Dinasti Attalidon (bahasa Yunani Koine: Δυναστεία των Ατταλιδών trans: Dynasteía ton Attalidón) adalah Dinasti Periode Helenistik yang berkuasa atas kota Pergamum di Anatolia setelah kematian Lysimakhos, seorang Jenderal atau Diadokhoi dari Aleksander Agung.
Kerajaan tersebut adalah Negara sisa yang ditinggalkan setelah keruntuhan Kekaisaran Lysimakhos. Salah satu perwira Lysimakhos yang bernama Philetairos mengambil alih kota pada 282 SM, berikutnya Attalidon berkembang menjadi Kerajaan.
Sejarah
Pada tahun 282 SM sepeninggal Lysimakhos, Philetairos menawarkan dirinya dan benteng penting Pergamum bersama dengan kekayaan kota kepada Seleukos I yang berhasil mengalahkan dan membunuh Lysimakhos dalam Pertempuran Kurupedion tahun 281 SM. SeleukosI juga terbunuh beberapa bulan kemudian.[1] Setelah kematian SeleukosI, Philetairos menikmati otonomi yang cukup besar walaupun secara nominal masih berada di bawah Kekaisaran Seleukia. Ia mendapatkan banyak kekayaan karena Lysimakhos banyak meninggalkan harta benda di Pergamum[1] dan memperluas kekuasaan dan pengaruhnya ke luar Pergamum. Philetairos menyumbangkan pasukan, uang dan makanan ke kota Kizikos di Mysia untuk pertahanannya atas invasi Galia, sehingga ia dan keluarganya memperoleh kehormatan dan tanggapan baik.[2] Ia memerintah selama empat puluh tahun dan membangun kuil Demeter di Akropolis Pergamum, Kuil Athena (dewa pelindung Pergamum) dan istana pertama Pergamum. Ia juga menambahkan banyak pertahanan untuk benteng kota.[3]
Keponakan dan putra angkat Philetairos, Eumenes I menggantikan kedudukannya setelah kematiannya pada 263 SM. Ia memberontak dan mengalahkan Raja Seleukia Antiokhos I di dekat ibu kota Lydia di Sardis pada 261 SM. Ia membebaskan Pergamum dan memperluas wilayah kekuasaannya. Kemudian ia membangun Garnisun atau pasukan pertahanan di wilayah utara yang disebut dengan Philetairos dekat kaki Gunung Ida, yang dinamai menurut nama ayah angkatnya dan garnisun Atalia di wilayah timur, arah timur laut Tiatira dekat sungai Lykos yang dinamai menurut nama kakeknya. Ia juga memperluas kendali atas wilayah selatan sungai Kaikos hingga mencapai teluk Kyme. EumenesI mencetak mata uang dengan potret Philetairos, yang pada masa pemerintahan sebelumnya masih menggambarkan Raja Seleukia SeleukosI pada mata uang logamnya.
Seorang ahli geografi Yunani abad ke-2 SM Pausanias, menulis bahwa pencapaian terbesar AtalosI (m. 241–197 SM) adalah berhasil mengalahkan Galia dalam pertempuran di sungai Kaikos,[4] yang mungkin dimaksud sebagai orang-orang Galatia, yakni bangsa Kelt yang bermigrasi ke Anatolia tengah dan menetapkan diri mereka sebagai kekuatan militer utama. Beberapa tahun kemudian, bangsa Galatia menyerang Pergamum dengan bantuan Antiokhos Hierax yang memberontak melawan kakaknya SeleukosII, Raja Kekaisaran Seleukia dan ingin merebut Anatolia serta menjadikannya Kerajaan merdeka. AtalosI mengalahkan Galia dan Antiokhos Hierax dalam pertempuran Afrodisium sekitar tahun 238 SM dan pertempuran kedua di wilayah timur. Kemudian ia sendiri kembali melawan Antiokhos Hierax dalam pertempuran Harpasus dekat kota Sardis di Karia pada 229 SM. AtalosI memenangkan pertempuran dan Antiokhos Hierax pergi untuk memulai operasinya di Mesopotamia.[5] Ia memperoleh kendali atas wilayah Seleukia di Atanolia, bagian utara Pegunungan Taurus. Ia menggagalkan upaya-upaya Seleukos III (penerus SeleukosII) untuk memulihkan wilayah yang hilang.
