Etologi manusia

Visualisasi bibliografi etologi Manusia
Visualisasi bibliografi etologi Manusia

Etologi manusia (bahasa Ingggris: human ethology) adalah bidang studi yang menyelidiki perilaku manusia. Umumnya dianggap bahwa etologi adalah cabang dari zoologi dan biologi. Namun, teori-teori psikologi (seperti sosiobiologi, Psikologi Evolusioner, teori keterikatan, dan teori-teori tentang universalitas manusia seperti perbedaan jenis kelamin, penghindaran inses, duka cita, hirarki, dan pengejaran kepemilikan) berasal dari etologi. Pemahaman tentang etologi manusia dibentuk oleh hubungan antara ilmu biologi dan ilmu sosial. Masyarakat Internasional untuk etologi manusia berkomitmen untuk mengembangkan penelitian, dan pemahaman yang lebih luas, komprehensif, tentang etologi manusia.[1]

Sejarah

Konrad Lorenz
Niko Tinbergen
Karl Von Frisch

Etologi berakar pada studi evolusi, terutama evolusi semakin populer setelah pengamatan rinci Charles DarwinEtologi menjadi sebuah disiplin ilmu yang mapan berdiri sendiri pada tahun 1930-an melalui mayoritas kontribusi dari ahli zoologi Konrad Lorenz, Niko Tinbergen, dan Karl Von Frisch.[2] Ketiga ilmuwan ini diakui sebagai pencipta etologi manusia. Mereka juga dianggap sebagai pendahulunya bidang ilmu etologi. Konrad Lorenz dan Niko Tinbergen menguraikan konsep-konsep yang belum dipahami dengan baik, seperti naluri. Setelah menentang teori-teori yang bergantung pada pembelajaran dan rangsangan. Mereka mendukung gagasan bahwa perkembangan spesies dibantu oleh kemampuan bawaan, dan respons terhadap stimulus tertentu melalui evolusi. Melalui karya-karyanya sebelumnya, Konrad Lorenz juga menunjukkan bahwa perilaku hewan dapat digunakan sebagai rujukan utama untuk menjelaskan perilaku manusia. Dia percaya bahwa penemuan tentang perilaku hewan, dan penelitian tentang manusia juga dapat mengarah pada penemuan tentang perilaku manusia. Pada tahun 1943, Lorenz mencurahkan sebagian besar bukunya, "Die angeborenen Formen moglicher Erfahrung"[3] untuk perilaku manusia.

Dia menetapkan bahwa bagian terpenting dari etologi adalah menguji hipotesis yang berasal dari studi perilaku hewan pada studi perilaku manusia, karena Lorenz mendorong kesamaan antara mempelajari perilaku manusia dan hewan. Dengan demikian, etologi manusia berasal dari studi perilaku hewan.[4] Pendiri etologi lainnya, Niko Tinbergen dan Karl von Frisch, menerima Nobel pada 1973 dalam bidang fisiologi serta kedokteran untuk penemuan lebih banyak atas dedikasi pekerjaan mereka tentang organisasi dan menciptakan pola perilaku sosial dan individu.[5]

Banyak psikolog perkembangan sangat ingin memasukkan prinsip etologi ke dalam teori mereka untuk menjelaskan fenomena yang terjadi pada bayi yang tidak dapat dijelaskan dengan pembelajaran, atau konsep lainnya. Dalam menjelaskan teori kelekatan bayi dan pengasuh, John Bowlby serta Mary Ainsworth menggunakan etologi.[6] Beberapa konsep kelekatan yang penting terkait dengan evolusi:

