Bunga Dibakar adalah film dokumenter tentang perjalanan hidup Munir karya Ratrikala Bhre Aditya.
Film ini produksi Institut Studi Arus Informasi, Imparsial, Kontras bekerja sama dengan Cinema Society, Cangkir Kopi Mediavisual, Offstream Production, dan Lembaga Pembebasan, Media dan Ilmu Sosial. Film ini diputar di Jakarta International Film Festival (Jiffest) dan di berbagai kampus.
Bunga Dibakar sebenarnya adalah judul seri enam lukisan Yayak Yatmaka yang didedikasikan kepada para aktivis yang telah hilang. Lukisan di judul pembuka film adalah lukisan Yayak dengan judul Bunga Dibakar yang ketujuh.
Sinopsis
Bunga Dibakar, film dokumenter berdurasi 46 menit ini menceritakan perjalanan hidup Munir sebagai seorang suami, ayah, dan teman. Munir digambarkan sosok yang suka bercanda dan sangat mencintai istri dan kedua anaknya. Masa kecil Munir yang suka berkelahi layaknya anak-anak lain dan tidak pernah menjadi juara kelas juga ditampilkan. Munir dibunuh pada era demokrasi dan keterbukaan serta harapan akan hadirnya sebuah Indonesia yang dia cita-citakan mulai berkembang. Semangat inilah yang ingin diungkapkan lewat film ini. Namun bunga indah itu kini telah dibakar.
Film ini mencoba merekonstruksi perjalanan hidup dan perkembangan kejiwaan serta pergolakan batinnya. Dari seorang Munir, aktivis muslim yang sangat ekstrem, menjadi seorang Cak Munir yang menjunjung tinggi toleransi, menghormati nilai-nilai kemanusiaan, antikekerasan dan berjuang tanpa kenal lelah melawan praktik-praktik otoritarian serta militeristik.
Munir ternyata juga manusia biasa yang menurutnya juga mengenal rasa takut. Namun yang justru menginspirasi adalah kata-katanya: ...kita harus lebih takut kepada takut itu sendiri, karena rasa takut itu menghilangkan akal sehat dan kecerdasan kita. Ia sosok yang suka bercanda dan sangat mencintai isteri dan kedua anaknya.
Pranala luar