Dalem Baturenggong, juga disebut Waturenggong atau Enggong atau Dalem Sri Wijaya Kepakisan, adalah seorang Raja (Dalem) dari Bali yang diyakini telah memerintah pada pertengahan abad ke-16 (berkuasa antara tahun 1520-1558). Dia menjadi raja pada masa keemasan kerajaan Gelgel Bali, dengan ekspansi politik, renovasi budaya, dan agama. Dalam historiografi Bali, ia mewakili visi epik kerajaan yang berfungsi sebagai model bagi penguasa berikutnya di pulau itu.[1]
Pemerintahan yang Makmur
Dalem Baturenggong baru dikenal sepenuhnya dari sumber yang cukup banyak di kemudian hari. Dia, secara singkat, terdaftar sebagai raja dalam teks Usana Bali dan lontar Rajapurana Besakih, di bawah nama Enggong.[2] Keterangan lengkap baru ditemukan pada abad ke-18 dalam sejarah Babad Dalem. Menurut teks ini, dia adalah putra dari Dalem Ketut, Raja pertama dari Gelgel, yang memerintah setelah jatuhnya kerajaan Majapahit Jawa (awal abad ke-16 M). Dia dimanifestasikan sebagai lawan Islam dan musuh Pasuruan dan Mataram di Jawa. Prestisenya meningkat setelah kedatangan Nirartha Brahmana dari Jawa, yang mendirikan hubungan ideal antara imam dan pelindung serta dilaksanakannya kegiatan sastra secara luas. Nirartha disebutkan datang ke Bali pada tahun 1537 dari salah satu teks, yang tanggal kemudian akan menjadi perkiraan pemerintahan Dalem Baturenggong itu.[1]
Ekspansi Militer
Sang Raja pernah diusulkan untuk menikahi putri Sri Juru / Menak Koncar, Raja Blambangan di Jawa Timur, tetapi sang putri menolak. Tentara Bali kemudian dikirim ke Blambangan, dimana mereka mengalahkan tentara blambangan dan berhasil membunuh Sri Juru. Anak-anak raja yang terbunuh itu melarikan diri ke Pasuruan lalu ke Daha dan meminta bantuan kepada Patih Udara.
Setelah menang dalam menaklukan Blambangan, militer Bali dialihkan ke timur, Lombok dan Sumbawa Barat dapat ditaklukkan dan menjadi bawahan Dalem Baturenggong.[3] Raja meninggalkan dua putra, Dalem Bekung dan Dalem Seganing, yang memerintah dengan bergiliran setelah kematiannya.[4]
Rincian pemerintahannya tidak dapat diverifikasi dari sumber-sumber kontemporer. Hanya penulis Mendes Pinto Fernao dari Portugis (c. 1509-1583), dalam karyanya Peregrinacam, menuduh bahwa Bali adalah sebuah pulau kafir yang tergantung pada kerajaan Demak Islam Jawa, tetapi memberontak pada tahun 1546.[5] Informasi ini mungkin tidak cukup dapat dipercaya. Namun, sumber-sumber Eropa dari akhir abad ke-16 dan ke-17 menggambarkan kerajaan Gelgel adalah kerajaan yang mandiri dalam hal yang mengingatkan pada kronik-kronik, dan tampaknya mengandaikan ekspansi politik yang kuat antara jatuhnya Majapahit (sekitar 1527) dan kunjungan Belanda pertama ke Bali (1597).
Referensi
- ^ a b Adrian Vickers (1989). Bali, A Paradise Created. Singapore: Periplus. hlm. 41–45.
- ^ David Stuart-Fox, (1987). Pura Besakih; A Study of Balinese Religion and Society. PhD Thesis, ANU, Canberra. hlm. 146–148.
- ^ C.C. Berg, De Middeljavaansche Historische Traditie (Santpoort: C.A. Mees, 1927), halaman 138-139.
- ^ C.C. Berg (1927). De middeljavaansche historische traditië. Santpoort: Mees. hlm. 138–44.
- ^ Fernão Mendes Pinto (1989). The Travels of Mendes Pinto. Chicago & London: The University of Chicago Press. hlm. 392.
Lihat pula
Bacaan lanjutan
- I Wayan Warna et al. (tr.) (1986), Babad Dalem; Teks dan Terjemahan. Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Tingkat I Bali.
- Margaret J. Wiener (1995), Visible and Invisible Realms; Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. Chicago & London: The University of Chicago Press.