  • Untuk membantu bayi yang tidak berdaya bertahan hidup, kelekatan telah berkembang. Primata dan hewan lainnya secara refleks melekatkan diri secara fisik pada induknya, dan mengeluarkan beberapa suara untuk menarik perhatian orang tua mereka. Mekanisme similiar juga terjadi paada manusia. Sinyal seperti tersenyum, menangis, dan mengoceh telah dikembangkan oleh bayi manusia yang merupakan kebiasaan adaptif. Bahkan anak-anak yang buta, dan tuli pada usia enam minggu mulai tersenyum merupakan bagian aktivitas sosial, menangis, dan mengoceh. Yang dianggap sebagai perilaku bawaan bukan dipelajari. Jenis tindakan ini meningkatkan kemungkinan bayi bertahan hidup, membantunya berhubungan dengan pengasuhnya.
  • Ketika bayi berusia enam hingga sembilan bulan, keterikatan antara pengasuh, dan bayi muncul melalui perilaku isyarat awal. Kecenderungan bayi untuk melihat wajah daripada objek. Bowlby berteori bahwa keterikatan ini secara evolusioner sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan merupakan dasar bagi semua hubungan, termasuk hubungan yang terjadi selama masa dewasa.
  • Bayi, dan orang dewasa sering berhubungan. Ciri-ciri yang merangsang kasih sayang pada orang dewasa adalah karakteristik "bayi", seperti kepala dan mata yang besar, dan proporsional dengan tubuh dan pipi yang bulat. Beberapa orang tua juga membuat "ikatan" dengan bayi mereka yang baru lahir dalam beberapa jam setelah kelahiran, yang menghasilkan rasa keterikatan emosional yang mendalam dengan keturunannya sendiri, perilaku yang membantu bayi tetap hidup.
  • Banyak pendekatan awal Bowlby sangat bergantung pada pengamatan etologis anak-anak dalam lingkungan alami mereka.

Etologi sangat penting dalam teori sosiobiologi, dan pada akhirnya, dalam psikologi evolusioner, bidang studi yang relatif baru. Psikologi evolusioner menggabungkan etologi; primatologi; antropologi, dan bidang-bidang lain untuk mempelajari perilaku manusia modern, dan adaptif dari leluhur mereka.[6]

Pandangan sifat manusia

Kebudayaan Manusia
  1. Seperti serigala dan singa yang membentuk kelompok berburu untuk mempertahankan diri, manusia juga membentuk struktur sosial yang kompleks, seperti keluarga dan bangsa.
  2. Manusia adalah organisme biologis yang telah berevolusi dalam ceruk lingkungan tertentu.[7]
  3. Karena mereka melayani, atau pernah melayani tujuan dalam perjuangan spesies untuk bertahan hidup. Kecerdasan, bahasa, keterikatan sosial, agresi, dan altruisme adalah komponen sifat manusia.
  4. Tingkat perkembangan anak didefinisikan dalam hal perilaku berbasis biologis.
  5. Kebutuhan manusia berkembang sesuai dengan lingkungan di mana mereka hidup. Untuk bertahan hidup, manusia perlu beradaptasi. Individu membutuhkan kerja sama untuk bertahan hidup, yang mengarah pada pemikiran kognitif, dan komunikasi.[7]

