Ada perayaan tahun baru, dimana ada festival air yang berlangsung selama tiga hari, yaitu hari terakhir tahun ini, hari netral, dan hari pertama tahun berikutnya. Banyak bunga yang telah bermekaran pada periode ini, terutama bunga anggrek lao kecil, yang biasanya berbungga hanya satu minggu sekali, yaitu selama Pimay. Banyak masyarakat setempat yang menunggu akan datangnya perayaan ini. Selama tiga hari ini, semua orang saling melempar air satu sama lain. Selain itu, para wanita yang berhak menuangkan air pada pria, yang dulunya merupakan tradisi dan simbol telah menjadi sebuah festival atau perayaan besar. Pada pagi hari pertama, para pedagang-pedagang kecil di wilayah itu dikumpulkan untuk sementara dalam suatu pasar besar untuk memeriahkan suasana festival. Kemudian semua penduduk Luang Prabang berada di sana untuk ikut memeriahkan festival. Pimay merupakan kesempatan untuk pergi ke sebuah pulau yang terbentuk akibat sungai Mekong yang sangat rendah pada tahun tersebut. Pada waktu festival, para penduduk setempat menikmati mandi, bermain di sungai Mekong. Mereka mandi di sana dengan harapan supaya kesalahan yang telah mereka perbuat di masa lalu akan hilang, dan mendapatkan keberuntungan serta perlingungan pada tahun yang akan datang.[12]
Phra Bang
Phra Bang atau Phrabang secara harfiah berarti "Budha Halus". Phra Bang merupakan lambang nasional mistis negara Laos. Phra Bang yaitu patung dengan ukuran tinggi 83 cm yang dilapisi atau ditutupi oleh daun emas. Menurut legenda yang ada patung ini dibuat di Sri Lanka (Ceylon) pada abad ke-1 dan ke-9. Patung itu sudah lama dimiliki oleh kerajaan Angkor sebelum diberikan kepada Pangeran Fa Ngum. Kemudian berada di Luang Prabang pada 1359, setelah adanya Kerajaan dan Sejuta Gajah dan Parasal Putih. Phra Bang sendiri dianggap sebagai simbol hak untuk memerintah Laos. Hanya pemerintah yang murni dan sejati yang dapat menjaga citra suci ini. Awal mulanya ketika pada tahun 1778, orang Siam atau orang Thailand saat ini menyerbu Luang Prabang untuk mengambil patung Phra Bang dan bertujuan membawanya ke Bangkok. Lalu pada tahun 1782, patung tersebut berhasil dibawa kembali ke asalnya, yaitu Luang Prabang. Kejadian tersebut terjadi setelah serangkaian malang yang disebabkan oleh tidak adanya paladium mereka.[13] Pada tahun 1828 orang Siam mencoba kembali untuk merebut dan membawa patung itu ke Bangkok. Akan tetapi, setelah adanya pergantian pemerintahan, patung suci itu dikembalikan lagi ke Luang Prabang. Akhirnya pada tahun 2006, Phra Bang berada di salah satu kamar yang ada di istana (kamar tersebut berfungsi sebagai museum) sebelum di kemudian hari dibawa ke paviliun yang saat itu masih dibangun.[12][14]
Perayaan desa
Perayaan desa diadakan setiap tahun tepatnya pada bulan Juni. Pada tanggal yang berbeda untuk setiap desa yang ada di Luang Prabang melaksanakan perayaan desa, perayaan dilakukan dengan setiap penduduk berkumpul bersama-sama.Selain itu, tradisi menyerukan bonzez, memegang benang putih di sekitar desa sambil mengucapkan mantra untuk meminta keberuntungan.[12]
Pendidikan
Terdapat sekolah internasional Prancis di kota tersebut, École francophone de Luang Prabang.[15]
Luang Prabang dilayani oleh Rute 13, yang terhubung ke Vang Vieng dan Vientiane di selatan, dan ke Boten di utara. Jalannya beraspal, meskipun permukaannya dalam kondisi buruk di beberapa tempat. Sejak 2014, jalan baru menghubungkan Kasi (dekat dengan Vang Vieng) ke Luang Prabang, yang memungkinkan perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam (dibandingkan dengan 5 jam melalui Rute 13). Beberapa bus harian beroperasi dari Vientiane ke Luang Prabang, yang memakan waktu 11–13 jam.[18]
Jalan dari Huay Xai ke Luang Prabang tidak terawat dengan baik, terpencil, tidak terang, tidak bertanda, dan berbahaya bagi yang tidak terbiasa, terutama di musim hujan. Bus secara teratur menempuh rute tersebut selama 14–16 jam.[18]
Jika datang dari Vietnam, bus malam dapat dinaiki dari Hanoi ke Luang Prabang atau Vang Vieng.
Rel
Mulai Desember 2021, Luang Prabang dilayani oleh jalur kereta kecepatan tinggi Vientiane–Boten. Jalur kereta api ini sejajar dengan Rute 13, dan berfungsi sebagai jalur kereta api utara-selatan utama pertama Laos, dari Boten di perbatasan Tiongkok di utara hingga Vientiane di selatan. Seluruh perjalanan memakan waktu kurang dari 3 jam dengan kereta api, bukan tiga hari melalui jalan darat.[19][20]
Air
Sungai Mekong sendiri juga merupakan jalur transportasi penting. Di Chiang Khong, Anda dapat menyewa tongkang untuk menyeberangi sungai. Perjalanan dari Huay Xai, di seberang Thailand, ke hilir menuju Luang Prabang memakan waktu dua hari dengan perahu lambat, biasanya dengan pemberhentian di Pakbeng.
^Centre, UNESCO World Heritage. "Town of Luang Prabang". UNESCO World Heritage Centre (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-08-23.
^Coedès, George; Walter, F. Vella; ed. (1968). The Indianized States of Southeast Asia. Diterjemahkan oleh Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. ISBN978-0-8248-0368-1.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: authors list (link)
^Manlch, M.L. (1967) History of Laos, pages 126–129.
^Burke, Andrew; Vaisutis, Justine (2007). Laos. Lonely Planet. hlm. 156. ISBN978-1-74104-568-0.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)