Konsonan dari bahasa Melayu Standar[1] dan juga bahasa Indonesia[2] ditunjukkan pada tabel dibawah. Konsonan non asal dari bahasa ini yang hanya terjadi pada kata-kata yang dipinjam dari bahasa Arab dan Inggris ditulis dalam tanda kurung. Beberapa analisa menyebutkan bahwa terdapat 19 "konsonan primer" untuk bahasa Melayu sebagai 18 simbol yang tidak terdapat dalam tanda kurung dalam tabel ini, termasuk hentian glotis
[ʔ].[3][4]
/p/, /t/, /k/ merupakan konsonan yang tidak teraspirasikan, seperti dalam rumpun bahasa Roman. Dalam koda suku kata, konsonan ini merupakan konsonan dengan pelepasan non suara, dan /k/ akhir kata merupakan hentian glotis dalam kata-kata bahasa asli. Tidak ada Liaison dan bahkan tidak ada pelepasan penyuaraan saat diikuti oleh vokal pada kata selanjutnya, seperti dalam "kulit ubi", walaupun konsoanan ini diucapkan sebagai konsonan medial normal jika diikuti oleh suffiks.
/t/ merupakan konsonan gigi, yakni [t̪] Dalam banyak varietas bahasa Melayu[1] dan dalam bahasa Indonesia.[2]
Konsonan hentian glotis /ʔ/ dapat direpresentasikan dengan tanda petik dalam kata yang berasal dari bahasa Arab, seperti Al Qur'an. Dalam beberapa kata seperti "terulang" /ˈtərʔulaŋ/ diambil dari kata inisial vokal dengan sebuah prefiks, jadi, hentian glotis tidak dituliskan dalam penulisanya.
/h/ diucapkan secara jelas diantara vokal, seperti dalam "Pahang", sementara dalam penempatan lain, konsonan ini memiliki suara sangat lemah dan bahkan bisa menjadi konsonan diam, seperti dalam hutan ~ utan ('hutan'), sahut ~ saut ('menjawab'). Pengecualian dari sistem suara ini adalah konsonan inisial /h/ dari kata pinjam bahasa Arab seperti "hakim".
Pengucapan /r/ berbeda secara signifikan antar dialek. Bahkan terdapat pengucapan r yang dikiuti oleh pepet dapat mengalami suatu ambigu suara, seperti "kertas" yang dapat diucapkan sebagai [krəˈtas] atau [kərəˈtas]. Getaran pada /r/ terkadang dapat dikurangi menjadi getaran tunggal, dan menjadikannya sebagai konsonan kepak[ɾ] secara fonerik, jadi pengucapan /r/ tunggal beragam antara getar [r], kepak [ɾ] dan dalam beberapa kasus dapat menjadi konsonan hampiran paska rongga-gigi [ɹ̠].
Konsonan hentian /b/ dan /d/ mengalami pengurangan penyuaraan pada posisi akhir kata (seperti, "sebab" [səˈbap̚], "masjid" [ˈmäsdʒit̚]), walaupun bahasa Melayu pada dasarnya menghindari pengurangan suara dari fonem. Terkadang disebutkan bahwa pengurangan penyuaraan merupakan bentuk tidak standar dan kata tersebut seharusnya diucapkan sebagaimana yang tertulis.[5]
/f/, /v/, /z/, /ʃ/, /ð/ dan /θ/ hanya terdapat pada kata pinjam. Beberapa penutur mengucapkan /v/ dalam kata pinjam seperti [v], jika tidak, maka konsonan ini merupakan [f]. [z] juga dapat djucapkan sebagai alofoni sebelum konsonan bersuara. Karena /ð/ dan /z/ ditulis identik satu sama lainnya dalam bahasa melayu, seperti halnya dengan /θ/ dan /s/, /ð/ dan /θ/ dikarenakan hanya penutur yang dapat menuturkan bahasa di mana kata tersebut diambil (Arab dan Inggris) yang paham dan mengerti apakah konsonan ini merupakan konsonan gigi, ataupun rongga-gigi.
Suara direpresentasikan secara ortografik oleh simbol fonem konsonan tersebut, kecuali:
/ɲ/ ditulis sebagai ⟨ny⟩ sebelum vokal, ⟨n⟩ sebelum ⟨c⟩ dan ⟨j⟩
/ð/ ditulis sebagai ⟨z⟩ dan ditranskripsikan menjadi /z/
/θ/ ditulis sebagai ⟨s⟩ dan ditranskripsikan menjadi /s/. Sebelum 1972, suara ini ditulis sebagai ⟨th⟩ dalam bahasa melayu Standar, tetapi ini tidak berlaku pada bahasa Indonesia.
