Pada masa pemerintahan Karaeng Matoaya, Kerajaan Tallo dan Kerajaan Gowa telah bersekutu menjadi kesatuan (Kesultanan Makassar), di mana raja Gowa berperan sebagai raja di Kesultanan makassar dan raja Tallo sebagai Perdana menteri.[4] Berbagai kebijakan raja Gowa Tunipasulu sebelumnya telah melemahkan Makassar, dan Karaeng Matoaya lah yang membangkitkan kekuatan kerajaan itu.[4] Ia mengangkat Alauddin sebagai pengganti Tunipasulu, mempererat kerjasama Gowa dan Tallo, dan mengembangkan Makassar dari sebuah kekuatan lokal di Sulawesi Selatan menjadi suatu kekuatan regional besar, sehingga mampu menyaingi VOC yang mulai berkembang di Nusantara.[4]
Penyebaran Islam
Karaeng Matoaya adalah raja Tallo pertama yang memeluk agama Islam, yang dilakukannya bersama keluarganya pada 22 September 1605.[5] Tak lama kemudian, raja Gowa Alauddin yang juga adalah kemenakannya turut serta memeluk Islam, sehingga Islam kemudian menjadi agama resmi Kesultanan Makassar.[4] Di bawah pimpinan Karaeng Matoaya dan Sultan Alauddin, Makassar yang telah memeluk Islam kemudian terlibat dalam penyebarannya. Antara 1608 hingga 1611, semua kerajaan besar di Sulawesi Selatan yang berada bagian sebelah selatan dataran tinggi Toraja telah diperangi atau dibujuk, hingga kesemuanya memeluk Islam.[4] Demikian pula hal yang sama terjadi pada Bima di Sumbawa.[4] Meskipun demikian, Karaeng Matoaya tidak melakukan perubahan sosial atau administratif atas berbagai kerajaan tersebut, yang tetap diperintah seperti sebelumnya oleh para bangsawan lokal setempat.[4]
Hagemoni Makassar
Makassar pada masa pemerintahan Karaeng Matoaya merupakan pos perdagangan yang ramai bagi bebagai bangsa Eropa yang menetap di ibukota Somba Opu seperti Portugis,Inggris, Belanda, Denmark dan Prancis serta komunitas suku-suku lainnya dari seantero Nusantara. Berbagai macam barang dagangan diperdagangkan di Makassar saat itu antara lain Kayu Cendana dari Nusa Tenggara Timur, Beras dari Maros, Berlian dari Banjarmasin, Cengkih dari Maluku, Kain dari India, Porselen dan Sutra dari Tiongkok, Teripang dari Australia Utara dan lain-lain.[4] Pengaruh militer Makassar juga diperluas pada masa pemerintahan Karaeng Matoaya. Ekspedisi laut Makassar tercatat pernah dikirimkannya ke wilayah utara dan tengah Sulawesi, Buton, serta Nusa Tenggara. Di wilayah selatan Sulawesi, pasukan darat Makassar yang kuat juga memadamkan pemberontakan dan ketidakpatuhan dengan kekuatan militernya. Karaeng Matoaya memerintahkan pembuatan meriam dan mesiu, membuat kapal-kapal baru dengan rancangan lebih mutakhir, mencetak mata uang emas untuk perdagangan, serta memperkuat perbentengan di pantai Gowa dengan batu bata untuk menahani serangan dari arah laut.[4]
Kepribadian
Karaeng Matoaya disebutkan sebagai seorang yang taat dalam beragama Islam.[6] Ia juga diketahui memiliki ketertarikan intelektual atas berbagai macam hal, mulai dari teologi hingga ilmu pengetahuan. Minat serupa juga diperlihatkan oleh anak dan penerusnya, Karaeng Pattingalloang, yang mampu berbicara bahasa Melayu, Portugis, dan Spanyol, serta memiliki koleksi berbagai macam naskah, bola dunia, dan peta pelayaran yang menimbulkan kekaguman para tamunya.[4]