Peta wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan Nagarakertagama[1] divalidkan oleh Warisan Nyanyian Wadian setempat yang menceritakan peristiwa tragis tentang runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai akibat serangan dari Kerajaan Majapahit pada sekitar abad ke-13.[2]
Suku Banjar adalah salah satu suku bangsa terbesar yang mendiami wilayah Kalimantan Selatan. Namun, identitas warga asli Kalimantan Selatan masih menjadi perdebatan, sebab wilayah ini di tempati oleh bermacam-macam orang dari berbagai suku bangsa. Identitas Urang Banjar (orang Banjar) yang asli Melayu ataukah Urang Dayak (orang Dayak) menjadi tema perdebatan masyarakat mengenai asal usul masyarakat Banjar (Yusuf Hidayat, dalam Jurnal Sosiologi Universitas Airlangga, 2006). Istilah Urang Banjar dimaksudkan untuk menyebut mayoritas penduduk yang mendiami sebagian besar daerah di Provinsi Kalimantan Selatan, meskipun tidak semua warga Kalimantan Selatan beretnis Banjar asli. Dalam buku Urang Banjar dalam Sejarah, mencoba memberikan jalan tengah atas ketidak sepahaman yang terjadi antara orang Melayu dan orang Dayak tersebut.[5] Masyarakat yang disebut sebagai Urang Banjar setidaknya terdiri dari etnis Melayu sebagai etnis yang dominan dan ditambah unsur orang-orang Suku Dayak, termasuk Suku Dayak Maanyan .[5][6][7]
Penyebutan Banjar sebagai sebuah nama suku perlu diteliti lebih dalam. Istilah Banjar itu hanya nampak dalam bahasa Jawa kuno, masuk dalam kosakata bahasa Indonesia yang artinya deret(an), jajar(an), dan baris(an). Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) banjar.
Kemungkinan dulu cara populasi pemukim di wilayah hilir-hilir sungai-sungai ditata permukimannya seperti deretan atau barisan rumah-rumah di sepanjang aliran sungai-sungai itu. Dari situlah istilah banjar itu digunakan ketika wilayah hilir dari Sungai Barito dihuni oleh berbagai suku bangsa Asia Tenggara.
Suku Banjar pernah mempunyai pemerintahan bernama Kesultanan Banjar yang berdiri sejak tahun 1526 Masehi. Kesultanan ini memiliki perjalanan sejarah yang panjang karena diawali dari masa yang jauh sebelum masuknya pengaruh Islam yang ditandai dengan berdirinya Candi Laras dan Candi Agung pada masa Hindu-Budha. Kesultanan Banjar merupakan babak akhir dari rangkaian riwayat sejumlah kerajaan di Kalimantan Selatan pada masa-masa sebelumnya. Pemerintahan yang pertama kali menjadi cikal-bakal Kesultanan Banjar adalah Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan purba yang dikelola oleh orang-orang Suku Dayak Maanyan ini disebutkan dengan nama yang berbeda-beda. Selain Nan Sarunai, nama-nama lain yang juga diyakini sebagai nama kerajaan ini adalah Kerajaan Kuripan, Kerajaan Tanjungpuri, dan Kerajaan Tabalong. Nama Kerajaan Tabalong disertakan karena kerajaan ini terletak di tepi Sungai Tabalong. Sungai Tabalong adalah anak sungai Bahan, sedangkan Sungai Bahan adalah anak Sungai Barito yang bermuara ke Laut Jawa.[2]