Pandangan sifat manusia bagi para ahli

  1. Lorenz berpendapat bahwa manusia memiliki karakteristik perilaku yang otomatis, seperti rangsangan yang memicu pola tindakan yang konsisten. Teorinya berasal dari model refleks dan model hidrolik, juga dikenal sebagai "flush toilet", yang menggambarkan pola perilaku motivasi. Pola tindakan tetap tertentu berkembang dari motivasi untuk bertahan hidup. Naluri adalah contoh dari pola tindakan tetap. Setiap perilaku bersifat naluriah jika dilakukan tanpa adanya pembelajaran. Refleks dapat berupa naluri. Sebagai contoh, bayi yang baru lahir secara naluriah tahu untuk mencari dan menyusu pada payudara ibunya untuk mendapatkan makanan.[8]
  2. Bowlby (dan banyak ahli teori etologi modern lainnya) percaya bahwa manusia secara spontan bertindak untuk memenuhi tuntutan lingkungannya. Mereka adalah partisipan aktif yang mencari orang tua, makanan, atau pasangan (misalnya, bayi akan berusaha untuk tetap berada di dekat pengasuhnya).[8]
  3. Vygotsky[9] percaya bahwa cara manusia berpikir didasarkan pada budaya tempat mereka dibesarkan dan bahasa yang mengelilinginya.[10] Dia menekankan bahwa anak-anak tumbuh dalam simbol-simbol budaya mereka, terutama simbol-simbol linguistik. Simbol-simbol linguistik ini mengkategorikan dan mengorganisasikan dunia di sekitar mereka. Organisasi dunia ini terinternalisasi, yang mempengaruhi cara mereka berpikir.[11]
  4. Perilaku manusia cenderung berubah berdasarkan lingkungan dan tantangan di sekitarnya yang mulai dihadapi individu. Dua kemajuan evolusioner dalam perilaku manusia dimulai sebagai cara untuk memungkinkan manusia berkomunikasi dan berkolaborasi. Ahli teori infrastruktur, Mead dan Wittgenstein, berteori tentang terciptanya kolaborasi dalam pencarian makan manusia. Kolaborasi ini menciptakan tujuan sosial di antara manusia dan juga menciptakan kesamaan. Untuk mengoordinasikan tujuan bersama mereka, manusia berevolusi menjadi jenis komunikasi kooperatif baru. Komunikasi ini didasarkan pada gerak tubuh yang memungkinkan manusia untuk bekerja sama di antara mereka sendiri untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.[11] Perubahan perilaku ini terlihat karena berkembangnya lingkungan mereka. Lingkungan menuntut untuk bertahan hidup dan manusia menyesuaikan perilakunya untuk bertahan hidup. Dengan kata lain, hal ini dikenal sebagai hipotesis kesengajaan bersama. Menurut hipotesis ini, pemikiran manusia berevolusi dari fokus pada diri sendiri, intensionalitas individu sebagai adaptasi untuk "menangani masalah koordinasi sosial, khususnya, masalah yang dihadirkan oleh upaya individu untuk berkolaborasi dan berkomunikasi dengan orang lain." Evolusi ini terjadi dalam dua langkah, yang pertama mengarah dari individu ke "kesengajaan bersama" dan yang kedua dari kesengajaan bersama ke "kesengajaan kolektif."[11]
  5. Teori organismik memandang perilaku sebagai sesuatu yang aktif. Teori organismik berpendapat bahwa organisme aktif dalam perilakunya, yang berarti bahwa organisme memilih dan memulai perilakunya sendiri. Teori mekanistik berpendapat bahwa perilaku manusia bersifat pasif karena dorongan fisiologis dan rangsangan emosional. Orang-orang ingin memenuhi kebutuhan alami mereka. Kebutuhan-kebutuhan ini mendorong manusia untuk bertindak sesuai dengan kebutuhan mereka daripada bertindak secara reaktif terhadap kebutuhan. Teori aktif tentang perilaku manusia memperlakukan rangsangan bukan sebagai penyebab perilaku, tetapi sebagai peluang yang dapat dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhannya.[11]

Topik-topik etologi manusia

Ilustrasi Human Ethology menggunakan AI images generator

Seperti yang diterapkan pada perilaku manusia, dalam sebagian besar kasus, perilaku topikal dihasilkan dari kondisi motivasi, dan intensitas stimulus eksternal tertentu. Organisme dengan kondisi motivasi yang tinggi terhadap stimulus semacam itu disebut perilaku nafsu makan. Konsep-konsep penting lain dari Zooetologi - misalnya, teritorialitas, hirarki, periode sensitif dalam ontogenesis - juga berguna ketika membahas perilaku manusia. Buku Irenaus Eibl-Eibesfeldt yang berjudul Human Ethology[4] merupakan buku yang paling penting dalam penerapan konsep-konsep ini pada perilaku manusia.

