Kabut Arktik adalah fenomenakabutmusim semi coklat kemerahan yang terjadi di atmosfer pada garis lintang yang lebih tinggi akibat adanya polusi udara antropogenik.[1] Perbedaan Kabut Arktik dengan kabut atmosfer yang ada pada tempat lain adalah kemampuan bahan kimia Kabut Arktik yang mampu bertahan di atmosfer dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan polutan lainnya. Tercatat lebih dari 30 hari sisa Kabut Arktik berada di atmosfer udara Kutub di musim semi, hal tersebut terjadi karena curah hujan, salju, dan udara yang rendah untuk dapat menggantikan polutan dari Kabut Arktik.[2][3]
Sejarah
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Utah, Kabut Arktik ditemukan pertama kali pada tahun 1750, atau pada awal Revolusi Industri. Pada saat itu, ada seorang pemburu Paus yang memperhatikan polusi, yang oleh orang Inuit disebut Poo-juk. Selain itu, pernah ada penjelajah dan pahlawan nasional NorwegiaFridtjof Nansen menemukan noda gelap di permukaan es, dalam kunjungannya di garis lintang Kutub Utara. Istilah Kabut Arktik sendiri diciptakan oleh Murray Mitchell Jr.(seorang perwira Angkatan Udara, Amerika Serikat) pada tahun 1956. Dia menggunakan istilah Kabut Arktik untuk menggambarkan pengurangn visibilitas yang tidak biasa dan bertahan selama pengamatannya pada misi pengintaian cuaca, yang disebut Penerbangan Ptarmigan. Selama misi tersebut, Murray Mitchell Jr. melaporkan bahwa kabut telah berada sejauh 3.200 km melintasi cakrawala.[1][2]
Penyebab
Ada banyak penyebab terjadinya Kabut Arktik, antara lain :
Gas rumah kaca dan polusi dari industri.
Emisi kapal yang berlebih.
Asap yang berasal dari kebakaran hutan.
Aerosol atmosfer (nitro oksida, sulfur dioksida).
Polutan zona O (merkuri, aluminium, vanadium, dan mangan).