Hukum Romawi-Belanda (bahasa Belanda: Rooms-Hollands recht, bahasa Afrikaans: Romeins-Hollandse reg) adalah sistem hukum, digagas oleh cendekiawan, dan dibuat oleh hakim berdasarkan hukum Romawi yang diterapkan di Belanda pada abad ke-17 dan ke-18. Dengan demikian, hukum ini adalah ragam dari hukum sipil daratan utama Eropa atau ius commune. Sementara hukum Romawi-Belanda digantikan oleh hukum Napoleon di Belanda tepat pada awal abad ke-19, praktik dan prinsip hukum sistem Romawi-Belanda masih diterapkan secara aktif dan pasif oleh pengadilan di negara-negara yang menjadi jajahan Belanda, atau negara-negara yang dipengaruhi oleh bekas jajahan Belanda: Guyana, Afrika Selatan (dan tetangganya Botswana, Lesotho, Namibia, Eswatini (dulu Swaziland), dan Zimbabwe), Sri Lanka, Indonesia (dan Timor Timur), dan Suriname. Hukum ini juga sangat mempengaruhi hukum Skotlandia.[1] Hukum ini juga sedikit mempengaruhi undang-undang negara bagian New York di Amerika Serikat,[2] terutama dalam kejaksaan (schout-fiscaal).
Sejarah
Hukum Romawi semakin ditinggalkan selama awal Abad Pertengahan. Kitab Undang-Undang Theodosianus dan kutipan dari undang-undang kekaisaran zaman akhir (constitutiones) terkenal di negara-negara Jermanik penerus dan penting untuk mempertahankan prinsip umum hak rakyat yang menerapkan hukum Romawi yang sudah ada sebelumnya ke provinsi Romawi dan hukum Jermanik ke negara-negara Jerman. Breviarium Alaricianum dan Lex Gundobada Romana adalah dua dari beberapa undang-undang campuran Romawi-Jermanik yang memasukkan banyak bahan hukum Romawi. Namun, karena keruntuhan Kekaisaran Romawi Barat mendahului penyusunan Undang-undang Yustinianus, hukum Bizantium awal tidak pernah berpengaruh di Eropa Barat. Juga, banyak dari hukum awal ini kemudian digantikan oleh hukum feodal. Hanya hukum kanonik yang berhasil mempertahankan sejumlah besar hukum Romawi yang berpengaruh.
Ketertarikan pada doktrin para pengacara Bizantium muncul ketika (sekitar 1070 SM) salinan Intisari Kaisar Romawi Timur Yustinianus I menemukan jalannya ke Italia utara. Para cendekiawan di Universitas Bologna yang baru muncul, yang sebelumnya hanya memiliki akses ke sebagian terbatas dari Undang-undang Yustinianus, memicu penemuan kembali intelektual hukum Romawi melalui pengajaran hukum berdasarkan teks-teks hukum Bizantium. Pengadilan secara bertahap menerapkan hukum Bizantium (seperti yang diajarkan di Bologna) pertama sebagai hukum in subsidium yang diterapkan ketika tidak ada undang-undang atau kebiasaan setempat, dan kemudian karena petugas pengadilan (hakim, magistrat, penilai) merasa bahwa konsep hukum yang disempurnakan lebih tepat untuk menyelesaikan kasus-kasus rumit daripada hukum adat di Eropa Barat dan Tengah. Proses ini, yang disebut sebagai resepsi, terjadi di Kekaisaran Romawi Suci dan negara-negara pesisir Laut Tengah pada abad ke-13 hingga ke-14, tetapi jauh lebih lambat sampai ke Eropa utara (yaitu Sachsen, Prancis utara, Negara-negara Dataran Rendah, dan Skandinavia).
Pada abad ke-15, resepsi in complexu mencapai Belanda saat itu dikaitkan dengan Kekaisaran Romawi Suci. Sementara pengacara-pengacara Italia (mos italicus) adalah yang pertama berkontribusi pada yurisprudensi baru berbasis Bizantium, pada abad ke-16, cendekiawan doktrinal humanistik Prancis (mos gallicus) paling berpengaruh. Pada abad ke-17 dan ke-18, Belanda yang memiliki pengaruh paling besar. Anggota Hollandse Elegante School (“sekolah yurisprudensi elegan”; 1500–1800) termasuk Hugo Grotius, Johannes Voet, Ulrich Huber, Gerard Noodt, J., dan F. van de Sande. Para sarjana ini berhasil menggabungkan hukum Romawi dengan konsep hukum yang diambil dari hukum adat tradisional feodal Belanda, khususnya dari provinsi Holandia. Campuran yang dihasilkan didominasi Romawi, tetapi mengandung beberapa fitur yang khas Belanda: hibrida ini dikenal sebagai hukum Romawi-Belanda. Belanda menerapkan sistem hukum mereka di imperium jajahan mereka. Dengan demikian, cabang hukum sipil (atau ius commune) khas Belanda mulai diterapkan di tempat-tempat yang jauh, misalnya Hindia Belanda, Hindia Barat Belanda, Tanjung Harapan, dan Sailan.[3]:156–157
Di Belanda, hukum Romawi-Belanda tiba-tiba berakhir ketika, pada tahun 1809, ketika negara boneka Kerajaan Hollandia menerapkan undang-undang Napoleon dari Prancis, sistem yang berbeda tetapi tetap merupakan cabang dari hukum sipil. Namun, Britania menghormati hukum Romawi-Belanda yang ada pada saat itu bekas jajahan Belanda yang menjadi kekuasaan Britania, seperti Guyana, Sailan, dan Afrika Selatan. Akibatnya, hukum Romawi-Belanda berhasil bertahan, biasanya dalam bentuk campuran dengan hukum Inggris, atau dikenal sebagai “Hukum Inggris-Romawi”.
