Gerakan 4 Mei

Monumen Gerakan 4 Mei di Distrik Dongcheng, Beijing
Gerakan 4 Mei
Hanzi tradisional: 五四運動
Hanzi sederhana: 五四运动

Gerakan 4 Mei (Hanzi: 五四運動; Pinyin: Wǔsì Yùndòng) adalah sebuah gerakan anti-imperialis, kultural, dan politik, yang tumbuh dari para partisipan mahasiswa di Beijing pada 4 Mei 1919. Mereka memprotes respon lemah pemerintah Tiongkok terhadap Perjanjian Versailles, terutama karena mengizinkan Jepang untuk memperoleh wilayah di Shandong yang telah diserahkan oleh Jerman setelah Pengepungan Tsingtao. Gerakan ini memicu protes nasional dan menandai bangkitnya nasionalisme Tiongkok, yaitu berupa sebuah pergeseran menuju mobilisasi politik serta jauh dari aktivitas budaya, dan sebuah langkah menuju basis populis ketimbang elite intelektual. Banyak pemimpin politik dan sosial pada dekade berikutnya yang muncul saat gerakan ini.

Istilah "Gerakan 4 Mei" dalam pengertian yang lebih luas sering mengacu pada periode 1915-1921, yang lebih sering disebut Gerakan Kebudayaan Baru.

Latar belakang

Para mahasiswa di Beijing berunjuk rasa selama Gerakan 4 Mei

"Atmosfer dan suasana politik yang muncul sekitar tahun 1919," dalam kata-kata Mitter (2004), "berada di pusat serangkaian gagasan yang telah membentuk Tiongkok abad kedua puluh yang sangat penting."[1] Setelah Revolusi Xinhai pada tahun 1911, Dinasti Qing hancur. Hal ini menandai berakhirnya ribuan tahun pemerintahan kekaisaran yang hebat dan secara teoretis mengantarkan era baru yaitu kekuasaan politik berada di tangan rakyat. Namun, pada kenyataannya adalah Tiongkok merupakan negara yang terpecah-pecah yang didominasi oleh para panglima perang, yang lebih memerhatikan kekuasaan politik dan tentara pribadi mereka sendiri daripada kepentingan nasional.[2] Pemerintahan Beiyang Tiongkok dijajah dengan ditekannya urusan dalam negeri dan tidak dapat berbuat banyak untuk menentang pengaruh dari kekuatan asing.[3]

Masalah Shandong

Tiongkok ketika Perang Dunia I bersedia berada di pihak Sekutu Entente Tiga pada tahun 1917, dengan syarat bahwa semua daerah yang berada di bawah Imperium kolonial Jerman, seperti Shandong, akan dikembalikan ke Tiongkok. Meskipun pada tahun itu, sebanyak 140.000 pekerja Tiongkok (sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata Britania Raya dan Federasi Serikat Buruh Tiongkok) dikirim ke Prancis,[4] Perjanjian Versailles pada April 1919 memberikan hak Jerman di Provinsi Shandong kepada Jepang. Perwakilan dari pemerintah Tiongkok mengajukan permintaan berikut:

  1. penghapusan semua hak istimewa kekuatan asing di Tiongkok, seperti wilayah ekstrateritorial.
  2. membatalkan Dua Puluh Satu Tuntutan dengan pihak Jepang.
  3. wilayah dan hak Shandong dikembalikan ke Tiongkok, yang dulu diambil Jepang dari Jerman selama Perang Dunia I.

Sekutu Barat mendominasi pertemuan di Versailles, namun hanya sedikit yang memberi perhatian terhadap permintaan Tiongkok tersebut. Terutama Britania Raya dan Prancis yang lebih tertarik untuk menghukum Jerman. Meskipun Amerika Serikat mempromosikan Empat Belas Pasal Woodrow Wilson dan cita-cita hak menentukan nasib sendiri, mereka tidak dapat mewujudkan cita-cita ini karena menghadapi perlawanan keras kepala dari David Lloyd George, Georges Clemenceau dan Kongres Amerika Serikat. Usulan Amerika Serikat tentang hak penentuan nasib sendiri di Liga Bangsa-Bangsa sangat menarik bagi para cendekiawan Tiongkok, akan tetapi kegagalan mereka untuk menindaklanjuti, dipandang sebagai suatu pengkhianatan. Kegagalan diplomatik Tiongkok pada Konferensi Perdamaian Paris 1919 memicu terjadinya Gerakan 4 Mei, dan dikenal sebagai Masalah Shandong.

Hari unjuk rasa

Pada pagi hari tanggal 4 Mei 1919, perwakilan mahasiswa dari tiga belas universitas lokal yang berbeda bertemu di Beijing dan menyusun lima resolusi:

  1. menentang pemberian Shandong kepada Jepang di bawah bekas konsesi Jerman.
  2. menarik perhatian dan meningkatkan kesadaran tentang posisi genting Tiongkok terhadap massa di Tiongkok.
  3. merekomendasikan pertemuan skala besar di Beijing.
  4. mempromosikan pembentukan serikat mahasiswa Beijing.
  5. mengadakan unjuk rasa pada sore itu sebagai protes terhadap ketentuan Perjanjian Versailles.
Para pengunjuk rasa tidak puas dengan Perjanjian Versailles untuk Tiongkok
Para mahasiswa Universitas Tsinghua membakar barang-barang buatan Jepang
Para mahasiswa Universitas Normal Beijing yang ditangkap oleh pemerintah pada saat Gerakan 4 Mei

Pada sore hari tanggal 4 Mei, lebih dari 4.000 mahasiswa Universitas Yenching, Universitas Peking dan sekolah lainnya berbaris dari banyak titik untuk berkumpul di depan Tiananmen. Mereka meneriakan slogan-slogan seperti "berjuangan untuk kedaulatan secara eksternal", "lenyapkan para pengkhianat nasional di tanah air", singkirkan Dua Puluh Satu Tuntutan, dan jangan menandatangani Perjanjian Versailles.