Fonem yang terjadi hanya dalam kata pinjam bahasa Arab mungkin diucapkan berbeda oleh penutur yang mengerti bahasa Arab, jika tidak, konsonan ini akan disubtitusikan sebagai suara bahasa asli.
Hukum suara dari kata kerja dan kata benda dari bahasa Melayu adalah asimilasi dari konsonan sengau di akhir prefiks derivasional verbal "meng-" /məŋ/, dan prefiks nominal "peng-" /pəŋ/.
Segmen sengauan diletakkan sebelum konsonan sonoran (sengauan /m,n,ɲ,ŋ/, likuida /l,r/, dan hampiran /w,j/). Prefiks ini mengalami peluruhan sebelum dan berasimilasi dengan konsonan obstruen: dwibibir /m/ sebelum /p,b/, konsonan rongga-gigi /n/ sebelum /t,d/, Konsonan paska rongga-gigi /ɲ/ sebelum /tʃ,dʒ/ dan /s/, konsonan langit-langit belakang /ŋ/ sebelum suara lainnya (/k,ɡ/, konsonan celah-suara /h/, dan semua vokal).[catatan 1]
Sebagai tambahan, obstruen nirsuara selain /tʃ/ (yakni /p,t,s,k/), diluluhkan, kecuali sebelum prefik kausatif per- di mana konsonan pertama tidak meluluh. Fonem ini kehilangan sifatnya dalam kaidah KPST.[6]
"Meng-" dapat menghasilkan derivasi berikut:
Akar kata
Derivasi meng-
"masak"
"memasak"
"nanti"
"menanti"
"layang"
"melayang"
"rampas
merampas"
"beli"
"membeli"
"dukung"
"mendukung"
"jawab"
"menjawab" (/məɲ/-)
"gulung"
"menggulung"
"hantar"
"menghantar"
Akar kata
Derivasi meng-
"ajar"
"mengajar"
"isi"
"mengisi"
"pilih"
"memilih"
"tulis"
"menulis"
"cabut"
"mencabut" (/məɲ/-)
"kenal"
"mengenal"
"surat"
"menyurat"
Vokal
Biasanya disebutkan bahwa terdapat enam vokal dalam bahasa Melayu standar[1][7] dan dalam bahasa Indonesia.[2] Enam vokal ini ditunjukkan di tabel dibawah. Walaupun, analisa lainnya menunjukkan sistem kotak fonem vokal dengan vokal setengah terbuka /ɛ/ dan /ɔ/.[8]
Satu titik sumber variasi dalam bahasa Melayu yakni pengucapan /a/ akhir dalam suku kata terbuka akhir dari akar morfem (sebagai contoh, "saya") dapat diucapkan sebagai [a] ataupun sebagai [ə]. Varietas pengucapan ini disebut sebagai "varietas-a", seperti dalam bahasa Indonesia atau dalam pengucapan Serawak, Sabah, Brunei dan Malaysia bagian barat laut mengungkapkan vokal ini sebagai [a], sementara "varietas pepet" atau "varietas schwa" seperti dalam beberapa varietas Bahasa Malaysia Barat (seperti Bahasa Melayu Terengganu dan aksen Kuala Lumpur/Selangor) dan varietas Singapura dan Sumatra mengucapkan vokal ini sebagai [ə].[1][9] dalam varietas pepet, /a/ dari suku kata penultimasi juga berubah menjadi pepet jika diikuti oleh /h/, seperti dalam "usaha" [usəhə]. /a/ tidak diubah menjadi [ə] dalam menyanyi. Terdapat juga varietas bahasa Melayu di mana akhiran vokal terbuka /a/ tidak diucapkan seperti dalam dua varietas sebelumnya, seperti dalam bahasa Melayu Kelantan-Pattani di mana dalam varietas ini, /a/ diucapkan sebagai vokal takbulat terbuka belakang [ɑ].
Dalam suku kata terakhir yang menggunakan vokal tertutup dari akar morfem, vokal depan /i/ dan vokal belakang /u/ biasanya diucapkan sebagai [ɪ], [e̞] atau [e] dan [ʊ], [o̞] atau [o], dalam bahasa Melayu Malaysia barar, Singapura, dan Sumatra (di mana bahasa tersebut merupakan bahasa ibu),[1] dan [ɪ] dan [ʊ] dalam bahasa Indonesia.