Pemahaman kita tentang ontogeni perilaku manusia dibantu oleh etologi manusia dalam dua cara khusus. Ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, metode yang digunakan untuk melakukan observasi, deskripsi, dan klasifikasi perilaku yang muncul secara alamiah. Kedua, pendekatan etologis terhadap studi perilaku, terutama perkembangan perilaku dalam konteks evolusi. Pertanyaan yang berkaitan dengan fungsi beberapa jenis perilaku (seperti perilaku keterikatan) dan nilai adaptasinya menarik. Untuk perbandingan antara spesies yang berbeda atau antara organisme dalam satu spesies, diperlukan deskripsi repertoar perilaku suatu spesies, pengenalan pola perkembangan perilaku, dan klasifikasi pola perilaku yang sudah mapan. Pendekatan etologi melihat bagaimana organisme berinteraksi dengan struktur spesies bawaan tertentu dan lingkungannya yang diprogram secara genetik.[4]

Pola perilaku invarian memiliki dasar morfologis, terutama dalam struktur saraf yang umum bagi semua anggota spesies. Tergantung pada jenis perilaku, pola ini mungkin juga terjadi pada genus, famili, atau bahkan kelas tertentu, seperti mamalia. Struktur seperti itu memungkinkan kita untuk melihat kembali dan mengikuti proses evolusi di mana struktur diciptakan oleh lingkungan, terutama sistem saraf dan otak, yang menghasilkan perilaku adaptif. Proses-proses perseptual dan motorik yang diprogram secara genetis yang membantu interaksi sosial dan komunikasi, seperti vokalisasi dan ekspresi wajah, adalah fokus utama para ahli etologi pada organisme dengan tingkat organisasi yang tinggi. Pertanyaan tentang dasar biologis dari perilaku dan kemampuan persepsi spesifik spesies ini muncul ketika kita mempertimbangkan alat komunikasi yang paling maju, bahasa dan ucapan, yang hanya ditemukan pada manusia. Ahli etologi mempelajari masalah ini terutama dari perspektif perkembangan ontogenetik.[4]

Penerapan pola interpretasi yang sudah mapan terhadap masalah baru adalah kekuatan utama etologi manusia. Etologi manusia menawarkan perspektif baru pada perilaku manusia. Ini didasarkan pada teori, konsep, dan pendekatan yang telah terbukti berhasil dalam etologi hewan. Perspektif evolusi adalah inti dari hal ini. Namun, para ahli etologi sering merujuk pada fakta dan interpretasi yang diabaikan oleh ilmu-ilmu sosial lainnya karena sejarah Humaniora yang relatif pendek. Jika kita melihat kembali sejarah hubungan antara Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu-Ilmu hayati, kita akan menemukan dua modus orientasi teori yang berlaku. Yang pertama adalah reduksionisme, yang berusaha mengurangi tindakan manusia menjadi perilaku non-kognitif. Modus kedua adalah upaya untuk menghilangkan dunia hewan dari tindakan manusia dan masyarakat manusia. Setelah teori evolusi muncul pada abad ke-19, tidak ada solusi yang mudah untuk masalah lingkungan dan perawatan. Mereka masih dapat "diselesaikan" secara berkesinambungan atau secara bertahap. Dikotomi sederhana ini sebagian besar disebabkan oleh etologi manusia dan bidang ilmu lainnya.[12]

Etologi manusia memiliki pengaruh yang semakin besar terhadap dialog antara Ilmu Pengetahuan Alam dan Humaniora seperti yang ditunjukkan misalnya dalam buku Being Human: Bridging the Gap between the Sciences of Body and Mind.[12]

Metodologi

Para ahli etologi mempelajari perilaku dengan menggunakan dua metode umum: observasi naturalistik dan eksperimen laboratorium. Desakan ahli etologi untuk mengamati organisme di lingkungan alaminya membedakan etologi dari disiplin ilmu terkait seperti psikologi evolusioner dan Sosiobiologi, dan pengamatan naturalistik mereka "menjadi salah satu kontribusi utama mereka terhadap psikologi",[7] Pengamatan Naturalistis para ahli etologi percaya bahwa untuk mempelajari perilaku spesifik spesies, suatu spesies harus diamati di lingkungan alaminya. Kita hanya dapat memahami fungsi dari suatu perilaku dengan melihat bagaimana perilaku tersebut secara khusus sesuai dengan lingkungan alami spesies untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Para ahli etologi mengikuti serangkaian langkah tertentu ketika mempelajari suatu organisme.[7]