Pada tahun 223 SM, SeleukosIII melintasi Taurus, namun akhirnya ia dibunuh. Kemudian pasukannya diambil alih oleh Akhaios. AntiokhosIII lalu mengangkatnya menjadi Gubernur untuk wilayah Seleukia bagian utara Pegunungan Taurus. Dalam jangka waktu dua tahun ia berhasil memulihkan wilayah yang hilang dan memaksa AtalosI masuk kedalam kota Pergamum. Kemudian ia menyatakan dirinya sebagai Raja untuk melindungi dirinya yang dituduh sebagai pemberontak.[6][7][8]
Pada tahun 218 SM, Akhaios melakukan perjalanan ke Siege, wilayah bagian selatan Taurus. AtalosI berhasil merebut kembali bekas wilayahnya dengan bantuan Suku Trakia. Akhaios kembali dari kampanye kemenangannya pada 217 SM dan perseteruan antara keduanya terus berlanjut. AtalosI membuat aliansi dengan AntiokhosIII yang mengepung Akhaios di Sardis pada tahun 214 SM. AntiokhosIII berhasil merebut kota tersebut dan mengeksekusi Akhaios tahun berikutnya. Kemudian AtalosI mendapatkan kembali atas kendali wilayahnya.[6][9]
Attalidon menjadi sekutu Romawi dalam Perang Makedonia Pertama (214-205 SM)[10][11] dan mendukung Romawi dalam perang-perang berikutnya. AtalosI yang membantu Romawi dalam perang pertamanya juga memberikan bantuannya dalam Perang Makedonia Kedua (200-197 SM).[12][13]
Eumenes II (m. 197–159 SM)[14] mendukung Romawi dalam Perang Suriah (192–188 SM)[15][16] dan Perang Makedonia Ketiga (171–168 SM)[17] Pada tahun 188 SM, setelah perang melawan Seleukia, Romawi merebut seluruh kekayaan AntiokhosIII di Anatolia dan memasukkan wilayah Mysia, Lydia dan Frigia kedalam Kerajaan Pergamon dan wilayah Karia, Likia dan Pisidia di sebelah barat daya Anatolia, ke dalam wilayah Rodos, sekutu Romawi yang lain. Kelak wilayah kepemilikan Rodos ini dimasukkan kedalam wilayah Pergamon oleh Romawi.
Sebelum menjadi Raja, AttalosII adalah seorang Panglima tentara. Pada tahun 190 SM ia turut ambil bagian dalam Pertempuran Magnesia, yang merupakan kemenangkan terakhir Romawi dalam perang melawan Seleukia. Pada tahun 189 SM ia memimpin pasukan Pergamon yang mengepung pasukan Romawi di bawah Gnaeus Manlius Vulso dalam Perang Galatia. Pada 182-179 SM, ia berperang melawan FarnakesI dan memenangkan pertempuran serta memperoleh beberapa wilayah lalu naik takhta pada 159 SM. Pada tahun 156-154 SM, ia berperang melawan PrusiasII dengan bantuan dari Romawi. Pada tahun 154 SM, ia juga dibantu oleh Ariarathes V yang memberikan bantuan pasukan dipimpin langsung oleh putranya Demetrios. AtalosI memperluas Kerajaannya dan mendirikan kota Filadelfia dan Attalia. Pada tahun 152 SM, dua Raja dan Romawi membantu pretenderAlexandros Balas untuk merebut takhta Seleukia dari Demetrios I. AtalosI membantu NikomedesII untuk merebut takhta Bitinia dari ayahnya Prusias II.[18]
Raja Attalidon terakhir Attalos III, meninggal tanpa memiliki keturunan dan mewariskan Kerajaannya kepada Republik Romawi pada tahun 133SM.[19] Namun Romawi enggan untuk mengambil alih wilayah di Anatolia dan tidak berkuasa atas wilayah tersebut. Aristonicus yang mengaku sebagai putra tidak sah dari EumenesII yang mengambil nama dari EumenesIII mengklaim atas takhta dan memicu pemberontakan dan pada 132 SM "menduduki Asia yang telah diwariskan kepada Bangsa Romawi dan seharusnya dibebaskan".[20] Pada tahun 131 SM, Romawi mengirim bala tentara untuk melawannya dan ia berhasil dikalahkan. Bangsa Romawi mengalahkan EumenesIII pada 129 SM. Kemudian Bangsa Romawi menganeksasi wilayah bekas Kerajaan Pergamon kedalam Provinsi Romawi di Asia.
Pada bagian dalam Altar Pergamon, terdapat Friz yang menggambarkan kehidupan Telefos, putra Herakles. Penguasa Dinasti menghubungkan Telefos dengan kotanya dan menggunakannya untuk mengklaim keturunannya dari Olimpus. Pergamon yang memasuki dunia Yunani lebih baru dibandingkan kota-kota lainnya di barat, tidak dapat membanggakan warisan ketuhanan yang sama seperti negara-kota lainnya yang lebih dulu dan harus membudayakan mitologi Yunani secara retroaktif.
Allen, R. E., The Attalid kingdom, a constitutional history, Oxford University Press, 1983; ISBN978-0198148456
Austin, M.M., The Hellenistic World from Alexander to the Roman Conquest:A Selection of Ancient Sources in Translation, "The Attalids of Pergamum", Cambridge University Press, 2006; ISBN978-0521535618
Dignas B., "Rituals and the Construction of Identity in Attalid Pergamon" in Dignas B, Smith RRR, (eds), Historical and religious memory in the ancient world, Oxford University Press, 2012; ISBN978-0199572069
Hansen, E. V., The Attalids of Pergamon (Study in Classical Philology). Cornell University Press, 2nd revised edition, 1972; ; ISBN978-0801406157. First edition, 1947; ASINB000MRG0T6
Kosmetatou, E., "The Attalids of Pergamon", in Erskine, A., A Companion to the Hellenistic World, Blackwell, new edition, 2005; ISBN978-1405132787
Welles, C. B., (ed.), Royal correspondence in the Hellenistic period: A study in Greek epigraphy, Ares Publishers Inc., U.S., 1974; ISBN978-0890050194
Shipley (2000). The Greek World After Alexander, 323-30 BC(The Routledge History of the Ancient World), Routledge, first edition, 1999; ASINB017PNSW7M