Letusan Gunung Lewotobi November 2024 terjadi pada 3 November 2024 di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Setidaknya 10 orang yang berada di sekitar gunung ditemukan tewas, 63 luka-luka, dan puluhan rumah terbakar.[1][2] Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, lebih dari 2.700 keluarga atau 12.200 orang mengungsi dan terkena dampaknya.[3] Letusan ini merupakan peristiwa vulkanik terdahsyat yang pernah terjadi di Indonesia sejak Letusan Gunung Semeru 2021.[4]
Latar belakang
Indonesia terletak di kawasan Cincin Api Pasifik (ring of fire) dan memiliki sebanyak 130 gunung berapi aktif. Pulau Flores memiliki 40 gunung berapi, dan 13 di antaranya masih aktif.[5]Gunung Lewotobi adalah sebuah kompleks gunung berapi dengan dua puncak yang hampir sama tinggi yang terletak di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Puncak tertinggi Lewotobi dinamakan Gunung Lewotobi Perempuan (1.703 meter di atas permukaan laut) dan puncak yang sedikit lebih rendah tetapi lebih aktif dinamakan Gunung Lewotobi Laki-Laki (1.584 mdpl).
Peristiwa sebelumnya
Tercatat sudah ada 23 peristiwa erupsi Gunung Lewotobi sepanjang sejarah. Peristiwa pertama terjadi pada sekitar tahun 1675. Sementara letusan pertama yang secara jelas tercatat terjadi pada 4-18 Mei 1861. Gunung Lewotobi mengalami sekitar 20 kali erupsi pada abad ke-19 dan ke-20. Gunung Lewotobi Laki-Laki paling banyak mengalami erupsi, sementara erupsi pertama Gunung Lewotobi Perempuan tercatat pada tahun 1921.[6]
Gunung Lewotobi Laki-Laki sudah naik status memasuki aras bahaya IV atau Awas sejak tanggal 9 Januari 2024 pada pukul 23.00 WITA, hasil dari pengamatan selama beberapa hari yang menunjukkan adanya peningkatan intensitas erupsi.[7] Sepanjang Januari hingga 6 November 2024, tercatat aktivitas vulkanik Gunung Lewotobi Laki-Laki mencapai 872 kali atau sekitar 6 kali sehari. Sebanyak 6.500 orang dievakuasi pada Januari.[8]
Aktivitas Gunung Lewotobi terpantau meningkat pada periode 30 Oktober hingga 5 November 2024. Pada hari minggu tanggal 3 November 2024 jam 23.50 WITA (UTC+8) terdengar dentuman keras dan kuat yang terdengar dari puncak Gunung Lewotobi Laki-Laki.[9]
Sebelum terjadinya letusan besar pada tanggal 3-4 November, delapan ledakan yang tercatat pada tanggal 30-31 Oktober menghasilkan gumpalan abu yang mencapai sekitar 1 km di atas puncak. Pada tanggal 1 November, PVMBG melaporkan peningkatan signifikan jumlah gempa vulkanik dalam, dan delapan ledakan lainnya menghasilkan gumpalan abu yang mencapai sekitar 2 km di atas puncak. Aktivitas ledakan terus meningkat, dengan ledakan Strombolian pada pukul 02:50 dan 04:20 menghasilkan kolom letusan yang mencapai 1,5-2 km di atas puncak; petir teramati di dalam kolom letusan. Tidak ada ledakan yang tercatat pada tanggal 1 November dan pada tanggal 3 November, meskipun aktivitas kegempaan tetap tinggi.
