Datu Sanggul berasal dari Palembang (ada yang menyebutkan dia berasal dari Aceh[3]). Atas restu ibunya, dia berlayar dari Selat Bangka Belitung, lalu tiba Kota Banjarmasin hingga sampai di Kampung Muning (sekarang berada di daerah Tatakan, Kabupaten Tapin), tepatnya di Pantai Munggu Tayuh Tiwadak Gumpa pada 1750. Kemudian, dia berguru dengan Datu Suban, salah satu ulama setempat di daerah tersebut dan menetap di kampung tersebut hingga akhir hayatnya.[4][5]
Ada beberapa versi pemberian gelar Datu Sanggul kepadanya. Versi pertama yaitu karena dia gemar manyanggul (menggulung) rambutnya yang panjang. Versi lain menyebutkan bahwa dia gemar manyanggul (menunggu) binatang buruan. Ada juga versi lain yang menyebutkan bahwa dia dinilai tekun dalam mentaati perintah gurunya di dalam khalwat khusus, dimana pada saat itu dia manyanggul (menunggu) turunnya ilmu dari Allah SWT. Terakhir, ada versi yang menyatakan bahwa dia manyanggul (menghadang) pasukan Belanda di perbatasan Kampung Muning, sehingga mereka lari karenanya.[4][6] Meski ada beberapa versi, nama Datu Sanggul digunakan sebagai nama rumah sakit pemerintah yang ada di Rantau Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan dengan nama "Rumah Sakit Umum Daerah Datu Sanggul".
Cerita karamah
Datu Sanggul sering diceritakan oleh masyarakat Banjar bahwa dia dapat melaksanakan Salat Jumat di Masjidil Haram di Makkah, meski sebenarnya dia masih berada di daerahnya di Kampung Muning. Hal ini bermula saat itu dia sering tidak tampak menunaikan Salat Jumat di masjid di kampungnya untuk menunaikan Salat Jumat, sehingga dia harus membayar denda kepada kesultanan setiap hari Jumat sampai hanya tertinggal hanya kuantan dan landai (alat untuk memasak nasi dan sayuran) sebagai harta yang dimiliki Datu Sanggul, meski akhirnya harta tersebut dikembalikan karena orang-orang telah mengetahui keajaibannya.[6]
Ada suatu cerita bahwa ada seseorang yang mengajak Datu Sanggul untuk melaksanakan Salat Jumat bersama-sama di masjid kampungnya. Meski awalnya Datu Sanggul menolak, dia akhirnya mau ikut Salat Jumat bersama orang tersebut. Namun, ketika mereka berada di masjid, orang tersebut hanya beberapa orang yang salat di masjid tersebut dan selebihnya berbentuk hewan semua. Melihat hal itu, orang tersebut bertanya pada Datu Sanggul dan Datu Sanggul menjawab bahwa mereka pergi ke masjid bukan karena ingin beribadah kepada Allah, tetapi karena karena hanya ikut-ikutan orang banyak.[2]
Cerita lain mengatakan bahwa ketika dia ingin pergi ke masjid kampung, dia melompat ke dalam sungai sehingga orang yang ada di sekitar masjid berteriak dan menjadi gempar. Tiba-tiba, di tengah kegemparan masyarakat itu, Datu Sanggul muncul dari tengah sungai dan berjalan di atas air dengan tenangnya, lalu langsung memasuki masjid. Lebih mengherankan lagi, pakaian dia tidak basah sama sekali, kecuali anggota wudunya. Masyarakat semakin terkejut karena Datu Sanggul hanya berpantun sementara orang-orang mulai mengangkat takbiratul ihram. Lalu, setelah mengucapkan takbir, tubuhnya mengawang-awang hingga selesai orang mengerjakan salat Jum'at. Melihat kejadian tersebut, orang-orang yang berada di masjid menjadi keheranan. Setelah itu, Datu Sanggul menginjakkan kakiknya kembali di lantai dan mengatakan seperti berikut.
"Aku tadi salat di Makkah. Kebetulan, di sana ada selamatan dan aku meminta sedikit. Mari kita cicipi bersama walau sedikit", kata Datu Sanggul, dimana setelah itu, orang-orang di sana mencicipi nasi yang dibawa Datu Sanggul dari Makkah.[2]
Adapun pantun yang Datu Sanggul ucapkan saat salat Jumat tersebut berbunyi sebagai berikut.[2]
"Riau-riau padang si bundan.
Di sana padang si tamu-tamu.
Rindu dendam tengadah bulan.
Di hadapan Allah kita bertemu"
Hubungan dengan Datu Kalampayan
Karena Datu Sanggul sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari atau Datu Kalampayan, maka ada beberapa riwayat mengenai hubungan mereka berdua.