Alofoni diaras tidak berdiri sendiri, vokal [e] dan [o] haruslah ditemani dengan status fonemik, sebagaimana vokal ini terjadi dalam kata-kata natif dari semua dialek Melayu dan dalam kata pinjam yang berasal dari Bahasa Arab, Persia, Portugis, Inggris, Belanda, dan Jawa. /e/ dan /o/ mungkin berbeda tergantung penutur sebagaimana vokal ini diucapkan sebagai vokal tengah dalam bahasa Melayu dan Vokal setengah tertutup dalam bahasa Indonesia. /i/ dan /u/ diucapkan sama dalan Brunei dan Malaysia Timur (Sabah dan Serawak).
Akhiran kata [e] dan [o] tergolong jarang dalam bahasa Melayu, kecuali untuk kata pinjam, seperti "teko" (dari bahasa Min Nan 茶壺 tekoh), "toko" (dari bahasa Min Nan 土庫 thó͘-khò͘), semberono (dari bahasa jawa sembrana), gede (dari bahasa jawa), "konde" (dari bahasa Jawa kondhe), kare (variasi kari, dalam bahasa Tamil kaṟi), mestizo (dari bahasa Spanyol), kredo (dari bahasa Latin credo), "resiko" (dari bahasa Belanda risico), dan nama-nama non Melayu seperti Suharto, Manado
Beberapa kata yang dipinjam dari bahasa Eropa memiliki vokal [ɛ] dan [ɔ], seperti dalam pek[pɛk] ('mengemasi') dam kos[kɔs] ('harga'). Kata-kata yang dipinjam lebih awal memiliki pengucapan yang lebih natif, seperti "pesta" yang diucapkan sebagai [pestə]. Dalam bahasa Indonesia, [ɛ] dan [ɔ] merupKan alofoni dari /e/ dan /o/ dalam suku kata akhir tertutup.
Beberapa dialek yang sedikit jauh bahkan membedakan vokal setengah tertutup dan Vokal setengah terbuka (depan dan belakang). Sebagai contoh dalam dialek Kedahan:
[modɛ] ("modal")
[bɔrak] (**borak, sinonim dari "bohong")
[ɑ] merupakan alofoni yang biasanya terjadi pada /a/ setelah konsonan empatik, juga dan /r/, /ɣ/, dan /q/ dari kata bahasa Arab. Sebagai contoh: qari[qɑri].
Beberapa dialek juga memiliki panjang vokal. Sebagai contoh: [ɡulaː] (**gulaa, dari "gulai", dalam dialek Sungari Perak).
Terdapat juga [ɪ] dalam bahasa Indonesia sebgaia alofoni dari [i] sebagai vokal kedua dalam hiatus, seperti "air" [a.ɪr].
Vokal [e] ⟨é⟩, [ɛ] ⟨è⟩ dan [ə] ⟨ê⟩/⟨ě⟩ biasanya ditulis tanpa diakritik dalam bahasa Melayu dan Indonesia sebagaj ⟨e⟩[10] Diakritik habya digunakan sebagai indikasi dari pengucapan yang benar, seperti dalam kamus.
Diftong
Beberapa analisa mengeklaim bahwa bahasa Melayu memiliki diftong fonem natif dalam suku kata terbuka, yakni:
/ai̯/: "kedai" ("warung"), "pandai"
/au̯/: "kerbau"
/oi̯/: "dodoi", "amboi"
Dan yang lainnya mengasumsikan bahwa "diftong" ini merupakan monoftong yang diikuti oleh konsonan hampiran. Jadi, /ai̯/ merupakan /aj/, ⟨au⟩ merupakan /aw/, dan ⟨oi⟩ merupakan /oj/. Dalam basis ini, tidak ada diftong secara fonologi falam bahasa Melayu.[11]
Kata-kata yang dipinjam dari hahasa Inggris dengan /eɪ/, seperti "Mei" dan esei ("esai") diucapkan sebagai /e/. Fitur ini juga terjadi pada diftong bahasa Inggris /oʊ/ yang diucapkan sebagai /o/.
Diftong berbeda dengan dua vokal dalam dua suku kata, seperri
/a.i/: rai ("merayakan") [ra.i], "air" [a.er] ~ [a.ɪr]
/a.u/: "bau" [ba.u], "laut"[la.ot] ~ [la.ʊt]
Walaupun tidak dibedakan dalam ejaan Rumi moderen, diftong dan dua vokal dibedakan dalam sistem penulisan Jawi, di mana kedudukan vokal diindikasikan oleh adanya simbol hamzah⟨ء⟩, sebagai contoh: لاءوت "laut".