Selain itu, muncul pendapat berbeda yang menyatakan bahwa Kerajaan Tanjungpuri berbeda dengan Kerajaan Nan Sarunai.[2] Pendapat ini meyakini bahwa Kerajaan Tanjungpuri bukan pemerintahan yang dikelola oleh Suku Dayak Maanyan, melainkan oleh orang-orang Melayu Palembang yang merupakan pelarian dari Kerajaan Sriwijaya.[2] Versi yang satu ini juga menyebutkan bahwa Kerajaan Nan Sarunai dan Kerajaan Tanjung puri berada dalam lingkup ruang dan waktu yang sama.[8] Kerajaan Nan Sarunai berpusat di Amuntai, sedangkan Kerajaan Tanjung puri beribukota di Tanjung.[8] Berdasarkan pembagian wilayah administratif Provinsi Kalimantan Selatan pada masa sekarang, kedua tempat itu tidak berada di kabupaten yang sama meskipun lokasi Amuntai dan Tanjung berdekatan dan sama-sama terletak di tepi Sungai Tabalong.[8]Amuntai termasuk dalam wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara, sedangkan Tanjung berada di Kabupaten Tabalong.[8]
Nama Sarunai sendiri dimaknai dengan arti “sangat termasyhur”.[2] Penamaan ini bisa jadi mengacu pada kemasyhuran Suku Dayak Maanyan pada masa silam. ada pendapat lain yang mengatakan bahwa nama Sarunai berasal dari kata “Sarunai” yakni alat musik sejenis seruling yang mempunyai tujuh buah lubang.[9] Alat musik ini sering dimainkan orang-orang Suku Dayak Maanyan untuk mengiringi tari-tarian dan nyanyi-nyanyian.[9] Konon, Raja dan rakyat Kerajaan Nan Sarunai sangat gemar menari dan menyanyi.[9] Sebenarnya istilah lengkapnya adalah Nan Sarunai.[9] Kata "nan" diduga berasal dari bahasa Melayu yang kemudian dalam lidah orang Maanyan dilafalkan hanya dengan ucapan Sarunai saja.[9] Dengan demikian, nama "Nan Sarunai" berarti sebuah kerajaan di mana raja dan rakyatnya gemar bermain musik.[9]
Periodesasi pemerintahan yang muncul dan berkembang di Asia Tenggara pada umumnya terjadi dalam tiga fase, yaitu negara suku, negara awal, dan negara kerajaan (vida Pervaya Rusianti Kusmartono, 2002:1). Kerajaan Nan Sarunai memainkan peranan penting pada fase negara suku dalam konteks sejarah Banjar.[2] Negara suku atau negara etnik mengandaikan bahwa rakyat di pemerintahan itu hanya terdiri dari satu etnik dan tatanannya diatur oleh tradisi yang ditransformasikan dari nenek moyang ke generasi berikutnya.[2] Penempatan Kerajaan Nan Sarunai ke dalam fase negara suku dirasa tepat karena kerajaan ini merupakan pemerintahan purba yang dikelola oleh orang-orang dengan karakter yang masih melingkupi kesukuan, yakni Suku Dayak Maanyan.[2] Selain itu, keberadaan Kerajaan Nan Sarunai dapat dikatakan sebagai fondasi awal dalam menyokong berdirinya beberapa pemerintahan pada masa berikutnya, yaitu Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Negara Daha, hingga Kesultanan Banjar.[2] Dengan kata lain, Kerajaan Nan Sarunai adalah mukadimah yang mengawali mata rantai perjalanan sejarah Banjar di Kalimantan Selatan.[2] Suku Dayak Maanyan, pendiri Kerajaan Nan Sarunai, adalah salah satu sub Suku Dayak tertua di Borneo.[2] Suku Dayak Maanyan termasuk dalam rumpun Ot Danum yang juga dikenal dengan nama Dayak Ngaju.[2] Pada awalnya, orang-orang Suku Dayak Maanyan menetap di tepi Sungai Barito bagian timur (sekarang menjadi Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah).[2] Oleh karena itu, orang-orang Suku Dayak Maanyan mendapat sebutan Kelompok Barito Timur.[2] Orang-orang Suku Dayak Maanyan adalah kaum pelaut yang tangguh.[2] Pada sekitar tahun 600 Masehi, orang-orang Suku Dayak Maanyan diduga pernah berlayar hingga ke Madagaskar, sebuah pulau di pesisir timur Afrika.[2] Pencapaian luar biasa yang berhasil dilakukan Suku Dayak Maanyan, bahwa ada persamaan antar bahasa orang Madagaskar dengan bahasa orang Maanyan.[8] Ketangguhan melaut orang-orang Suku Dayak Maanyan lama-kelamaan mulai berkurang karena terjadi proses pendangkalan di lingkungan maritim tempat mereka hidup.