Etogram Penjelasan detail tentang bagaimana suatu spesies bertindak di lingkungan alaminya
Klasifikasi Mengklasifikasikan perilaku berdasarkan fungsinya (bagaimana perilaku tersebut mendorong kelangsungan hidup).
Perbandingan Membandingkan bagaimana sebuah perilaku berfungsi pada spesies yang berbeda dan bagaimana perilaku yang berbeda dapat memiliki fungsi yang sama pada spesies lain.
Eksperimen Laboratorium Tentukan penyebab langsung dari perilaku yang dijelaskan dalam tiga langkah pertama.

Langkah-langkah yang sejalan dengan "On Aims of Methods of Ethology" karya Tinbergen[13] di mana ia menyatakan bahwa setiap studi perilaku harus menjawab empat pertanyaan untuk dapat dianggap sah:

  • Fungsi (adaptasi)
  • Evolusi (filogeni)
  • Sebab-akibat (mekanisme)
  • Perkembangan (ontogeni)

Keanekaragaman

Pohon Darwin 1873

Dalam teori evolusi dan etologi, keanekaragaman budaya dan genetika adalah konsep penting.

Keanekaragaman genetika

Populasi dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan berkat keanekaragaman genetik mereka. Dalam populasi yang memiliki banyak variasi, kemungkinan bahwa beberapa bagian populasi akan memiliki variasi alel yang sesuai dengan lingkungannya, dan lebih mungkin untuk bertahan hidup. Menghasilkan keturunan dengan variasi alel ini meningkat. Keberhasilan orang-orang ini memastikan bahwa populasi akan bertahan selama beberapa generasi lagi. Genetika populasi mencakup beberapa hipotesis dan teori mengenai keanekaragaman genetik. Teori evolusi netral menyatakan bahwa keanekaragaman adalah hasil dari akumulasi substitusi netral. Seleksi diversifikasi adalah hipotesis bahwa dua subpopulasi dari suatu spesies hidup di lingkungan yang berbeda yang menyeleksi alel-alel yang berbeda pada lokus tertentu. Hal ini dapat terjadi misalnya, jika suatu spesies memiliki jangkauan yang luas relatif terhadap mobilitas individu di dalamnya.[14]

Keanekaragaman budaya

Dari perspektif transmisi budaya, manusia adalah satu-satunya hewan yang secara kumulatif mewariskan pengetahuan budaya kepada keturunannya. Meskipun simpanse dapat menggunakan alat dengan melihat simpanse lain di sekitar mereka, manusia juga dapat menggunakan sumber daya kognitif mereka untuk menciptakan solusi masalah yang lebih kompleks dan cara yang lebih kompleks untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka. Keragaman budaya didasarkan pada gagasan bahwa manusia dibentuk oleh lingkungannya dan bagaimana mereka berinteraksi dengannya. Adaptasi manusia terhadap variabel lingkungan yang berbeda membentuk lingkungannya sendiri, yang pada gilirannya membentuk perilaku manusia. Siklus ini menghasilkan representasi budaya yang beragam yang pada akhirnya menambah kelangsungan hidup spesies manusia. Pendekatan ini penting sebagai cara untuk membangun jembatan antara ilmu biologi dan ilmu sosial, yang menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang etologi manusia.[14]