Sekarang
Pengaruhnya tetap ada di bekas wilayah yang dikuasai Belanda di Amerika Selatan dan sangat mempengaruhi bekas koloni Belanda seperti Afrika Selatan, Guyana dan pada tingkat lebih rendah Sri Lanka. Hukum Romawi Belanda tidak dipertahankan di koloni Belanda yang tidak diambil alih oleh Inggris. Suriname mengadopsi KUHPerdata Suriname (Surinaams Burgerlijk Wetboek) pada tahun 1869. KUHPerdata Suriname sama dengan KUHPerdata Belanda Lama (Oud Burgerlijk Wetboek) pada tahun 1838. Suriname meraih kemerdekaannya dari Belanda pada tahun 1975. Secara demokratis- Presiden dan Parlemen terpilih, dan peradilan yang independen. Sistem hukumnya didasarkan pada KUHPerdata Suriname dan bahasa resminya adalah bahasa Belanda. Sebaliknya, di Guyana, asas-asas hukum Romawi-Belanda masih berpengaruh dalam hukum pertanahan, misalnya istilah benda bergerak dan tidak bergerak sebagai lawan dari harta pribadi dan harta benda. Ini terlepas dari pemberlakuan Hukum Perdata Ordonansi Guyana pada tahun 1917 yang mendukung sistem hukum umum gaya Inggris.[4]
Belanda berpartisipasi dalam seminar dan program pelatihan internasional yang diselenggarakan oleh organisasi mitra internasional, mulai dari seminar dua hari hingga program dua minggu untuk berbagai profesional hukum di seluruh dunia. Program telah dikembangkan untuk Suriname, Aruba, Sint Maarten, dan Indonesia.
Lihat pula
Referensi
Catatan kaki
- ^ John W. Cairns, “Importing our Lawyers from Holland: Netherlands Influences on Scots Law and Lawyers in the Eighteenth Century”, in Scotland and the Low Countries, 1124–1994, ed. G. G. Simpson (East Linton: Tuckwell, 1996), 136; reprinted in Law, Lawyers, and Humanism: Selected Essays on the History of Scots Law, vol. 1 (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015).
- ^ Bielinski, Stefan (April 1979). "The Schout In Rensselaerswijck: Conflict Of Interests". Colonial Albany Social History Project. Diakses tanggal 2011-02-25.
- ^ Smits, J.M. (2002). The Making of European Private Law: Towards a Ius Commune Europaeum As a Mixed Legal System. Intersentia.
- ^ J. M. Smits (2002). The Making of European Private Law: Toward a Ius Commune Europaeum as a Mixed Legal System. Intersentia nv. hlm. 139. ISBN 978-90-5095-191-3.
Daftar pustaka
- Govaert C.J.J. van den Bergh. Die holländische elegante Schule: Ein Beitrag zur Geschichte von Humanismus und Rechtswissenschaft in den Niederlanden 1500–1800. Frankfurt: Klostermann, 2002.
- Robert Feenstra & Reinhard Zimmermann, eds. Das römisch-holländische Recht: Fortschritte des Zivilrechts im 17. und 18. Jahrhundert. Berlin 1992, ISBN 3-428-07465-3 (collection of papers, some in English).
- Robert Warden Lee. An Introduction to Roman-Dutch Law, 5th edn. Oxford: Clarendon, 1953.
- Jan H.A. Lokin, Frits Brandsma & Corjo Jansen. Roman-Frisian Law of the 17th and 18th Century. Berlin: Duncker & Humblot, 2003.
- Johannes Wilhelmus Wessels & Michael H Hoeflich. History of the Roman-Dutch Law. Grahamstown, Cape Colony, South Africa: African Book Co., 1908.
- Reinhard Zimmermann, The Law of Obligations. Cape Town 1990. Reprinted Muenchen, Cape Town 1992, ISBN 3-406-37246-5 (a comparative overview of the law of obligations with a lot of information on the substantive rules of Roman-Dutch law).
- Reinhard Zimmermann. “Römisch-holländisches Recht”, in Handwörterbuch des Europäischen Privatrechts (HWP EuP 2009) (online), eds. Jürgen Basedow, Klaus J. Hopt, & Reinhard Zimmermann.
Pranala luar