[10] Areal pesisir yang selama ini menjadi lingkungan mereka sehari-hari mengalami penyurutan dan perlahan-lahan berubah menjadi daratan sehingga orang-orang Dayak Maanyan kehilangan budaya maritim yang dulu mereka miliki.[10] Pada zaman purba, wilayah Kalimantan bagian tengah masih berwujud sebuah teluk besar.[10] Fenomena pendangkalan ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi yang dilakukan oleh orang-orang Dayak Maanyan.[10] Daerah tujuan para imigran Suku Dayak Maanyan adalah di tempat yang dalam Hikayat Banjar disebut dengan nama Pulau Hujung Tanah.[10] Sedangkan Negarakertagama karya pujangga Majapahit, Mpu Prapanca, yang ditulis pada tahun 1365 M, menyebut tempat itu sebagai Tanjung Negara.[10] Terdapat dua lokasi pada masa sekarang yang diperkirakan merupakan bekas wilayah Pulau Hujung Tanah, yakni Amuntai dan Tanjung, yang keduanya terletak tidak jauh dari Pegunungan Meratus yang memang dikisahkan membentang di timur Pulau Hujung Tanah, tempat di mana Kerajaan Nan Sarunai berdiri.[10]
Bukti-bukti Keberadaan Kerajaan Nan Sarunai
Sejauh ini belum banyak referensi yang bersifat ilmiah dan secara proporsional menjelaskan tentang riwayat Kerajaan Nan Sarunai mengingat usia kerajaan ini yang sudah sangat tua. Sumber-sumber yang digunakan selama ini adalah cerita tutur yang termaktub dalam Hikayat Banjar. Sejarah Indonesia pada umumnya dalam menjelaskan suatu negara tradisional sangat bertumpu pada historiografi tradisional, seperti babad, hikayat, atau cerita rakyat. Historiografi tradisional mempunyai ciri-ciri yang menonjol dan saling berkaitan, yaitu etnosentrisme, rajasentrisme, dan antroposentrisme (Sartono Kartodirdjo, 1993:7). Informasi yang diperoleh dari Hikayat Banjar ditandai oleh sifat-sifat mistis, legendaris, dan tidak ada unsur waktu dalam urutan ceritanya.[2] Hikayat Banjar ditulis sepanjang 4.787 baris atau 120 halaman.[2] Namun, sebagian besar isi dari hikayat ini lebih banyak menceritakan tentang kerajaan-kerajaan setelah era Kerajaan Nan Sarunai, yakni Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Negara Daha, dan Kesultanan Banjar.[2] Riwayat Nan Sarunai sangat sedikit disinggung, terutama menjelang keruntuhannya.[2] Kisah tentang Kerajaan Nan Sarunai dalam Hikayat Banjar lebih menyerupai tradisi lisan, yakni nyanyian Suku Dayak Maanyan (wadian) yang kemudian ditransformasikan secara turun temurun.[11] Tradisi lisan orang Dayak Maanyan mengisahkan bahwa mereka sudah memiliki negara suku bernama Nan Sarunai.[11] Nyanyian wadian menceritakan peristiwa tragis tentang runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai akibat serangan dari Kerajaan Majapahit pada sekitar abad ke-13.[2]
Hikayat Banjar terbagi menjadi dua versi, versi pertama merupakan versi yang telah diubah dan disusun pada masa Kesultanan Banjar yang secara definitif telah memeluk agama Islam, sedangkan versi kedua dianggap sebagai versi yang berasal dari Negara Dipa yang memeluk agama Hindu. Dari analisis Ras ini dapat ditarik kesimpulan bahwa penjelasan mengenai sejarah Kerajaan Nan Sarunai dalam Hikayat Banjar memang hanya mendapat porsi yang sedikit karena, Negara Dipa, yang banyak dibahas dalam Hikayat Banjar versi kedua, baru muncul setelah era Kerajaan Nan Sarunai berakhir.[9]