Orientasi seksual adalah salah satu contoh keragaman manusia. Lebih dari 250 spesies hewan menunjukkan perilaku homoseksual, menurut para ahli etologi selama bertahun-tahun. Tidak ada keturunan yang secara langsung dihasilkan dari perilaku homoseksual, tetapi gen-gen homoseksualitas dapat ditemukan jika diamati lebih dekat. Mungkin lebih sulit untuk mendapatkan pasangan heteroseksual karena homo. Menurut teori paman gay, anggota keluarga homoseksual dapat meningkatkan sumber daya yang tersedia untuk anak-anak dari saudara kandung mereka tanpa menghasilkan keturunan yang akan bersaing untuk memperebutkan sumber daya tersebut. Ini berarti bahwa anak-anak dari saudara kandung mereka memiliki peluang yang lebih baik untuk bertahan hidup. Keturunan terkait ini berbagi gen individu homoseksual, meskipun pada tingkat yang lebih rendah daripada keturunan langsung, termasuk gen untuk homoseksualitas. Akibatnya, ada kemungkinan kecil namun stabil bagi generasi mendatang untuk menjadi gay juga, meskipun anggota keluarga gay tersebut tidak memiliki keturunan langsung.[14]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Bueno-Guerra, Nereida (2021-08-27). "Where Is Ethology Heading? An Invitation for Collective Metadisciplinary Discussion". Animals (dalam bahasa Inggris). 11 (9): 2520. doi:10.3390/ani11092520. ISSN 2076-2615. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-03-04. Diakses tanggal 2024-03-04. 
  2. ^ Hess, E. H., & Petrovich, S. B. (2000). "Ethology and attachment: A historical perspective" (PDF). Behavioral Development Bulletin. 9 (1): 14–19. doi:10.1037/h0100533. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2020-03-24. Diakses tanggal 2024-03-04. 
  3. ^ Lorenz, Konrad (2010-04-26). "Die angeborenen Formen möglicher Erfahrung". Zeitschrift für Tierpsychologie (dalam bahasa Inggris). 5 (2): 235–409. doi:10.1111/j.1439-0310.1943.tb00655.x. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-11-17. Diakses tanggal 2024-03-04. 
  4. ^ a b c d Eibl-Eibesfeldt, Irenäus (1989). Human ethology. Internet Archive. New York : Aldine De Gruyter. ISBN 978-0-202-02030-3. 
  5. ^ "The Nobel Prize in Physiology or Medicine 1973". NobelPrize.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-03-08. 
  6. ^ a b Ainsworth, Mary S.; Bowlby, John (1991-04). "An ethological approach to personality development". American Psychologist (dalam bahasa Inggris). 46 (4): 333–341. doi:10.1037/0003-066X.46.4.333. ISSN 1935-990X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-03-05. Diakses tanggal 2024-03-04. 
  7. ^ a b c d Miller, P.H. (2002). Theories of Developmental Psychology. New York: Worth Publishers. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-03-05. Diakses tanggal 2024-03-04. 
  8. ^ a b Gold, Jerry (2011). Goldstein, Sam; Naglieri, Jack A., ed. Bowlby’s Attachment Theory (dalam bahasa Inggris). Boston, MA: Springer US. hlm. 272–275. doi:10.1007/978-0-387-79061-9_399. ISBN 978-0-387-79061-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-03-05. Diakses tanggal 2024-03-04. 
  9. ^ "Vygotsky's Sociocultural Theory Of Cognitive Development" (dalam bahasa Inggris). 2024-01-24. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-05. Diakses tanggal 2024-03-04. 
  10. ^ Arsani, Syafira Aulia. "Teori Perkembangan Kognitif Anak Menurut Vygotsky & Contoh Praktik". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-03-04. Diakses tanggal 2024-03-04. 
  11. ^ a b c d Tomasello, Michael (2014). A Natural History of Human Thinking. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-72477-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-03-04. Diakses tanggal 2024-03-04. 
  12. ^ a b Medicus, G (2015). Being Human: Bridging the Gap between the Sciences of Body and Mind. Berlin: VWB. ISBN 978-3-86135-584-7. 
  13. ^ Tinbergen, N. (1963-01-12). "On aims and methods of Ethology". Zeitschrift für Tierpsychologie (dalam bahasa Inggris). 20 (4): 410–433. doi:10.1111/j.1439-0310.1963.tb01161.x. ISSN 0044-3573. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-11-27. Diakses tanggal 2024-03-04. 
  14. ^ a b c Hinde, Robert A. (1987). Individuals, Relationships and Culture: Links Between Ethology and the Social Sciences (dalam bahasa Inggris). CUP Archive. ISBN 978-0-521-34844-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-03-04. Diakses tanggal 2024-03-04. 

Pranala eksternal