CT2

CT2 adalah standar telepon nirkabel yang digunakan di tahun 1990an, untuk menyediakan jasa sejenis telepon seluler dengan jangkauan pendek. Sistem ini bisa dikatakan sebagai pendahulu sistem DECT yang lebih sukses. Istilah lain untuk sistem ini adalah merek dagangnya, Telepoint. Walaupun mirip dengan telepon seluler, tetapi Telepoint bersifat searah karena hanya dapat melakukan panggilan saja (tidak bisa menerima). Perangkat Telepoint juga tidak kompatibel dengan jaringan seluler, tetapi bisa digunakan sebagai telepon rumah nirkabel.

Penjelasan

CT2 adalah sistem FDMA yang menggunakan teknologi Time division duplex untuk membagi frekuensi antara perangkat dan stasiun pangkalan (base station). Fitur dari sistem ini adalah:[1][2][3]

  • Terstandarisasi, menggunakan frekuensi 864-868 MHz
  • 500 frame/detik (antara perangkat dan base station)
  • Pembawa 100 kHz
  • Kompresi kanal suara ADPCM 32 kbit/dtk
  • Pengeluaran tenaga maksimum 10 mW
  • Enkode data dengan GFSK
  • Jarak hingga 100 meter

CT2 adalah sistem hanya suara, layaknya sistem suara rendah kompresi, pengguna dapat menggunakan modem analog untuk mentransfer data. Di awal 1990-an, Apple Computer menjual laptop dengan modem CT2 terpadu bernama PowerBop untuk memenuhi minat dari pengguna jaringan CT2 bernama Bi-Bop di Prancis. Walaupun CT2 adalah sistem mikroseluler, yang mampu mendukung handoff, tidak seperti DECT CT2 tidak mendukung forward handoff, sehingga ia harus memutus jaringan radio sebelumnya sebelum membuat yang baru, akibatnya terjadi sub-second dropout dalam panggilan ketika transisi.

Pembeli perangkat CT2 umumnya mendapat handset dan base station yang dapat mereka sambungkan ke sistem telepon rumah mereka sendiri. Panggilan melalui base station rumah akan dialihkan melalui saluran telepon rumah.

Setelah berada di luar rumah, pengguna CT2 dapat menemukan tanda yang menunjukkan base station jaringan operator CT2 di daerah tersebut dimana kita dapat melakukan panggilan keluar (tetapi tidak bisa menerima panggilan). Lokasi base station ada di berbagai tempat, seperti jalan raya, pertokoan, pom bensin, dan pusat transportasi seperti stasiun kereta api. Di luar rumah, penelepon akan dikenakan tarif per menit lebih tinggi dibanding jika mereka membuat panggilan dari rumah, tetapi tidak setinggi biaya dari operator seluler.

Keuntungan bagi pengguna CT2 adalah tarifnya umumnya lebih rendah daripada jaringan operator seluler. Kerugiannya adalah tidak dapat menerima panggilan masuk dan area penggunaannya lebih terbatas.

Penggunaan

Handset Rabbit dan pengisi ulangnya
Apple PowerBop, varian PowerBook yang kompatibel dengan modem CT2

Saat ini, tidak ada lagi jaringan CT2 yang beroperasi, namun perangkatnya masih ada yang menggunakan sebagai telepon nirkabel.

Indonesia

Di Indonesia, layanan berbasis CT2 sempat dihadirkan oleh PT Telepoint Nusantara, yang mendapat izin pada Januari 1995.[4] Perusahaan ini dimiliki secara patungan oleh Romeo Sibih (47,5%), Ali Chendra (22,5%), Primkopparpostel (Primer Koperasi Pegawai Kantor Pusat Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi) dan Koppostel (Koperasi Pegawai Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi) sebesar masing-masing 5%, serta Merdeka Kerta Raharja (yayasan karyawan Departemen Polkam) sebesar 20%.[5] Layanan CT2 PT Telepoint Nusantara ini menggunakan nama dagang Telepoint, yang menargetkan pasar mahasiswa, kelas menengah dan karyawan BUMN.[6]

Setelah diundur dari bulan Juli dan November 1995, operasional Telepoint diluncurkan pada 12 November 1996 dengan wilayah layanan awal Jakarta dan sekitarnya, dengan target meraih 20.000 pengguna yang memakan investasi Rp 55 miliar. Saat diluncurkan, jaringan Telepoint dilayani sekitar 1.000 pemancar berkapasitas 6.000 sambungan yang dipasang di pusat-pusat keramaian, seperti mal, rumah sakit, dan hotel dengan menggunakan frekuensi 864-868 MHz. Belakangan, direncanakan pemancarnya di Jakarta akan bertambah menjadi 5.000,[7] serta jaringannya akan diperluas ke Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang dan Solo di tahun 1997. Dalam rangka perluasan ini, pihak PT Telepoint telah menyiapkan anggaran Rp 10-20 M untuk ekspansi per kota.[5]

Perangkat yang digunakan oleh Telepoint berasal dari Orbitel (Inggris)[8] dan Motorola (AS). Awalnya sempat akan dibanderol dengan harga Rp 800.000-900.000,[7][9] untuk biaya awal, konsumen diminta membayar Rp 462.000 (sudah termasuk perangkat, pajak dan biaya bulan pertama) serta selanjutnya akan dikenakan biaya bulanan berupa abonemen Rp 22.500 + biaya menelepon Rp 160/3 menit.[5] Layanan Telepoint dipromosikan sebagai pelengkap dari pager para pengguna dengan biaya semurah telepon umum[10] (sehingga disebut sebagai "telepon umum nirkabel pertama di Indonesia"),[11] namun dengan suara digital yang jernih. Selain itu, kelebihan lain yang ditawarkan adalah bisa melakukan SLI dan SLJJ.[12] Namun, pada akhirnya layanan CT2 PT Telepoint ini tidak terlalu sukses dan berusia pendek, dengan ditutup pada 1999.[13]

Negara lainnya

CT2 dioperasikan di beberapa negara seperti Inggris dan Prancis. Di Inggris, sistem Ferranti Zonephone mulai beroperasi pada 1989, dan jaringan lain bernama Rabbit kemudian beroperasi dari 1992 hingga 1993.[14] Di Prancis, jaringan Bi-Bop beroperasi dari 1991-1997, dan di Belanda operator PTT menyediakan jaringan CT2 bernama Greenpoint dari 1992-1999, yang berhasil mencatat 60.000 pengguna di titik puncaknya. Di Finlandia, jaringan bernama Pointer sempat muncul pada 1980-an sebelum digantikan oleh sistem Nordic Mobile Telephone (NMT).

Di luar Eropa, sistem ini cukup populer di Hong Kong, dengan dioperasikan tiga operator sebelum dimatikan pada 1996.[15] Di Singapura, sistem CT2 beroperasi pada 1993-1998 yang disediakan Telecommunications Equipment dengan merek Callzone.[16][17]

Lihat juga

Referensi

Pranala luar