Kerajaan Nan Sarunai adalah suatu pemerintahan purba yang diperkirakan sudah eksis sejak zaman Sebelum Masehi. Salah satu bukti adalah ditemukannya peninggalan arkeologis yang diduga kuat berasal dari zaman di mana Kerajaan Nan Sarunai masih eksis. Jejak arkeologis Nan Sarunai pada masa purba itu adalah sebuah candi yang ditemukan di Amuntai. Amuntai adalah salah satu tempat yang sangat mungkin menjadi tempat bermukim orang-orang Suku Dayak Maanyan yang kemudian mendirikan peradaban Kerajaan Nan Sarunai. Pada tahun 1996, dilakukan pengujian terhadap candi tersebut. Hasil penyelidikan itu cukup mengejutkan karena hasil pengujian terhadap sampel arang candi yang ditemukan di Amuntai tersebut menghasilkan kisaran angka tahun antara 242 hingga 226 Sebelum Masehi. Jika penelitian ini benar adanya, maka usia Kerajaan Nan Sarunai jauh lebih tua dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur (berdiri pada abad ke-5 M) yang selama ini diyakini sebagai kerajaan tertua di nusantara.[9]
Berdasarkan hasil penelitian tentang pengujian terhadap sampel arang candi yang ditemukan di Amuntai menghasilkan angka kisaran tahun 242-226 SM, maka dapat disimpulkan bahwa usia Kerajaan Nan Sarunai sangat panjang karena kerajaan ini runtuh pada tahun 1362 M.[9] Akan tetapi, perlu dicerrnati lagi bahwa kendati Kerajaan Nan Sarunai diperkirakan sudah ada sejak zaman Sebelum Masehi, namun yang dimaksud dengan kerajaan pada masa itu kemungkinan besar masih berbentuk sangat sederhana.[9] Pusat pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai diduga beberapa kali perpindahan di sekitar Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong saat ini, namun masih di seputaran Sungai Tabalong.[9] Selain di Pulau Hujung Tanah, leluhur etnis Maanyan konon pemah bermukim di tempat yang bemama Margoni, yakni sebuah tempat yang selalu diliputi awan.[9] Tempat yang dimaksud mungkin simbolisasi dari negeri khayangan atau setidak-tidaknya negeri di atas gunung).[9] Dengan arti kiasan itu juga bisa dilihat kemungkinan bahwa yang dimaksud nenek moyang Suku Dayak Maanyan adalah dewa-dewa yang bersemayam di tempat yang selalu diliputi awan alias khayangan.[9]
Orang-orang Suku Dayak Manyaan pertama kali sempat menetap di sebuah tempat yang bernama Tumpuk Lalung Kuwung, Gumi Rarak Ransai, kemudian berpindah ke Pupur Purumatung dan Sida Matung.[12] Semua anggota kelompok etnis Suku Maanyan tinggal dan menjadi satu di tempat ini.[12] Pusat pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai pemah berlokasi di daerah yang bernama Lili Kumeah.[12] Konon, Lili Kumeah didirikan oleh Datu Sialing dan Damung Gamiluk Langit yang memimpin anggota masyarakat etnis Maanyan atau warga Kerajaan Nan Sarunai.[12]
Di Tumpuk Lili Kumeah dilakukan pengangkatan atau nudus tiga orang pemimpin yang bernama : Raksapateh, Singa Galanteh, dan Using Dukut Nungu Dapur. Ketiga pemimpin itu telah bersama menciptakan dan mengajarkan tentang tata cara berhitung hingga 12 (dua belas) angka, yang dinamakan dengan hitungan “salusen” sebagai berikut:
No
Bahasa Indonesia
Bahasa Janyawai
1
Satu
Sau
2
Dua
Karuaw
3
Tiga
Katalu
4
Empat
Manampitaw
5
Lima
Kaebak
6
Enam
Kapapak
7
Tujuh
Kalempat
8
Delapan
Karewaw
9
Sembilan
Katumang
10
Sepuluh
Pahapaw
11
Sebelas
Kaminting
12
Dua Belas
Buk ok