Kedudukan vokal dibawah ini merupakan dua vokal yang diucapkan sebagai diftong.
/ia/: meriah
/iu/: liur
/ua/: luar
/ui/: kelui ("penghalaman")
Penekanan
Bahasa Melayu memiliki kadar penekanan yang jatuh pada suku kata akhir ataupun suku kata penultimasi, tergantung variasi daerah masing masing dikarenakan penggunaan pepet (/ə/) dalam sebuah atan Jika biasanya suku kata penultimasi merupakan suku kata yang ditekankan, kecuali jika vokalnya adalah pepet /ə/. Jika penultim memiliki pepet dan memiliki suku kata ante-penultimasi, maka, penekanan berpindah pada suku kata ante-penultimasi, bahkan jika suku kata tersebut juga memiliki pepet, dan jika kata tersebut merupakan disilabik, maka penekanan berada di akhiran. Dalam kata-kata disilabik dengan suku kata penultimasi tertutup, seperti "tinggal" dan "rantai", penekanan jatuh pada penultim.
Namun, terdapat penolakan diantara para ahli bahasa mengenai status penekanan tersebut, apakah merupakan tekanan fonemik (tidak dapat diprediksi) ataupun tidak, dan beberapa menganalisa bahwa tidak ada penekanan dalam bahasa Melayu.[1][12][13]
Ritme
Klasifikasi dari bahasa yang berdasarkan pada ritme dapat menjadi problematik.[14] Walaupun begitu, dalam perhitungan akustik, bahasa Melayu memiliki suku kata yang berdasarkan ritme yang lebih banyak dari bahasa Inggris Britania,[15] dan masih diperdebatkan apakah struktur suku kata penting dalam morfem bahasa Melayu.[12]
Struktur suku kata
Kebanyakan dadi leksikon bahasa asal didasarkan pada morfem disilabik, dan akar kata monosilabik dan trisilabik dengan persentase yang kecil.[16] Namun, dengan tersebarnya prefiks dan suffiks, banyak kata yang terdiri dari lima atau bahkan lebih yang dapat ditemukan.[1]
Struktur suku kata secara basis merupakan konsonan–vokal–konsonan (CVC/KVK), di mana V merupakan monoftong dan K akhir dapat konsonan hampiran /w/ atau /j/. (Lihat #Diftong)
Catatan
^Ini adalah argumen untuk konsonan sengau /ŋ/ ketika tidak ada tempat untuk berasimilasi, konsonan ini muncul sebahai muncul sebagai /ŋ/. Beberapa ahli menuliskannya /N/ untuk menunjukkan bahwa konsonan ini tidak memiliki tempat artikulasinya sendiri, tetapi ini gagal menjelaskan pengucapan dari konsonan tersebut sebelum vokal.
^ abcSoderberg, Craig D.; Olson, Kenneth S. (2008). "Indonesian". Journal of the International Phonetic Association. 38 (2): 209–213. doi:10.1017/S0025100308003320.
^Asmah Haji Omar (2008). Ensiklopedia Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 108.
^Yunus Maris, M. (1980). The Malay Sound System. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd, page 52.
^Asmah Haji Omar (2008). Ensiklopedia Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm 97.
^Yunus Maris, M. (1980). The Malay Sound System. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd, hlm 2.
^Asmah Haji Omar. (1977). The phonological diversity of the Malay dialects. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
^Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia(PDF). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2015. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2020-06-05. Diakses tanggal 2022-02-15.
^ abZuraidah Mohd Don, Knowles, G., & Yong, J. (2008). How words can be misleading: A study of syllable timing and "stress" in Malay. The Linguistics Journal 3(2). lihat disiniDiarsipkan 2022-02-16 di Wayback Machine.
^Roach, P. (1982). On the distinction between 'stress-timed' and 'syllable-timed' languages. In D. Crystal (Ed.), Linguistic Controversies (hlm.73–79). London: Edward Arnold.
^Deterding, D. (2011). Measurements of the rhythm of Malay. In Proceedings of the 17th International Congress of Phonetic Sciences, Hong Kong, 17–21 August 2011, hlm. 576–579. Versi onlineDiarsipkan 2023-06-02 di Wayback Machine.
Indirawati Haji Zahid, Mardian Shah Omar (2006). Fonetik dan fonologi. PTS Professional. ISBN983-3585-63-9. Diakses tanggal 16 Febuari 2022.Periksa nilai tanggal di: |access-date= (bantuan)