Dedi Hamdun

Dadi Hamdun atau nama lengkapnya Dedi Umar Hamdun adalah pengusaha dan politikus Partai Persatuan Pembangunan yang menghilang saat era reformasi 1998, karena menjadi korban penculikan pada tanggal 27 Maret 1997. Ia menghilang bersama rekannya, Noval Alkatiri, dan supir Noval bernama Ismail. Mereka diculik setelah berjalan keluar dari Rumah Sakit Bunda, Jakarta.[1][2][3]

Setelah diculik, usahanya berantakan dan asetnya satu per satu seperti mobil, tanah, dan perusahaan hilang tak berbekas, sehingga keluarganya jadi menderita. Anaknya yang awalnya ditawari wawancara mengenai pengalaman mereka malah berakhir ditodong dengan pistol dan diancam supaya tidak membuka peristiwa tersebut kepada media. Istri pertamanya, Laila Hilaby, berakhir mengalami gangguan psikologis, tidak bisa menerima kenyataan telah hilangnya Dadi Hamdun hingga kini, dan harus rutin meminum obat dari psikiater.[4]

Kronologi

Dedi Hamdun sebelumnya aktif mendukung pasangan Mega-Bintang untuk pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden penggganti Soeharto sebelum Pemilu 1997. Pada Bulan Mei 1997, ia tiba-tiba menelepon anaknya, Hakim, yang berada di Ambon, dengan janji akan membawa banyak uang. Namun anehnya keesokan harinya surat kabar malah ramai memberitakan hilangnya Dedi Hamdun di Jakarta beberapa hari sebelumnya. [4]

Beberapa hari sebelumnya, Laila merasa tidak ada perilaku aneh dari suaminya saat makan bersama dua putrinya di restoran Hotel Nirwana. Saat itu Dedi Hamdun terlibat meramaikan kampanye Mega-Bintang. Ia sempat menceritakan proyek pembebasan lahan Gatot Subroto dan Cisarua dan menjanjikan akan menyisakan sedikit tanah untuk keluarganya. Laila dan putrinya kemudian pulang, meninggalkan Dedi Hamdun sendirian di hotel untuk terus mengurusi bisnis tersebut. Setelah sempat menelepon keesokan harinya, Dedi kemudian hilang tanpa kabar selama berminggu-minggu.[5]

Kabar keberadaan

Raharja Waluya Jati, salah seorang korban penculikan 1998, mengaku tidak pernah bertemu langsung dengan Dedi Hamdun saat diculik. Namun ia mendengar dari cerita berantai sesama korban penculikan, bahwa Dedi Hamdun pernah berada di salah satu sel dari Pius Lustrilanang dan Desmond Junaidi Mahesa di Pos Komando Taktis (Poskotis) Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD di Cijantung, Jakarta Timur.[5]

Aset yang menghilang

Menurut pengakuan Hakim, anaknya, Dedi sempat memiliki 33 persen kepemilikan di sebuah perusahaan di Jawa Barat yang memiliki tanah seluas 135 Hektar. Terdapat pula tanah seluas 1.000 meter persegi di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Hasil penjualan Gedung Jamsostek senilai Rp 110 Miliar juga tidak pernah diterima keluarganya. Selain itu tiga unit Hardtop, satu unit Mercedes-Benz, satu unit mobil BMW, satu mobil CJ7, Jeep Mercy satu unit, dan Pajero First Edition juga menghilang satu per satu. [4]

Referensi