Kerajaan Nan Sarunai adalah suatu pemerintahan purba yang diperkirakan sudah eksis sejak zaman Sebelum Masehi. Salah satu bukti adalah ditemukannya peninggalan arkeologis yang diduga kuat berasal dari zaman di mana Kerajaan Nan Sarunai masih eksis. Jejak arkeologis Nan Sarunai pada masa purba itu adalah sebuah candi yang ditemukan di Amuntai. Amuntai adalah salah satu tempat yang sangat mungkin menjadi tempat bermukim orang-orang Suku Dayak Maanyan yang kemudian mendirikan peradaban Kerajaan Nan Sarunai. Pada tahun 1996, dilakukan pengujian terhadap candi tersebut. Hasil penyelidikan itu cukup mengejutkan karena hasil pengujian terhadap sampel arang candi yang ditemukan di Amuntai tersebut menghasilkan kisaran angka tahun antara 242 hingga 226 Sebelum Masehi (Kusmartono & Widianto, 1998:19-20). Jika penelitian ini benar adanya, maka usia Kerajaan Nan Sarunai jauh lebih tua dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martadipura di Kalimantan Timur (berdiri pada abad ke-5 M) yang selama ini diyakini sebagai kerajaan tertua di nusantara.[9] Berdasarkan hasil penelitian tentang pengujian terhadap sampel arang candi yang ditemukan di Amuntai menghasilkan angka kisaran tahun 242-226 SM, maka dapat disimpulkan bahwa usia Kerajaan Nan Sarunai sangat panjang karena kerajaan ini runtuh pada tahun 1362 M.[9] Akan tetapi, perlu dicerrnati lagi bahwa kendati Kerajaan Nan Sarunai diperkirakan sudah ada sejak zaman Sebelum Masehi, namun yang dimaksud dengan kerajaan pada masa itu kemungkinan besar masih berbentuk sangat sederhana.[9] Pusat pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai diduga beberapa kali perpindahan di sekitar Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong saat ini, namun masih di seputaran Sungai Tabalong.[9] Selain di Pulau Hujung Tanah, leluhur etnis Maanyan konon pemah bermukim di tempat yang bemama Margoni, yakni sebuah tempat yang selalu diliputi awan.[9] Tempat yang dimaksud mungkin simbolisasi dari negeri khayangan atau setidak-tidaknya negeri di atas gunung.[9] Dengan arti kiasan itu juga bisa dilihat kemungkinan bahwa yang dimaksud nenek moyang Suku Dayak Maanyan adalah dewa-dewa yang bersemayam di tempat yang selalu diliputi awan alias khayangan[9]
Silsilah Raja-raja
Sejarah Kerajaan Nan Sarunai yang sangat panjang temyata tidak diimbangi dengan referensi data yang valid, termasuk informasi mengenai silsilah raja-rajanya. Dari berbagai sumber yang ditemukan, hanya sekelumit saja yang menyinggung nama orang-orang yang diperkirakan pernah menjadi kepala pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai. Dari sekian banyak raja yang pemah memimpin Kerajaan Nan Sarunai yang ditemukan hanya dua orang raja saja yaitu Datu Sialing dan Datu Gamiluk Langit.[12] Kedua orang ini diduga pernah berperan sebagai pemimpin Suku Dayak Manyaan sekaligus raja Kerajaan Nan Sarunai.[12] Namun, belum diketahui apakah mereka berdua memerintah secara bersama-sama atau bergantian. Informasi yang paling jelas adalah bahwa Datu Sialing dan Datu Gamiluk Langit adalah dua orang yang memimpin sekelompok anggota masyarakat etnis Maanyan untuk mencari tempat permukiman baru yang lebih menjanjikan sebagai tempat penghidupan.[12] Akhirnya, mereka mendirikan pusat pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai di sebuah tempat yang bemama Lili Kumeah.[12] Sementara itu, pada tahun 1309 M, terdapat seorang raja yang memimpin Kerajaan Nan Sarunai, bernama Raden Japutra Layar yang memerintah pada kurun 1309-1329 M.[9] Gelar raden yang disandang sang raja berasal dari Kerajaan Majapahit, karena Japutra Layar sebelum menjadi Raja Nan Sarunai adalah seorang pedagang yang sering bergaul dengan para bangsawan dari Majapahit.[9]
