Hak-hakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “hak” yang artinya memiliki.[1] Istilah ‘hak’ diartikan sebagai tekanan pada setiap gerakan disertai senggakan yang diucapkan para penari pada batas akhir nyanyian secara serentak.[2] Hak-hakan adalah tradisi dari Wonosobo yang dikenal sejak tahun 1921 yang berkaitan dengan masalah pertanian yang ada di Dusun Kaliyoso, Desa Tegalombo, Kecamatan Kalijajar.[3]
Berawal dari sebuah dusun yang ditempati beberapa keluarga memiliki masalah dengan keberadaan air selama mereka bercocok tanam. Mereka pun mengadakan musyawarah dan mencari sumber air hingga ke daerah Muncar. Sumber air yang ditemukan diberi nama sumber buda, yaitu sumber air yang dibuat saluran menuju daerah mereka. Pembuatan saluran ini tidak semudah yang dibayangkan. Mereka bekerja keras meratakan gunung dan tanah miring, menyingkirkan batu besar dan membersihkan pohon yang menghalangi jalur air. Hingga akhirnya air pun dapat dialirkan ke daerah mereka. Saluran tersebut dinamai “Kaliyoso” yang berarti sungai yang dibuat bersama. Tanah pertanian menjadi subur dan berangsur-angsur daerah tersebut menjadi perkampungan yang ramai. Perkampungan ini akhirnya dinamai juga “Kaliyoso” sama seperti saluran air yang dibuat.[4]
Sebagai wujud syukur, mereka merefleksikan kegembiraannya dengan tradisi hak-hakan yang dilaksanakan setiap tahun, namun tidak ada ketetapan waktu dalam pelaksanaannya. Biasanya dilaksanakan setelah panen berakhir.[5]
Tahapan
Adapun tahapan tradisi hak-hakan sebagai berikut:
- Ziarah
- Tradisi hak-hakan diawali dengan melakukan ziarah ke petilasan dan makam para leluhur. Hal ini bertujuan untuk mengenang kembali jasa para pendahulunya yang telah berjuang untuk memakmurkan masyarakat Kaliyoso.[5]
- Pementasan seni tayub
- Seni tayub dalam tradisi hak-hakan merupakan suatu keharusan sebagai pesan para pendahulu agar selalu diikutsertakan. Selama pementasan seni tayub ada yang disebut nyawanggati (para warga yang membawa anak balitanya). Yakni mereka yang telah bernazar, misalnya “besok kalau merti dusun anak ini akan saya bawa ke tayuban”. Di sini mereka akan meminta tledhek (penyanyi tayub) menyanyi dan menari diperuntukkan bagi anak balitanya yang semata-mata untuk menghindari sawan (musibah) dan setelahnya akan memberi imbalan yang disebut saweran.[5]
- Pementasan tari kolosal
- Pementasan tari didahului upacara sederhana dengan menyiapkan sesaji yang diarak dari rumah kepala dusun menuju ke tempat pementasan. Adapun tarian itu berupa gerakan membabad hutan, membuat bendungan, membuat selokan, dan membersihkan selokan. Setiap tahap dalam tarian ini ditandai dengan senggakan alok-alok huse.[5]
- Pementasan wayang kulit
- Dalam pementasannya, ada cerita atau lakon yang dipentaskan yang dinamakan “Rama Tambak”. Dalam lakon ini dalang harus mengerti kemauan dari masyarakat Kaliyoso, yakni musuh-musuh Sri Rama harus bisa dikalahkan bahkan harus mati. Di sini ada kekhawatiran dari kepercayaan masyarakat setempat, yakni jika prajurit dari Alengka tidak dapat dikalahkan maka bendungan dan selokan yang mereka miliki akan mengalami kerusakan. Pementasan wayang dimulai pukul 22.00-05.00 WIB. Rangkaian tradisi hak-hakan ditutup dengan pengajian yang bertempat di Masjid Dusun Kaliyoso.[5]
Manfaat
Tradisi hak-hakan memiliki manfaat yaitu:
- Pelestarian lingkungan alam
- Tradisi hak-hakan dikatakan sebagai simbol dalam melestarikan alam, yakni wujud syukur akan keberadaan air dipermukaan bumi ini.
- Pelestarian budaya
- Dengan dilaksanakannya tradisi hak-hakan di setiap tahunnya diharapkan dapat menjadi warisan budaya bagi generasi muda. Hal ini karena tradisi hak-hakan diibaratkan sebagai gambaran perjalanan hidup manusia yang kesemuanya adalah anugerah Tuhan untuk dilestarikan.[5]
Referensi