Dompu yang kini menjadi Kabupaten Dompu merupakan sebuah wilayah kedatuan kuno di Indonesia. Daerah ini masih satu suku dengan Bima, yaitu sama-sama Suku Mbojo. Dompu terletak di antara kabupaten Bima dan kabupaten Sumbawa saat ini. Mayoritas penduduk kini beragama Islam, dengan tradisi dan budaya yang juga mayoritas Islam.
Nama Kencuhian Saneo lebih dulu digunakan sebelum berganti nama menjadi menjadi Dompu. Nama Dompu disematkan setelah pemisahannya dari Kerajaan Bima oleh Sangaji Indra Kumala (bukan adik raja Bima pertama; hanya memiliki kesamaan nama). Hal tersebut disebabkan karena adanya kemelut politik saat Rani Ratna Lila (Seorang Ratu; Perempuan) naik memimpin Bima setelah meninggalnya Sangaji Manggampo Jawa. Akhirnya untuk mengakhiri konflik, Kerajaan Bima dibagi menjadi dua, di mana wilayah barat (Kencuhian Saneo, Pekat, Kangkelu, dan Taloko) dipisahkan menjadi kerajaan sendiri bernama Kerajaan Dompu, dengan raja pertamanya Sangaji Indra Kumala. Sementara Kerajaan Bima (Kencuhian Dara, Dorowuni, Banggapupa, Pabolo, dan Parewa) tetap dipegang oleh Rani Ratna Lila yang kemudian seterusnya dilanjutkan oleh Sangaji Batara Bima Indra Luka.
Nama Dompu sendiri berasal dari kata Dompo/ Padompo yang diartikan sebagai daerah atau wilayah yang dipotong atau dipisahkan. Saat itu membentuk Kerajaan Dompu bersama Kencuhian Saneo, Papekat, Kangkelu, Taloko. Namun tidak bertahan lama, Kencuhian Papekat, Kangkelu, Taloko memisahkan diri dan membentuk kerajaannya sendiri. Kemudian dipersatukan kembali oleh Kerajaan Bima saat misi ekspansi wilayah Bima hingga ke Bumi Alor (NTT) di abad 15 oleh Sangaji Ma Wa’a Bilmana.
Dompu kembali bertransformasi menjadi wilayah independen pada tahun 1635 M, yang memisahkan diri dari Kerajaan Bima saat sedang terjadi pemberontakan oleh La Salisi, paman putra mahkota Bima yang terjadi selama kurun waktu 1619-1633.
Kerajaan Bima sempat berhasil diambil alih kembali oleh Putra Mahkota bernama La Kai (nama Islamnya Abdul Kahir) pada tahun 1626 setelah dibantu oleh kiriman pasukan dari Kesultanan Gowa, lalu mengubah bentuk kerajaan menjadi kesultanan Bima, dan menjadikan dirinya sebagai Sultan Pertama Bima pada tahun tersebut dengan nama Sultan Abdul Kahir I.
Namun kembali terjadi pemberontakan oleh La Salisi pada tahun 1632, tapi tidak bertahan lama berhasil diambil alih kembali oleh La Kai pada tahun 1633.
Anak pertama Jeneli Dompu membantu La Salisi dan memanfaatkan La Salisi beserta pasukannya agar berlindung ke Dompu, kemudian mendeklarasikan pembentukan Kerajaan Dompu yang independen pada tahun 1635.
Raja Dompu yang diangkat tersebut merupakan kakak dari Manuru Bata yang berganti nama menjadi Sirajuddin setelah memeluk Islam bersama La Kai. Sirajuddin adalah salah satu sahabat sepelarian La Kai saat kabur ke Sape ketika meletusnya peristiwa kudeta dan pemberotakan di Bima tahun 1619.
Setelah kepemimpinan di Bima mulai stabil, Bima selanjutnya menjuruskan fokusnya ke arah wilayah Dompu. Pada tahun 1640, Sultan Abdul Kahir I bersama Sirajudin berhasil menyingkirkan La Salisi dan Raja Dompu yang merupakan kakak dari Sirajudin.
Setelah berhasil diambil alih, Dompu kemudian diubah menjadi berbentuk Kesultanan Dompu, Manuru Bata Sultan Sirajuddin kemudian diangkat menjadi Sultan Pertama Dompu dan menjadi wilayah semi-otonomnya Bima, demikian seterusnya juga kepada ketiga wilayah lainnya yang sebelumnya sudah lebih dahulu memisahkan diri dari Dompu (yaitu Papekat, Kangkelu, Taloko). Di mana Bima tidak ikut campur secara langsung mengenai kebijakan internal keraja'an-keraja'an tersebut, namun untuk urusan strategis dan eksternal, harus lewat persetujuan dari istana Bima.
Bangsawan Dompu atau keturuan sultan-sultan hingga kini masih ada. mereka dipanggil "Ruma" atau "Dae". Istana Dompu, sebagai lambang kebesaran telah lama lenyap. Konon bangunan istana itu sudah diubah menjadi masjid raya Dompu saat ini. Namun rumah kediaman raja masih ada hingga sekarang dan terletak di Kelurahan Bada.
Pada tahun 2000-an, tim peneliti dari Jakarta, yang dipandu langsung oleh Bupati Dompu H Abubakar Ahmad menemukan situs berupa tapak kaki Gajah Mada di wilayah Hu'u sekitar 40 kilometer dari pusat kota Dompu.[butuh rujukan] Banyak yang meyakini Mahapatih Gajah Mada tewas dan atau menghabiskan sisa hidupnya di daerah ini.