Kampanye negatif adalah strategi kampanye yang digunakan dengan mengeksploitasi kelemahan, kekurangan, dan kesalahan lawan. Berbeda dengan kampanye hitam yang berbasis pada fitnah, kampanye negatif memiliki dasar argumen, data dan ada bukti empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. Strategi kampanye negatif tidak hanya digunakan dalam politik tetapi juga bisa digunakan dalam bidang lain seperti perdagangan dan militer.[1][2][3]
Tujuan
Para pelaku kampanye negatif memiliki tujuan untuk membunuh karakter atau bahkan mengkriminalisasi lawan agar citranya menjadi buruk.[1] Penggunaan data rill yang sahih membuat pelaku kampanye negatif bisa dengan mudah memanipulasi pola pikir massa agar membenci target. Karena kampanye negatif memiliki dasar pada data yang dapat dipertanggungjawabkan membuat pelaku kampanye negatif sangat sulit untuk terjerat pidana. Hal ini berbeda dengan kampanye hitam yang pelakunya dapat dipidana.[2]
Penggunaan dalam Politik
Dalam sebuah negara yang menganut demokrasi kandidat politik yang bertarung dijamin oleh undang-undang kebebasan berpendapat. Di Indonesia kampanye negatif pada dasarnya masih diperbolehkan oleh negara. Menurut Guru BesarIlmu hukumUniversitas IndonesiaTopo Santoso Pasal 280 ayat (1) huruf c dan Pasal 521 dalam Undang-Undang Pemilihan Umum hanya melarang kampanye hitam, bukan kampanye negatif. Menurut Topo, kampanye negatif yang berdasar pada argumen kerap digunakan untuk mendelegitimasi lawan, misalkan soal hutang luar negeri, penegakkan hukum, pengelolaan pendidikan dan kesehatan, dan sebagainya yang memang datanya bisa diperoleh secara sah.[3]
Namun kampanye negatif bukan tanpa resiko. Para target kampanye negatif bisa saja menyerang balik pelaku kampanye negatif, sehingga yang terjadi kemudian bukan diskursus gagasan untuk masa depan, melainkan mengungkit-ungkit kesalahan lawan politik dan mengeksploitasinya. Contohnya dalam Pemilihan umum Presiden Indonesia 2024 lalu kampanye negatif yang umum antara lain:
Namun kampanye negatif memiliki sisi positif yang dapat dimanfaatkan dalam iklim demokratis. Kampanye negatif bisa membantu konstituen untuk memilih pasangan calon mana yang sekiranya "lebih baik" atau calon mana yang harus dihindari karena "lebih buruk", meskipun ini menjadi apa yang disebut sebagai politik lesser evil.[7][8]