Pos Pengamatan Gunung Berapi Badan Geologi yang berada di Desa Pupulera, Kecamatan Walanggitang, Kabupaten Flores Timur menyebutkan dari hasil pengamatan gambar citra satelit Sentinel 2 terdapat penumpukan material lava di bagaian timur laut yang bergerak lambat dan juga material yang kemungkinan berpotensi menjadi lahar di bagian utama dan timur.[10]
Dalam laporan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebutkan, tinggi kolom letusan Gunung Lewotobi Laki-Laki teramati mencapai 5.000 meter di atas puncak, atau sekitar 6.584 meter di atas permukaan laut. Kolom abu teramati berwarna coklat dengan intensitas tebal ke arah barat daya, barat dan barat laut.[11]
Menurut laporan Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), erupsi yang terjadi pada 3-4 November 2024 telah mengakibatkan 9 orang meninggal dunia, satu orang dalam kondisi kritis, dan 63 lainnya luka-luka. Setidaknya 6 orang yang meninggal dunia berasal dari Desa Klatanlo.[6]
Pada 9 November, Sabtu pagi, Gunung Lewotobi Laki-Laki kembali erupsi, memuntahkan abu vulkanik sekitar 9 kilometer ke udara dari puncak kawah itu atau 10 kilometer dari permukaan laut.[12] Abu vulkanik menyebar hingga ke bagian barat NTT, seperti Ende, Ruteng, dan Labuan Bajo.[13][14]
Pada 10-12 November, Gunung Lewotobi Laki-Laki masih memuntahkan abu vulkanik hingga setingga 9 kilometer ke udara dari puncak kawah dan bergerak ke arah barat, barat laut, dan barat daya. Bahkan, abu vulkanik telah mencapai Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat yang berjarak sekitar 1.000 km dengan kecepatan 18 knot.[6][15]
Dampak
Material batu api yang terlontar akibat letusan Gunung Lewotobi jatuh dan menghantam pemukiman-pemukiman warga yang mengakibatkan kerusakan berat hingga keruntuhan bangunan.[16] Setidaknya 10 korban ditemukan meninggal karena terkena lava pijar panas dan tertimpa reruntuhan batu, 63 lainnya mengalami luka-luka.[17]
Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNPBD) Kabupaten Flores Timur, letusan Gunung Lewotobi Laki-Laki ini berdampak pada 14 desa yang tersebar di tiga kecamatan yakni Wulanggitang, Ile Bura dan Titehena. Data sementara jumlah warga mengungsi akibat erupsi mencapai 12.200 orang,[18] dengan banyak rumah penduduk, gedung sekolah, gereja dan fasilitas umum lainnya rusak berat dan terbakar.[19]
Pemerintah mengevakuasi warga ke wilayah-wilayah yang berada di radius 15-20 km dari kawah aktif gunung. Pemerintah juga membangun tenda-tenda evakuasi dan menyalurkan bantuan logistik. BNPB juga memperluas cakupan wilayah yang dilarang dimasuki hingga radius 9 km barat daya dan barat laut dari kawah aktif gunung. Mereka menghimbau warga untuk tidak kembali ke rumahnya untuk sementara waktu sampai erupsi mereda.[15] Per 13 November, BNPB melaporkan terdapat 13.116 pengungsi di tenda-tenda evakuasi yang tersebar di 8 lokasi.[6]
Lalu lintas penerbangan di Pulau Flores dan sekitarnya juga mengalami hambatan selama kurang lebih dua minggu.[20] Pada 4 November tercatat enam penerbangan dari dan menuju Bandara Komodo di Labuan Bajo dibatalkan imbas letusan Gunung Lewotobi ini.[21] Di saat bersamaan maskapai Wings Air juga membatalkan 18 penerbangan regional di Nusa Tenggara Timur akibat letusan ini.[22]
Gunung Lewatobi dipercaya sebagai tempat tinggal para leluhur orang Flores sehingga bencana letusan gunung dianggap lebih penting dibanding bencana lainnya. Letusan gunung dipercaya sebagai tanda amarah para leluhur akibat adanya perselisihan atau konflik di antara suku-suku atau klan di Pulau Flores. Oleh karena itu, penduduk sekitar gunung percaya mereka harus mengadakan upacara persembahan di lereng gunung, meski hal tersebut berbahaya. Upacara pengorbanan pernah dilakukan setelah letusan gunung pada 1992 yang diikuti oleh para kepala suku dan pemuka agama setempat.[5]
Respons
Dinas Sosial Kabupaten Flores Timur menerjunkan tim ke area wilayah sekitar Gunung Lewotobi untuk melakukan evakuasi warga.[23]
Pemerintah Kabupaten Flores Timur melalui BPBD Kabupaten Flores Timur menetapkan status tanggap darurat bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki laki.[24]
Pejabat Gubernur NTT, Andriko Noto Susanto, memberikan arah khusus kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk memantau dan menaikkan status dari siaga darurat ke tanggap darurat.[25]
Kepala BNPB, Suharyanto, menjelaskan bahwa pemerintah tengah membangun 442 unit hunian sementara yang bisa ditempati oleh 2.000 kepala keluarga. Pembangunan hunian ini ditargetkan selesai selama dua bulan ke depan.[26]
^ abFromming, Urte Undine (2001). Volcanoes: Symbolic Places of Resistance: Political Appropriation of Nature in Flores, Indonesia dalam Wessel, Ingrid (Ed.), Violence in Indonesia. Hamburg: Abera Verlag Markus Voss.