Raden Japutra Layar adalah raja pertama Kerajaan Nan Sarunai.[9] Didasarkan pada pola, sistem, dan struktur pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai yang sudah menjadi jauh lebih baik dibandingkan masa-masa sebelumnya.[9] Seperti diketahui, Kerajaan Nan Sarunai adalah pemerintahan yang dikelola oleh orang-orang Suku Dayak Maanyan dan diduga sudah eksis pada kisaran waktu antara 242 hingga 226 Sebelum Masehi sehingga diperkirakan sistem pemerintahannya, termasuk dalam hal kepemimpinan, belum terorganisir dengan baik.[9] Penerus Raden Japutra Layar sebagai pemimpin Kerajaan Nan Sarunai adalah Raden Neno (1329-1349) dan kemudian Raden Anyan (1349-1355).[9]Raden Anyan, bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas, adalah raja terakhir Kerajaan Nan Sarunai sebelum riwayat kerajaan ini tamat akibat serangan dari Kerajaan Majapahit.[9]
Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai pada masa purba belum diketahui dengan pasti.[13] Namun, sebelum kerajaan ini berdiri, terlebih dulu terdapat beberapa komunitas dari Suku Dayak Maanyan yang memiliki pusat kekuasaan masing-masing.[13] Pada suatu ketika, pusat-pusat kekuasaan itu berhasil dipersatukan dalam suatu pusat kekuasaan yang lebih luas.[13] Ketika penataan organisasi dalam gabungan komunitas Suku Dayak Maanyan tersebut berhasil dioperasionalkan, meski dengan bentuk yang masih sangat sederhana, maka kemudian terbentuklah sebuah negara suku yang dikenal dengan nama Kerajaan atau Negara Nan Sarunai.[2] Selain itu, pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai dikategorikan sebagai peradaban yang masih primitif.[2] Negara atau kerajaan “primitif" tidak bersifat tirani bagi yang diperintahnya (Georges Balandier, 1986:192). Oleh karena itu, sebagai negara "primitif", maka staf administrasi tidak ditemukan dalam struktur pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai.[2] Orang-orang Maanyan di Kerajaan Nan Sarunai adalah masyarakat yang homogen.[2] Mereka menata kehidupan komunitasnya dengan sangat harmonis sesuai dengan aturan adat yang berisi hukum tradisional, termasuk larangan-larangan dalam hukum adat.[2] Hubungan fundamental di dalam lingkungan Kerajaan Nan Sarunai tercipta berdasarkan genealogis yang disebut ipulaksanai yang berarti ‘’bersambung usus".[2] Dalam konteks sistem kekerabatan di lingkungan Kerajaan Nan Sarunai, ipulaksanai dapat dimaknai sebagai saudara atau kerabat.[2] Dengan demikian, Kerajaan Nan Sarunai lebih cenderung berperan sebagai media untuk kepentingan rakyatnya.[2] Hubungan antar personal di dalam lingkungan Kerajaan Nan Sarunai diikat oleh jalinan kekeluargaan berdasarkan satu keturunan.[2] Raja tetap memiliki kekuasaan tertinggi sebagai kepala suku maupun kepala pemerintahan.[2] Otoritas tradisional yang berlaku di lingkungan Kerajaan Nan Sarunai adalah patrikalisme yang pengawasannya berada di tangan seorang individu tertentu yang memiliki kewenangan warisan.[2] Pemimpin Kerajaan Nan Sarunai mengendalikan pemerintahan dari sebuah rumah panjang bertipe rumah panggung yang dikenal sebagai Rumah Betang atau Rumah Lamin.[2]Rumah Betang ini tidak lain merupakan istana bagi Raja Nan Sarunai.[2]Rumah Betang mempunyai ciri khusus untuk membedakannya dari rumah-rumah biasa, yakni Rumah Betang tersebut berbentuk tanda plus.[2]
