Ko Phi Phi Le, dengan luas 6,6 km2,[2] adalah pulau terbesar kedua di kepulauan ini, setelah Pulau Ko Phi Phi Don. Pulau ini terdiri dari cincin perbukitan batu kapur curam yang mengelilingi dua teluk dangkal, Teluk Maya dan Loh Samah. Saat air surut, Teluk Maya tidak dapat diakses langsung dari laut melalui kapal, karena perairannya yang dangkal dan banyaknya karang. Kapal harus berlabuh di Loh Samah yang lebih dalam, dan mengharuskan orang untuk berjalan melewati bebatuan dan hutan untuk mencapai Teluk Maya sendiri. Terdapat pula satu jalan masuk seperti fyord dangkal yang disebut Pi Ley dengan terumbu karang kecil di sisi pintu masuk. Teluk Maya juga memiliki plankton yang dapat memancarkan cahaya sendiri.[3]
Pariwisata
Taman Nasional Laut Hat Noppharat Thara-Mu Ko Phi Phi secara keseluruhan, dari Oktober 2015 hingga Mei 2016 menghasilkan pendapatan sebesar 362 juta baht dengan total 1,2 juta kunjungan wisatawan, 77% diantaranya merupakan wisatawan asing.[4]
Masalah lingkungan
Kontroversi muncul terkait dengan produksi film The Beach yang dirilis Februari 2000, karena 20th Century Fox melibas dan menata ulang pemandangan pantai alami Ko Phi Phi Le untuk membuatnya lebih "terlihat seperti surga" pada saat pengambilan gambar pada tahun 1999. Penataan ulang ini mengubah beberapa bukit pasir dan juga menebang beberapa pohon kelapa dan rumput untuk memperluas kawasan pantai. Fox kemudian menyisihkan dana untuk merekonstruksi dan mengembalikan pantai ke keadaan semula. Namun demikian, tuntutan hukum tetap diajukan karena banyak yang percaya bahwa kerusakan ekosistem bersifat permanen dan upaya restorasi tersebut gagal.
Tuntutan hukum tersebut berlarut-larut selama bertahun-tahun. Pada 2006, mahkamah agung Thailand menguatkan putusan pengadilan banding yang menyatakan bahwa pembuatan film telah merusak lingkungan dan memerintahkan agar evaluasi terhadap tingkat kerusakan dilakukan. Terdakwa dalam kasus ini termasuk 20th Century Fox dan beberapa pejabat pemerintah Thailand.[5]
Departemen Taman Nasional, Margasatwa dan Konservasi Tumbuhan juga mengklaim sedang menyelidiki upaya-upaya untuk mengendalikan jumlah wisatawan di tengah kekhawatiran bahwa keberadaan pengunjung merusak lingkungan di tempat-tempat wisata bahari. Langkah tersebut dipicu oleh ahli kelautan Thon Thamrongnawasawat, yang memposting foto sejumlah wisatawan yang memadati kawasan Pantai Maya yang kecil di musim sepi liburan. Menurut Thamrongnawasawat, selama musim sepi 2016, sekitar 5.000 wisatawan memadati pantai Maya setiap harinya, yang panjangnya hanya 250 meter dan lebar 15 meter. Pantai ini memiliki 14 toilet yang tersedia. Wisatawan yang berkunjung ke taman menghasilkan pendapatan 1,6 juta baht per hari. Thamrongnawasawat mengatakan bahwa badan-badan negara sedang melakukan kampanye untuk meningkatkan jumlah wisatawan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan.[4]
Pada Maret 2018, pihak berwenang Thailand mengumumkan bahwa Pantai Maya akan ditutup untuk turis selama empat bulan untuk memungkinkan pulihnya kawasan pantai dari kerusakan lingkungan karena jumlah pengunjung yang berlebihan.[6] Pantai Maya diperkirakan menerima 5.000 pengunjung per hari, sementara 200 kapal per hari menetapkan jangkar di teluk. Survei oleh ahli biologi kelautan menemukan bahwa 80 persen terumbu karang yang mengelilingi teluk telah hancur karena lalu lintas kapal dan polusi; biota laut hampir menghilang seluruhnya sebagai akibatnya.[7] Ketika Pantai Maya kembali dibuka, jumlah pengunjung akan dibatasi hanya 2.000 orang per hari dan kapal harus berlabuh di luar teluk.[6] Pemerintah akan menghabiskan 100 juta baht untuk membangun zona parkir kapal dan dermaga apung untuk menerima wisatawan. Pemerintah akan menggunakan sistem tiket daring untuk mengelola penjualan dan pendapatan dari biaya masuk.[8]
Pada 1 Oktober 2018, Departemen Taman Nasional, Margasatwa, dan Konservasi Tanaman Thailand mengumumkan bahwa Pantai Maya akan ditutup untuk seterusnya, karena uji yang dilakukan selama penutupan empat bulan sebelumnya pada tahun yang sama menemukan kerusakan ekologis jauh lebih luas dari yang diperkirakan sebelumnya. Direktur Departemen tersebut, Songtam Suksawang, mengatakan bahwa pantai "benar-benar hancur, bersamaan dengan tanaman yang menutupinya," dan pembukaan kembali tidak akan dilakukan sampai ekosistem "sepenuhnya pulih ke situasi semula." [9]
Pada Desember 2018, dilaporkan bahwa hiu blacktip reef terlihat berenang mendekat ke pantai Teluk Maya. Teluk tersebut sebelumnya ditutup untuk pariwisata sejak bulan Juni karena kerusakan yang disebabkan oleh wisatawan. Ahli biologi kelautan menganggap kembalinya hiu sebagai sinyal positif bahwa larangan wisata telah memungkinkan ekosistem untuk pulih.[10]