Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (disingkat GMNI atau, menurut gaya penulisan pada lambang, GmnI) adalah salah satu organisasimahasiswaekstrakampus yang terdapat hampir di seluruh Indonesia, terutama kota atau kabupaten yang memiliki perguruan tinggi. GMNI berdiri pada 23 Maret 1954 di Surabaya (gagasannya lahir di Jakarta). GMNI merupakan organisasi hasil dari penggabungan atau peleburan (fusi) dari tiga organisasi mahasiswa yang telah berdiri sebelumnya yakni; Gerakan Mahasiswa Marhaen (berbasis di Yogyakarta), Gerakan Mahasiswa Merdeka (berbasis di Surabaya), dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (berbasis di Jakarta).[1][2][3][4].
Pasca Kongres Ambon 2019, struktur Dewan Pimpinan Pusat (DPP) GMNI mengalami perpecahan dan menimbulkan dualisme kepemimpinan pada periode kepengurusan 2019-2022 yaitu: kubu Ketua Umum Imanuel Cahyadi dan Sekretaris Jenderal Soejahri Somar dan kubu Ketua Umum Arjuna Putra Aldino dan Sekretaris Jenderal M. Ageng Dendy Setiawan. Namun setelah kemelut kedua kubu, Kemenkumham Republik Indonesia mengakui kepengurusan kubu Arjuna dengan diterbitkannya Surat Keputusan (SK) dengan nomor AHU-0000510.AH.01.08.Tahun 2020 lalu.[5]
Sejarah
Gagasan untuk melakukan peleburan muncul pertama kali dari ketua Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia, S.M. Hadiprabowo pada September 1953, gagasan itu disambut oleh Soetojo Prawiromidjojo, tokoh dari Gerakan Mahasiswa Merdeka. Didasari keinginan untuk menyatukan organisasi-organisasi mahasiswa nasionalis, S. M Hadiprabowo kemudian mengatur pertemuan dengan pimpinan dua organisasi lainnya. Hadiprabowo kemudian bertemu dengan Slamet Djajawidjaja, Slamet Rahardjo, dan Haruman dari Gerakan Mahasiswa Merdeka. Ia kemudian bertemu Wahyu Widodo, Subagio Masrukin, dan Sri Sumantri dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis.[1][3][6]
Pimpinan ketiga organisasi akhirnya setuju untuk mengadakan pertemuan. Pertemuan diadakan di rumah dinas Walikota Jakarta (setara dengan Gubernur Jakarta saat ini), Soediro. Dalam pertemuan tersebut, ketiga organisasi berhasil mencapai kesepakatan untuk berfusi, baik secara organisasi maupun secara ideologi. Dalam pertemuan tersebut, nama Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dipilih sebagai nama organisasi hasil fusi, disepakati pula nasionalisme dan marhaenisme menjadi ideologi GMNI. Selain dua hal tersebut, pertemuan juga memutuskan Kongres I GMNI akan diadakan di Surabaya.[1]
Pada 23 Maret 1954, Kongres I GMNI diadakan dengan restu langsung dari Presiden Soekarno. Kongres I menetapkan S.M Hadiprabowo sebagai ketua pertama GMNI.[1] Tanggal tersebut juga dipatenkan sebagai hari lahir GMNI dan diperingati sebagai dies natalis atau hari kelahiran GMNI.
Karena adanya kesamaan ideologi dan pengaruh dari Soekarno dan tokoh politik nasionalis, GMNI kemudian perlahan-lahan menjadi underbow dan berafiliasi menjadi sayap mahasiswa dari Partai Nasional Indonesia (PNI), partai yang dibentuk dan dipimpin oleh Soekarno.[3] Namun, hubungan antara PNI dengan GMNI secara resmi putus setelah rezim Orde Baru melaksanakan kebijakan fusi partai pada 1973, di mana PNI digabung dengan partai nasionalis lain ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Lambang
Bentuk
Lambang GMNI berbentuk perisai dengan enam sudut, tiga sudut di atas dan tiga lagi di bawah. Tiga sudut di atas melambangkan tiga sila (trisila) marhaenisme - ideologi yang diciptakan oleh Soekarno dan menjadi ideologi yang dianut secara resmi oleh organisasi -[7] yakni Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan.[8] Sementara 3 sudut di bawahnya melambangkan tridharma perguruan tinggi, yakni: pendidikan, penelitian, dan pengabdian.[9]
Elemen
Warna merah dan putih merupakan representasi dari Bendera Merah Putih, merah berarti berani dan putih berarti suci, sementara hitam berarti keteguhan. Bintang melambangkan keluhuran cita-cita. Banteng adalah simbol dari rakyat marhaen, yang berarti GMNI ada untuk membela kaum marhaen.
Tokoh
Sebagai salah satu organisasi mahasiswa di Indonesia yang sudah cukup tua, GMNI juga turut berkontribusi dalam menghasilkan kader-kader yang tersohor.[10] Berikut ini adalah beberapa nama alumni GMNI yang menjadi tokoh nasional:
^Kuswono (2016), hlm. 123: "Ajaran marhaenisme telah dicetuskan pada tahun 1927 suatu ajaran yang menurut Sukarno mengandung ilmu revolusioner untuk menggalang persatuan kaum Marhaen. Marhaen mulai mencuat ketika Sukarno melakukan pembelaannya..."
^Presidium GMNI (2013), hlm. 16: "Marhaenisme, yaitu: (a) Sosio-nasionalisme, yang berarti GMNI berfaham nasionalisme, tetapi nasionaisme yang memiliki watak sosial, nasionalisme yang ditempatkan diatas nilai-nilai kemanusiaan. (b) Sosio-demokrasi, bahwa GMNI menghendaki demokrasi yang memiliki watak sosial artinya demokrasi politik, tapi juga demokrasi ekonomi, bukan demokrasi cangkokan yang tidak sesuai dengan akar sejarah dan budaya masyarakat Indonesia. Tapi demokrasi yang menyelamatkan seluruh kaum marhaen. (c) Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa GMNI meyakini akan eksistensi Tuhan, anggota GMNI adalah manusia yang theis."
^"GMNI". Scribd. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-27. Diakses tanggal 2019-11-12.