Sewaktu Datu Kalampayan di Masjidil Haram untuk melaksanakan shalat Jum’at berjamaah, dia melihat seseorang yang mengenakan baju palimbangan hitam, celana hitam serta memakai laung salat di dekatnya, mengingat pakaian tersebut hanya dipakai oleh orang Banjar atau orang tanah Jawa dan tidak ada penduduk Makkah yang berpakaian demikian. Kejadian ini sering dilihat Datu Kalampayan selama beberapa kali Jum’at, sehingga dia berkata “Tidak salah lagi, ini pasti orang Banjar”. Lalu, Datu Kalampayan mengulurkan tangannya, bersalaman, dan membawa orang tersebut ke [6] Di rumah Datu Kalampayan di Makkah, Datu Kalampayan bertanya dan orang tersebut menjawabnya bahwa dia bernama Datu Sanggul. Lalu, Datu Kalampayan bertanya lebih lanjut lagi kepada Datu Sanggul.[6]
Datu Kalampayan: “Saudara ini orang mana, asal negeri mana dan sudah berapa lama tinggal di Mekkah?” Datu Sanggul: “Saya setiap Jum’at datang ke sini untuk bersembahyang, dan aku berasal dari Banjar. Tempat diamku di Banjar. Jelasnya Tatakan.” Datu Kalampayan: “Jauh juga. Kalau begitu melewati Martapura, Kayu Tangi. Melalui tempat tinggalku. Itu sangat jauh. Jika demikian dengan apa ke mari setiap Jumat?” Datu Sanggul: “Aku tidak memakai apa-apa. Hanya karena hendak ke mari saja, dan kebetulan Allah SWT memberikan kekuatan kepadaku sehingga aku sampai ke sini.”
Terpikir dalam hati Datu Kalampayan tentang kedatangan Datu Sanggul itu, apakah ia memang masih waras atau orang yang terganggu pikirannya. Jawaban Datu Sanggul tadi dirasanya tak masuk akal sehat. Sebab mungkinkah jarak yang demikian jauhnya antara Tatakan dan Mekkah bisa dicapai hanya dalam waktu begitu singkat, dan bahkan tidak memakai apa-apa. Namun dari dialek bahasanya, Datu Kalampayan yakin bahwa Datu Sanggul adalah berasal dari Banjar.[6] Untuk membuktikannya, Datu Kalampayan berkata sebagai berikut.[6]
“Kalau betul engkau pulang pergi dari Tatakan ke sini, coba tolong hari Jum’at yang akan datang bawakan aku oleh-oleh dari kampung. Aku sudah sangat lama tidak pulang. Mungkin sudah mencapai waktu 30 tahun. Selama ini aku selalu berada di Mekkah tak pernah ke mana-mana. Nah kira-kira musim buah apa di kampung kita? Bawakan ke mari untukku, terutama di Martapura sekarang ini musim apa kiranya.”
Datu Sanggul lalu berdiri di depan jendela. Tangannya dilambaikannya ke luar jendela. Ketika ia menarik kembali tangannya, ada sebiji durian dan kuini. Kemudian, Datu Sanggul berucap sebagai berikut.[6]
“Nah, Datu Kayu Tangi ambil durian dan kuini ini. Ini datang dari Sungkai."
Buah itu diterima dan diperiksa oleh Datu Kalampayan. Ternyata, tangkai kuini itu masih ada getah, sama seperti buah yang baru dipetik dari samping rumah. Durian dan kuini tersebut juga matang. Setelah itu, Datu Kalampayan segera mengupas dan memakannya dan yakin bahwa durian dan kuini ini memang berasal dari Banjar, karena kedua buah tersebut tidak ada di Makkah, bahkan Kuini Jawa sekalipun, kecuali jenis asam-asaman lain. Saat Datu Kalampayan kembali ke Tanah Banjar, dia semakin terkejut karena ada buah kuini dari Kesultanan Banjar yang tiba-tiba menghilang. Rupanya, buah kuini itulah yang dipetik Datu Sanggul untuk Datu Kalampayan. Sejak pertemuan awal itu, Datu Sanggul dan Datu Kalampayan semakin sering bertemu di setiap salat Jumat. Karena sering bertemu, maka terjalinlah persahabatan antara keduanya.[6]
Riwayat lain menyebutkan bahwa Datu Sanggul pernah membawa cempedak yang masih bergetah sebagai tanda baru saja dipetik, yang menjadi tanda bahwa perjalanan Datu Sanggul dari Tatakan ke Makkah hanyalah sebentar bagi Datu Sanggul. Hal ini membuat Datu Kalampayan berbicara dengan Datu Sanggul.[2]
Datu Kalampayan: "Guru, apakah durian yang ada di halaman istana itu sudah berbuah?" Datu Sanggul: "Sudah, dua biji buahnya, nanti aku ambilkan."