Kehidupan orang-orang Suku Dayak Manyaan di Kerajaan Nan Sarunai berlangsunseg hingga berabad-abad lamanya.[9] Selama kurun waktu ribuan tahun itu, sistem pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Nan Sarunai masih dijalankan secara sederhana. Baru pada tahun pada tahun 1309 M, Kerajaan Nan Sarunai dianggap sudah memiliki sistem pemerintahan yang lebih baik ketika dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Japutra Layar.[9] Pada masa ini, sistem pemerintahan, termasuk dalam hal pemberian gelar kehormatan, di dalam Kerajaan Nan Sarunai sudah terpengaruh tradisi dari Kerajaan Majapahit.[2] Gelar raden diberikan secara khusus hanya untuk seorang raja, sedangkan para bangsawan lainnya memakai gelar patih, uria, damong, pating'i, datu, dan sebagainya.[2]
^ abc. Suriansyah Ideham, eds., 2007. Urang Banjar dan kebudayaannya. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan Pustaka Banua
^ abGazali Usman, 1989. Urang Banjar dalam sejarah. Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press
^ abcdeHudson, Alfred. “The Paju Epat Maanyan in historical perspective", dalam Indonesia, 4 Oktober 1967. Cornell University~Ithaca, New York, hlm. 17
^ abMZ Arifin Anis, 1994, “Struktur birokrasi dan sirkulasi elite di Kerajaan Banjar pada abad XIX”, tesis Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
^ abcdefghBabe Kuden, "Pangeran Samudra dari Dayak Maanyan?", dalam Banjarmasin Post, 21 September 2005
^ abcAlfani Daud, 1997. Islam dan masyarakat Banjar: Deskripsi dan analisis kebudayaan Banjar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Bani Noor Muchamad, et.a/., 2006. “Melacak arsitektur Keraton Banjar", dalam Dimensi Teknik Arsitektur', No. 34, No. 2, Desember 2006.
Dwi Putro Sulaksono, 2008. Determinisme dan perubahan kebudayaan: Studi antropologi Dayak desa hutan Kalimantan. Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Scripta Cendikia.
Harry Widianto & Handini, “Eskavasi Situs Gua Babi Tahap V Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan", dalam Laporan penelitian arkeologi Banjarmasin, 1999/2000.
Fridolin Ukur, 1977, Tanya Jawab tentang Suku Dayak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Harry Widianto, et.al., “Ekskavasi Situs Gua Babi di Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan”, dalam Berita Penelitian Antropologi, No. 1, 1997, Balai Arkeologi Banjarmasin.
Munoz, Paul Michel, 2006. Early kingdoms of the Indonesian archipelago and the Malay peninsula. Singapura: Edition Didier Millet.
Ras, Johannes Jacobus, 1968. Hikayat Banafiar: A study in Malay historiography. S'Gravenhage: N.V. De nederlandsche Boeken Steendrukkerij v/h H.L. Smits.
Sartono Kartodirdjo, 1993, “Historiografi tradisional, model, fungsi, dan struktumya, dalam Makalah Simposium Intemasional Ilmu Humaniora I, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
vida Pervaya Rusianti Kusmartono & Harry Widianto, 1998. “Ekskavasi Situs Candi Agung Kabupaten North Upper Coarse, South Kalimantan”, dalam Berita Penelitian Arkeologi, 02/1998. Banjarmasin: Hall Arkeologi Banjarmasin.
Vida Pervaya Rusianti Kusmartono, “Pemerintahan early state Negara Dipa di Kalimantan Selatan. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IX dan Kongres IAAI 2002, Kediri, 23-27 Juli 2002.
Yusuf Hidayat, “Politik identitas: Dari identitas lokal menuju identitas nasional", dalam Jurnal Sosiologi Universitas Airlangga, Volume 2, No 1, 2006.