Kontroversi perbudakan di Tibet

Kontroversi perbudakan di Tibet adalah sebuah ketidaksepakatan publik atas keberadaan dan keadaan perbudakan di Tibet sebelum aneksasi Tibet ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 1951. Perdebatan tersebut bersifat politik, dengan beberapa pihak berpendapat bahwa tujuan mutlak di pihak Tiongkok adalah untuk mengesahkan kekuasaan Tiongkok terhadap wilayah yang kini disebut sebagai Wilayah Otonomi Tibet atau Wilayah Otonomi Xizang, dan pihak lain berpendapat bahwa tujuan mutlak pada pihak Barat adalah untuk melemahkan atau menghancurkan negara Tiongkok. Pendapatnya adalah bahwa budaya, pemerintahan dan masyarakat Tibet bersifat barbarik sebelum RRT berkuasa di Tibet dan bahwa baru berubah karena kebijakan RRT di wilayah tersebut. Pendapat pro-gerakan kemerdekaan Tibet adalah bahwa itu adalah penjelasan salah terhadap sejarah yang dibuat sebagai alat politik dalam rangka untuk membenarkan Sinikisasi Tibet.[1]

Pemerintah Tiongkok umumnya mengklaim bahwa Tibet dari 1912 sampai 1951 adalah masyarakat feodal dan Dalai Lama ke-13 dan ke-14 adalah pemilik budak. Klaim berikutnya yang dikatakan oleh RRT adalah bahwa, sebelum 1959, 95% orang Tibet tinggal dalam perbudakan feodal,[2] dan mengutip kasus-kasus pelecehan dan kekejaman yang diduga diwarisi pada sistem Tibet tradisional.[3] Pihak-pihak pro-kemerdekaan Tibet dan negara-negara yang bersimpati terhadapnya, khususnya kebanyakan negara barat, sering kali menolak klaim Tiongkok tersebut.

Catatan

  1. ^ Powers 2004, pg. 7
  2. ^ "White Paper on Tibet's March Forward". Diakses tanggal 10 July 2008. 
  3. ^ Goldstein 1997, p.56

Referensi

Pranala luar