Alhasil, durian tersebut dibawa dari istana Kesultanan Banjar sampai ke Makkah tanpa sepengetahuan penjaga istana.[2]
Menurut riwayat tentang kematian Datu Sanggul, Datu Sanggul pernah meminta kepada Datu Kalampayan untuk membawakan kain kafan apabila Datu Kalampayan selesai menuntut ilmu dari Mekkah dan tiba di Tanah Banjar. Ternyata, kain kafan itu digunakan untuk mengkafani Datu Sanggul sendiri yang sudah berpulang, bertepatan dengan tibanya Datu Kalampayan di Tanah Banjar setelah pulang dari Makkah.[6] Bahkan menurut K.H. Irsyad Zein, Datu Kalampayan memandikan jenazah Datu Sanggul. [1] Menurut versi "Cerita Masyarakat Banjar", ketika Datu Kalampayan tiba di rumah Datu Sanggul, dia melihat jenazah Datu Sanggul dibungkus dengan kain kafan dan tikar purun, mengingat kehidupan Datu Sanggul yang sangat sederhana. Ketika Datu Kalampayan membuka tikar purun dan kain kafan tersebut. ternyata jenazah Datu Sanggul telah harum lenyap dan Datu Kalampayan berkata sambil menunjuk guntingan potongan kain segitiga yang dibawanya di Makkah.[1]
"Inilah Kitab Barincong nang sabujurnya." (Inilah Kitab Barencong yang sebenarnya)
Ajaran
Pantun Saraba Ampat
Seperti Datu Suban yang merupakan gurunya, Datu Sanggul memiliki pemahaman tasawuf falsafi yang bersandar pada paham Nur Muhammad. Datu Sanggul memiliki kepiawaian dalam membuat pantun. Salah satu pantunnya yang masih populer di kalangan masyarakat Banjar dan Bakumpai adalah pantun Saraba Ampat yang biasa digunakan oleh sebagian ibu-ibu untuk menidurkan anaknya. Dalam kitab Manakib Datu Sanggul yang ditulis oleh Mawardi bin Lasan, pantun tersebut berbunyi sebagai berikut.[1]
Kitab Barencong (atau Barincung) adalah sebuah kitab yang dimiliki oleh Datu Sanggul yang diperoleh dari Datu Suban, dimana kitab ini berisi berbagai ilmu dan amalan. Konon, Datu Sanggul dapat memperoleh beberapa kesaktian seperti salat di Masjidil Haram dan lain-lain berkat mengamalkan ilmu dari kitab ini dan gurunya (Datu Suban).[1][2]
Namun menurut salah satu versi "Cerita Masyarakat Banjar", Kitab Barencong ini merupakan kain dari jubah Datu Sanggul. Menurut versi ini, Datu Kalampayan pernah berkata "Inilah Kitab Barincong nang sabujurnya" (Inilah Kitab Barencong yang sebenarnya) saat membuka tikar purun dan kain kafan Datu Sanggul ketika Datu Sanggul meninggal dunia. Saat itu, Datu Kalampayan menunjuk guntingan potongan kain segitiga yang dibawanya dari Makkah,yang diperoleh saat Datu Kalampayan bertemu Datu Sanggul untuk menguji kebenaran dari kesaktian Datu Sanggul. Menurut versi ini, kitab ini sebenarnya tidak ada, tapi hanya kiasan atau simbol kemuliaan figur Datu Sanggul.[1]
Konon, kitab ini dipotong Datu Sanggul, satunya diberikan kepada masyarakat Hulu Sungai yang isinya tentang ilmu kepahlawanan dan satunya lagi diberikan kepada Datu Kalampayan yang isinya tentang ilmu kealiman yang diberikan bagi masyarakat Martapura. Menurut Yusliani Noor, cerita pembagian ini merupakan simbol bahwa kitab kealiman yang dimaksudkan adalah Datu Kalampayan sendiri yang kemudian menjadi ulama besar di Tanah Banjar dan Asia Tenggara.[1]
^ abcdefghijklmNoor, Yusliani (2016). Islamisasi Banjarmasin (Abad ke-15 sampai ke-19). Yogyakarta: Ombak. ISBN9786022583561.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcdefghTim Sahabat (2014). Datu-Datu Terkenal Kalimantan Selatan (edisi ke-8). Kandangan: Penerbit "SAHABAT" Mintra Pengetahuan. ISBN9786021988374.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Berimbang (site) (2 Desember 2014). "Riwayat Datu Sanggul". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-03-03. Diakses tanggal 2020-02-20.