Mereka menyuarakan kemarahan mereka karena pengkhianatan Sekutu terhadap Tiongkok, mengecam ketidakmampuan pemerintah untuk melindungi kepentingan Tiongkok, dan menyerukan boikot produk Jepang. Para demonstran juga menuntut pengunduran diri tiga pejabat Tiongkok yang mereka tuduh telah bekerja sama dengan pihak Jepang. Setelah membakar tempat tinggal para pejabat tersebut dan memukuli beberapa pekerja rumah tangga mereka, para mahasiswa pengunjuk rasa ditangkap, dipenjara, dan dipukuli habis-habisan.[5]

Keesokan harinya, para mahasiswa di Beijing melakukan mogok kerja massal dan di kota-kota besar di seluruh Tiongkok, para siswa, para pedagang berjiwa patriotik, dan para pekerja bergabung dalam unjuk rasa. Para pengunjuk rasa dengan cekatan menarik perhatian redaksi berbagai surat kabar dan mengirim perwakilan untuk membawa berita tentang aksi ini ke seluruh pelosok negeri. Sejak awal Juni, para pekerja dan pengusaha di Shanghai juga melakukan mogok kerja ketika pusat gerakan bergeser dari Beijing ke Shanghai. Rektor dari tiga belas universitas mengatur pembebasan tahanan mahasiswa dan Cai Yuanpei, Rektor Universitas Peking mengundurkan diri sebagai bentuk unjuk rasa.

Surat kabar, majalah, perkumpulan warga, dan kamar dagang menawarkan dukungan bagi para mahasiswa. Pedagang mengancam akan menahan pembayaran pajak jika pemerintah Tiongkok tetap keras kepala.[6] Di Shanghai, mogok massal yang dilakukan para pedagang dan pekerja hampir menghancurkan seluruh ekonomi Tiongkok.[5] Di bawah tekanan publik yang sedemikian kuat, pemerintah Beijing akhirnya membebaskan para mahasiswa yang ditangkap dan memecat Cao Rulin, Zhang Zongxiang dan Lu Zongyu yang dituduh telah bekerja sama dengan pihak Jepang. Perwakilan Tiongkok di Paris menolak menandatangani Perjanjian Versailles: Gerakan 4 Mei berhasil meraih kemenangan awal yang terutama bersifat simbolis, karena Jepang pada saat itu tetap memegang kendali atas Semenanjung Shandong dan pulau-pulau di Pasifik. Bahkan sebagian keberhasilan dari gerakan tersebut menunjukkan kemampuan kelas sosial Tiongkok di seluruh negeri telah berhasil mengolaborasikan motivasi dan kepemimpinan yang tepat.[5]

Referensi

  1. ^ Mitter, R. A Bitter Revolution: China's Struggle with the Modern World (2004), p.12
  2. ^ Cambridge International AS Level International History 1871-1945 Coursebook, Phil Wadsworth, p. 109
  3. ^ Rana Mitter. A Bitter Revolution: China's Struggle with the Modern World. (Oxford; New York: Oxford University Press, 2004), p. 12.
  4. ^ Guoqi Xu. Orang Asing di Front Barat: Pekerja Tiongkok dalam Perang Besar. (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 2011. ISBN 9780674049994), hlm. 1-9, dan passim .
  5. ^ a b c Wasserstrom, Jeffrey N. "Chinese Students and Anti-Japanese Protests, Past and Present". World Policy Journal. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-05. Diakses tanggal Nov 18, 2008. 
  6. ^ Hao, Zhidong. "May 4th and June 4th Compared: A Sociological Study of Chinese Social Movements". Journal of Contemporary China. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-01. Diakses tanggal 2008-11-21. 

Sumber buku

  • Chow Tse-Tsung: The May Fourth Movement. Intellectual Revolution in Modern China (Cambridge/Mass.: Harvard University), 1960.
  • Hao, Zhidong, "May 4th and June 4th Compared: A Sociological Study of Chinese Social Movements." Journal of Contemporary China 6.14 (1997): 79-99.
  • Lee, Haiyan, "Tears that Crumbled the Great Wall: The Archaeology of Feeling in the May Fourth Folklore Movement." Journal of Asian Studies 64.1 (2005): 35-65.
  • Ping, Liu, "The Left Wing Drama Movement in China and Its Relationship to Japan." Positions: East Asia Cultures Critique 14.2 (2006): 449-466.
  • Schoppa, R. Keith, "Constructing a New Cultural Identity: The May Fourth Movement." Revolution and Its Past: Identities and Change in Modern Chinese History (Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice Hall), 2006, 162-180.
  • Schwarcz, Vera: The Chinese enlightenment: intellectuals and the legacy of the May Fourth Movement of 1919 (1986). Berkeley: University of California Press.
  • Spence, Jonathan D. The Search for Modern China. ISBN 0-393-30780-8 New York: Norton, 1999.
  • Wasserstrom, Jeffrey N., "Chinese Students and Anti-Japanese Protests, Past and Present" World Policy Journal 22.2 (2005): 59-65.
  • Zarrow, Peter, "Intellectuals, the Republic, and a new culture", in Zarrow, Peter: China in war and revolution, 1895-1949 (New York: Routledge), 2005, 133-143.
  • Zarrow, Peter, "Politics and culture in the May Fourth Movement", in Zarrow, Peter: China in war and revolution, 1895-1949 (New York: Routledge), 2005, 149-169.

Pranala luar